Fiction
Cinta Seorang Copellia [6]

15 May 2012


Apakah Nick harus ikut hari ini?” Putri bertanya merajuk. 


Sarah sudah dua hari menginap di rumahnya dan Putri merasa sebal karena Sarah membawa pria itu. Meski Nick menginap di hotel, selama dua hari ini dia dan Sarah seperti prangko yang menempel lengket. Putri tahu, hanya rasa hormat dan persahabatan saja yang mampu menahan Sarah untuk tidak ikut tinggal dengan Nick di hotel.
Putri sebal pada Sarah, yang selalu bercerita tentang Nick, dari bangun pagi sampai detik-detik menjelang tidur. Nick begini, Nick begitu, aku merasa begini, aku merasa begitu. Topik itu tidak berubah. Hanya seputar Nick dan perasaan Sarah. Membosankan sekali.

Putri mengamati, Sarah yang selama ini kebal terhadap cinta itu, sekarang jatuh hati pada pria Inggris. Sepertinya, panah cupid kali ini mengarah ke tengah jantung Sarah, tepat di tempat mematikan. Padahal, menurut Putri, Nick tidak terlalu menarik jika dibandingkan pria-pria yang pernah singgah dalam hidup Sarah. 

Jenggotnya tampak ketinggalan zaman. Dia juga kelihatannya bukan pencinta tempat kebugaran, jika dilihat dari badannya yang agak loyo. Sama sekali bukan tipe Sarah. Jika makhluk yang dicintai Sarah itu datang dari tempat yang sama dengan Putri, pasti saat ini Putri mengira bahwa Sarah telah kena guna-guna. Sayangnya, mereka berdua berasal dari abad 21, sehingga apa pun yang tidak dapat diterangkan dengan pengetahuan, bukan hal yang tepat untuk mereka.

“Oh, tentu dia harus ikut. Masa dia dibiarkan jalan-jalan sendiri. Kasihan, ‘kan?” 

Putri sama sekali tidak kasihan. Apa yang harus dikasihani dari pria berumur kepala empat, matang, mandiri, dan punya banyak uang itu? Dia kan bukan bayi atau anak kecil yang tersesat.

“Hari ini mau ke mana?” tanya Putri.

“Karena besok aku pulang, lebih baik hari ini kita mencari oleh-oleh saja. Coba kulihat catatanku dulu…. Aku sudah punya tas, jaket kulit, sandal, dua kalung perak dan mutiara, satu patung kayu ganesha, jadi…,” Sarah berpikir-pikir, “aku mau membeli beberapa kain batik dan baju kebaya seperti kepunyaanmu. Aku suka memakai kebaya. Di Bali, Nick membelikan aku pakaian tradisional itu dan aku berdandan seperti wanita-wanita Bali. Kami pergi ke Tanah Lot dan ikut berdoa di sana. Senang sekali. Nick bahkan….”

“Ya, ya, ya, aku akan mengantarmu membeli semua itu, yang sebentar lagi pasti akan kamu buang, setelah Nick tinggal sejarah,” Putri buru-buru memotong karena tidak tahan mendengar topik Nick diangkat lagi. “Kau tahu, kau jadi menyebalkan.”

“Kenapa?” tanya Sarah, tak peduli, “aku sudah memberi tahu Nick untuk bersiap karena kita harus segera berangkat.”

Dia memasukkan barang-barang lain yang berserakan. Lipstik, tabir surya, pelembap, ikat rambut, dan kamus. “Kamu tahu, Princess, kupikir, Nicklah orangnya. Orang yang tepat dan kutunggu-tunggu selama ini.”

Putri tidak memandang ke arah Sarah. Dia merasa hatinya nyeri. Tidak terbayang bahwa Sarah ternyata akan meninggalkannya. Selama ini dia mengira hidupnya akan sama seperti dulu, hanya bersama Sarah dan pekerjaan yang dicintainya. Sekarang, ketika Sarah memiliki seseorang, dia akan ditinggalkan. Dan, Putri tidak rela. 

“Jika kalian bersama, kamu pasti akan melupakan aku,” Putri berkata pelan.

“Kenapa?” tanya Sarah, yang sedang merapikan bedaknya. “Bukankah kamu juga sekarang bersama Hari? Bukankah hubungan kalian baik? Kalian berpacaran, bukan?”

“Kata siapa?” tanya Putri, ketus.

“Lho, mamamu bilang, kalian akan segera meresmikan hubungan.”

“Itu kan keinginan Mama.”

“Jadi, itu bukan maumu?” tanya Sarah. Wajahnya kini lebih serius. “Sekarang aku mengerti kenapa kamu kelihatan tidak suka pada Nick. Tenang saja, jika aku menjalin hubungan dengan Nick, tentu aku tidak akan melupakan adik kecilku ini.” Sarah sekarang sudah duduk di samping Putri, mengambil tangannya, lalu menepuk-nepuk tangan itu.

Jelas bagi Putri, Sarah tidak mengerti apa-apa. Saat itu dia ingin berteriak, mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya. Tapi, otaknya memaksa mulutnya terkatup rapat, mencegahnya melakukan suatu kesalahan yang akan disesalinya.

