Fiction
Cinta Seorang Copellia [3]

15 May 2012


You have new mail! Kata-kata itu langsung muncul ketika Putri membuka notebook-nya.
Hai, Princess! Bali memang surga. Kemarin aku berkenalan dengan Nick, pria Inggris. Dia tampan, tinggi, rambut cokelat, mata biru. Kami menginap di hotel yang sama, dan siang ini akan melancong berdua. Karena setiap tahun selalu ke Bali, Nick sangat mengenal jalan-jalan di sini. Dia bersedia memanduku. Bagaimana perjodohanmu? Bukankah kemarin kamu menemuinya? 

Putri benar-benar putus asa. Sarah sepertinya sedang bersenang-senang, sementara dia harus menghadapi misi mamanya. Dua hari yang lalu seluruh anggota keluarganya mengantar Sarah ke Bandara. Sekali lagi Sarah menunjukkan bahwa dia dicintai banyak orang. Setelah menginap empat hari di rumah, menjelajah banyak tempat, dan mengumpulkan banyak souvenir, Sarah memutuskan untuk lebih cepat berangkat ke Bali, sebelum pulang ke New York.

Hari-hari liburan bersama Sarah sungguh menyenangkan. Mereka sudah menjelajahi Wedoro dan membeli banyak sandal murah, namun cantik. Ke Tanggul Angin dan pulang membawa jaket kulit, dompet, dan tali pinggang. Sarah juga membeli tas dari jalinan eceng gondok, yang dihias bunga-bunga kering untuk mamanya. Mereka mengunjungi argowisata, naik kuda, memetik apel, jeruk, dan strawberry. Berenang di air pegunungan yang membuat bibir-bibir kebiruan dan berendam di air panas berbelerang. Mereka juga berwisata arung jeram dan makan seafood pedas di tepi pantai. Terakhir, Putri mengajak Sarah menginap di Bromo, menikmati keindahan gunung berapi, lautan pasir yang terbentang luas, dan menakut-nakutinya dengan cerita-cerita orang yang dijahili penunggu Gunung Bromo. Liburan yang betul-betul menyenangkan.

Tapi, ketika pesawat Sarah lepas landas ke Bali, Mama langsung menggeret Putri, “Ayo, kita pulang dan bongkar kopermu. Kita pilih pakaian apa yang akan kamu kenakan besok.”

“Besok ada apa?” tanya Putri, yang terseret-seret.

“Arisan kantor. Mama ingin mengenalkan kamu pada putra teman Mama,” Mama bicara blakblakan.

“Apa maksudnya?” Putri menanyakan pertanyaan yang tidak perlu. Dia sudah tahu jawabannya.

Mama sepertinya tidak ingin panjang lebar menjelaskan. Dengan gayanya yang tegas, seperti sedang menghadapi mahasiswa yang ngeyel, dia berkata, “Lihat dulu. Jika tidak suka, katakan besok. Tidak perlu ribut sekarang.”

Putri berhenti berjalan. Akibatnya, dia hampir jatuh ditabrak kakaknya dari belakang. Gawat, pikirnya. Pria bagaimana yang bisa membuat Mama begitu yakin bahwa dia tidak akan menolak pilihannya. Dan lagi, apa pria itu sudah menyatakan bersedia? Mungkinkah Mama sudah memberikan fotonya? Dan, pria itu, tanpa bertemu langsung, sudah langsung setuju. Aduh, benar-benar karakter Copellia, yang tanpa perlu bergerak atau berbicara, sudah bisa memikat hati pria.

Dengan dandanan sopan dan feminin, berupa gaun sutra biru bertali yang harus dikenakan dengan blazer yang sudah kuno, Mama membawanya ke neraka dunia bernama arisan. Betapa mengerikan, karena ternyata semua orang yang datang sudah tahu tentang perjodohan itu. Mereka mengawasinya dengan ketat, yang membuatnya tidak nyaman. Apalagi, ketika calon jatung hati pilihan mamanya datang, semua memandangnya tanpa malu-malu, seakan berharap bisa melihat matanya bersinar, membentuk hati yang berkedip-kedip. 