“Aku akan pulang tiga hari lagi.”

“Yah,” jawab Hari, lalu menggigit apel malang yang mereka beli di pinggir jalan, “cepat sekali waktu berjalan.”

“Sangat cepat.” Putri mengangguk, setuju. Dia memerhatikan pemandangan di bawah yang penuh lampu, persis dengan yang sering dilihatnya dari jendela rumah Sarah. Hanya, di sana minus pohon-pohon dan suara jangkrik. Ini malam Minggu terakhir sebelum dia berangkat. Keluarganya mengajak dia menginap di Batu. Mas Andri meminjam vila kepunyaan temannya. Mama, Papa, kakak-kakak, keponakannya, dan Hari, malam ini dapat menikmati hawa sejuk pegunungan.

“Kamu kedinginan?” tanya Hari.

Putri menggeleng. Dia dan Hari duduk-duduk di pelataran rumah yang sangat luas. Di sudut lain keluarganya sedang berbagi jagung gosong, hasil bakaran Papa dan Mas Agung. Putri menoleh, melihat Hari yang masih asyik menggigiti apelnya.

“Apa kamu tidak sakit perut makan apel malam-malam?”

Hari tertawa, sambil memandangi apel yang dipegangnya, mencari daging buah yang belum digigit. Dia berkata, “Aku ini kan dokter. Jadi, tidak pernah sakit. Kalaupun sakit, aku tahu obatnya. Lagi pula, apel kan baik untuk kesehatan.”

“Tapi, kalau dimakan malam hari dengan jumlah yang banyak, pasti juga tidak baik untuk kesehatan,” Putri membantah, mengangkat kantong plastik tempat buah apel, untuk menunjukkan bahwa isinya sudah berkurang banyak.

Hari tertawa lagi. “Betul juga. Tapi, karena aku sangat menyukai apel, biarlah risikonya kutanggung sendiri.”

Putri mengambil sebuah apel dan memutar-mutarnya, meneliti dari berbagai sudut. “Mengapa apel ini kecil sekali, ya? Penampilannya juga tidak seindah apel dari luar negeri. Apa mereka tidak dirawat?”

“Entahlah, aku juga tidak tahu. Tapi, yang penampilan luarnya tidak baik belum tentu bagian dalamnya juga tidak baik, ‘kan? Seperti kamu, misalnya, penampilanmu juga tidak bagus. Apa kamu kurang perawatan?”

“Sembarangan! Kamu ngomong seenaknya saja!”

“Aku ngomong apa adanya. Dibandingkan dengan temanmu, Sarah, kamu kalah jauh.” Sekarang, Hari menatap Putri dengan sungguh-sungguh. “Penampilan kamu menyedihkan.”

“Apa?” Putri separuh berteriak. Pria ini kurang ajar sekali. Padahal, mereka baru beberapa minggu berkenalan. Kok, dia sudah berani bicara macam-macam? Bahkan, untuk ukuran orang New York yang suka bicara seenaknya, ucapan pria ini sudah kelewat batas.

“Aku hanya menirumu, yang selalu bicara terus terang.” Mata Hari berkilauan, lalu buru-buru melanjutkan, ketika Putri mulai membuka mulut untuk memprotes, “Sebentar, dengar dulu penjelasanku, jangan marah dulu. Sebetulnya, tidak ada yang salah dengan penampilanmu. Kamu tampak cukup gaya untuk kebanyakan wanita Indonesia. Tapi, setelah aku mengenalmu, sering bertemu dan ngobrol, aku melihat sesuatu yang lain. Seperti suatu kesedihan yang membekas dalam, yang kadang-kadang muncul lewat kata-kata sinismu. Tapi, mungkin, itu hanya khayalanku saja. Penampilanmu sangat suram jika dibandingkan Sarah. Kalian berdua seperti lukisan yang sangat kontras. Dia lukisan bunga warna-warni yang sangat memikat sehingga membuat semua mata terpesona memandangnya. Kamu seperti lukisan kapal kecil di tengah badai di laut. Gelap, kusam, dan menimbulkan banyak pertanyaan. Mungkin, perumpamaanku tidak benar, tapi kesan itulah yang kutangkap.”

“Begitukah?” Putri menelengkan kepalanya ke arah Hari. “Kukira, itu wajar. Karena Sarah seperti lukisan Sunflowers karya Vincent Van Gogh, yang dipuja sepanjang masa, sedangkan perahu kecil di tengah laut itu cuma lukisan pinggir jalan, yang dibuat seniman tidak terkenal, yang tak ada artinya.”

“Lihatlah, aku benar, ‘kan? Kamu baru saja membuktikan kata-kataku.” Hari tampak gembira. “Yah, aku ini tidak pandai bicara. Tapi, sejak bertemu denganmu, aku merasa ada sesuatu yang lain di hatiku. Sejak pertama bertemu denganmu, kamu membuatku sering memikirkanmu.”


                                                            cerita selanjutnya >>


Penulis: Lisa Andriyana
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?