Saat itu Putri teringat perjodohan panda yang pernah ditontonnya di televisi. Dengan kamera di setiap sudut dan perhatian 24 jam, tak ada tempat untuk berlari. Lalu, ketika panda-panda itu menunjukkan tanda-tanda untuk saling mengenal, setiap pasang mata mengamati dengan tajam. Saat lagu cinta berkumandang, tepuk tangan membahana di mana-mana untuk pasangan kasih tahun ini. Orang-orang di seluruh dunia ikut gembira merayakannya.

Sekarang dia pun seperti panda yang langka itu. Putri ingin berlari pulang, tapi harga diri melarangnya berbuat sebodoh itu. Begitulah jika harus menjunjung tinggi nama keluarga.

Pemuda itu berjalan separuh diseret mamanya menghampiri Putri. Kelihatannya dia tidak ikhlas seratus persen dengan perjodohan itu. Timbul perasaan senasib di hatinya. Awal yang baik. Setidaknya, pemuda itu bukan tipe pria yang sudah sangat putus asa dan menerima apa pun yang disodorkan mamanya, asalkan bernyawa.

Ketika mereka berjabat tangan, para pengamat merespon dengan saling berbisik dan segera meninggalkan mereka berdua, sepertinya sepakat untuk membiarkan pasangan baru ini saling mengenal lebih dekat. Jadilah Putri dan pemuda bernama Hari itu berdiri diam di pojokan, sambil memandangi orang-orang di sekitarnya. 

Setelah sepuluh menit yang panjang, Hari berdeham, membuat Putri menoleh, berharap pemuda itu melontarkan topik bagus, yang dengan senang hati akan dibahasnya untuk memecah kesunyian ini.

“Apa kamu mau minum?” tanyanya. Putri mengangguk.

Bukan topik yang bagus. Tapi, tak apalah. “Gin juga boleh.”

“Di sini tidak ada minuman seperti itu,” jawab Hari, kaku.

“Bukan, maksudku sirop saja. Aku suka sirop,” Putri terbata-bata. Ya ampun, pasti pemuda ini berpikir dia tukang mabuk. Padahal, seumur hidupnya, meski tinggal di luar negeri, dia tidak pernah minum minuman keras. Hanya gara-gara stres perjodohan, semua makcomblang di sini akan tahu ketika pemuda ini mengadu pada ibunya, bahwa calonnya tukang mabuk. Meski tidak menyukai perjodohan ini, Putri tidak ingin dicap tukang mabuk.

Aku harus tabah, Putri membatin. Bridget Jones pun mengalaminya dan dia bahagia. Ketika Hari dan sirop merah jambunya datang dengan wajah yang sewarna sirop itu, Putri terbata-bata berkata, “Terima kasih. Anu… maaf, sebenarnya aku tidak pernah minum-minuman beralkohol, tetapi karena sering memesan untuk bos jadi keceplosan.” Saat itu juga batinnya memprotes, kenapa harus menjelaskan segala.

Sambil tersenyum Hari berkata, “Tidak apa-apa.”

Lalu, dimulailah lagi permainan adu bisu. Tapi, Putri tidak tahan dengan keheningan itu. Sepertinya, hal ini cukup menjelaskan kenapa pria ini belum juga menikah. Dia tipe yang menganut prinsip diam itu emas. Dari ujung matanya dia meneliti makhluk yang berdiri di sampingnya. Tubuhnya lebih tinggi dari ukuran pria Indonesia biasa, dengan wajah lumayan, hidung mancung, bibir tipis, dan kulit sawo matang, Putri yakin, Sarah pasti tertarik mengenalnya. Tapi, kebisuan itu pastilah membuat wanita normal mana pun segera mengambil langkah seribu. 

Putri melirik jam tangannya. Sudah dua puluh menit mereka saling diam. Itu hal biasa jika sedang bekerja. Tapi, dalam situasi ini menunjukkan bahwa pria ini kurang waras. Atau, dia juga mungkin kurang waras, karena dia juga bertanggung jawab dalam permainan paling lama menjadi patung. Karena, toh, dia juga tidak melempar topik pembicaran.

Aku sudah tidak tahan, pikir Putri. Lalu, seperti wanita normal lainnya, dia akhirnya buru-buru berkata, “Maaf, aku keluar sebentar.” Separuh berlari, Putri keluar ruangan dan langsung ke jalan dan menyetop taksi pertama yang lewat.

Kedatangan kakaknya, Nani, membuyarkan rekaman memori yang sedang diputar di kepalanya. Dilihatnya Nani membawa bungkusan besar.

“Apa itu?” tanya Putri, heran.

“Pakaian yang akan kamu kenakan nanti malam.” Nani membanting buntelan itu ke ranjang, tempat Putri sedari tadi berbaring menelungkup.

Putri menghela napas. Setelah kejadian paling memalukan kemarin, dia tidak menduga, ketika pulang, Mama berkata dengan santai, “Besok malam kan malam Minggu, Hari ingin mengajakmu keluar.”

Tanpa pembukaan yang manis, tanpa pertanyan tentang kesediaannya, itu berarti sebuah ultimatum.

Putri menggeleng dan mendongak melihat kakaknya, “Aku sudah lupa. Coba ceritakan, apakah dulu Kakak mendapatkan Mas Agung sendiri atau juga dicarikan Mama.”

Kakaknya tersenyum. “Tentu kucari sendiri. Hal yang begitu penting sehingga Mama tidak bisa ikut campur. Ini sebenarnya agak aneh. Kukira, Mama tidak akan bisa menancapkan cakarnya kepadamu, tapi kamu ternyata tetap anak baik dan penurut, ya. Tidak seperti seorang lajang yang hidup mandiri di negeri orang.”

“Apakah Kakak berharap aku marah-marah dan melarikan diri dari rumah.”

“Yah… begitulah perkiraan kami semua.”

Kami semua? Hmm… ternyata Mama telah membicarakan masalahnya pada semua keluarga, teman-teman, bahkan mungkin seluruh kenalan, seperti tukang sayur langganan atau pegawai salon tempat Mama biasa mewarnai rambut untuk menutupi ubannya.

Putri menerawang, “Dia wanita yang melahirkan aku. Nyawanya dipertaruhkan ketika aku lahir ke dunia. Aku sudah pergi begitu lama dan sekarang baru pulang. Alangkah buruknya aku jika kepulangan ini diisi dengan pertengkaran.”

“Wah, ternyata New York membuatmu menjadi lebih baik.”

“Kukira, tidak. Kota itu tidak membuatku menjadi lebih baik. Tapi, kota itu membuatku menjadi lebih menghargai apa yang kumiliki di sini.”

“Begitu juga bagus. Meski agak memaksa, Mama berniat baik dan keputusan tetap ada di tanganmu. Jika kamu berkata tidak, semua akan mendukung keputusan itu. Nah, sekarang mari kita cari pakaian apa yang akan kamu pakai malam ini karena Mama telah menugaskan aku untuk mengawasi cara berpakaianmu. Mama mengeluh, baju-bajumu banyak yang terlalu terbuka. Sangat tidak cocok dipakai wanita berumur.”

“Gila!” teriak Putri. “Aku masih muda! Dan, di New York pakaian seperti itu dipakai bahkan oleh nenek-nenek sekalipun.”

Nani terkikik-kikik lama, sambil membongkar barang bawaannya. Mau tak mau, Putri ikut-ikutan duduk untuk melihat koleksi pakaian kakaknya yang akan dipinjamnya malam ini.


                                                                  cerita selanjutnya >>


Penulis: Lisa Andriyana
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?