Fiction
Cinta Seorang Copellia [1]

15 May 2012

Putri berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan ke arah taksi-taksi yang melaju sombong. Jam sibuk begini hampir semua taksi ada penumpangnya. Dimasukkannya tangan dalam-dalam ke saku mantel untuk mengusir dingin. Ini hari terakhir, aku harus sedikit memanjakan diri. Setiap hari mengejar-ngejar bus, hari ini sedikit boros tak apa. Begitu pikirnya.

Walaupun sudah menunggu lama dan kakinya mulai sakit, Putri tetap bertahan. Sementara, orang-orang di sekitarnya bergerak cepat, ingin buru-buru pulang ke rumah, kantor, kafe, atau ke tempat apa pun, yang suhunya lebih hangat daripada udara luar yang menusuk tulang.

Matanya bergerak cepat mengamati benda kuning lemon yang meluncur ke arahnya. Itu ada satu, dan yang terakhir, pikirnya. Seandainya sudah berpenumpang, dia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Barang-barang di rumah belum dimasukkan ke koper, masih banyak yang akan dikerjakan. Dan lagi, jika lebih lama, dia pasti terkena radang paru-paru. Putri sangat yakin, biaya pengobatan akan menghabiskan uangnya.

Dia melambaikan tangan dengan harapan tipis dan agak kaget ketika taksi berhenti di dekatnya. Putri masuk ke dalam taksi, separuh senang, separuh prihatin. Sopir ini mungkin orang yang nasibnya sial. Hari begini taksinya kosong. Atau, mungkin, sudah jodohnya.

Dia membenamkan diri dengan senang di jok kursi penumpang, menyebutkan tujuan, dan merasakan kehangatan yang berembus dari pemanas mobil. Dia menoleh ke samping, merekam setiap detail pemandangan yang dilalui, lalu memutuskan untuk berhenti agak jauh dari apartemen tempat tinggalnya.

Ia menghentikan taksi dan membayar ongkos. Dia merasa si sopir agak kecewa. Mungkin, dia berharap, Putri naik lebih jauh, sehingga ongkosnya lebih mahal. 

Digelengkannya kepala. Ia merasa heran, kenapa bisa kasihan pada pria separuh baya itu. Padahal, setahunya, kebaikannya sudah hilang ditelan kota ini. Gedung-gedung tinggi, pencakar langit, asap kendaraan, orang-orang bergerak cepat, berpacu mengejar uang. Citra itulah yang terbentuk di benaknya, jauh sebelum menyelami kehidupan kota ini secara langsung. Citra yang sebenarnya tetap terpatri sampai sekarang, hanya dengan tambahan manusia-manusia individualis, pelacur, obat-obat terlarang, dan kekerasan.

Setelah dua belas tahun tenggelam di kota ini, Putri merasa akarnya semakin tercabut semakin jauh dengan kampung halaman. Dan, kota ini dalam sekejap jadi kampung halaman kedua, yang berat ditinggalkan. Meski Putri tahu bahwa dia akan kembali lagi ke kampung halamannya, tetap saja dia tak rela pergi.

Sambil tersenyum, dilewatinya penjaga apartemen, yang mengangguk hormat padanya. Satu kebiasaan baik yang masih tersisa, meski banyak penghuni lain yang tak peduli pada orang-orang yang membantu mereka membukakan pintu dengan penuh hormat, menekan tombol lift. Yah, sebagai seorang yang nyaris menjadi gelandangan, di dalam hatinya tentulah masih tersisa nurani.

Putri berhenti di lantai tujuh belas. Berjalan menuju pintu berlabel B, lalu masuk ke dalam sebuah apartemen besar yang cantik. Dia berjalan melewati ruang tamu, yang berperabotan minimalis namun mengesankan. Sebuah sofa bergaya modern, dihiasi bantal-bantal krem dan cokelat, meja kayu persegi yang besar, sebuah lukisan modern, dan permadani tebal berwarna cokelat kemerahan yang mendominasi ruangan. Di satu sudut dinding terdapat home theater paling lengkap, yang bisa membuat iri tamu-tamu yang datang. Sarah, pemilik apartemen ini, memang menyukai ruangan yang luas. Dia paling tidak suka dengan gaya etnik penuh pernak-pernik, yang menurutnya membuat sumpek.

Putri menuju kamar tidur. Tumpukan-tumpukan baju dalam, celana-celana panjang, kaus-kaus, rok, dan beberapa gaun bertebaran di mana-mana. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk mengatur kopernya. Namun, setelah mendekati waktu kerja, koper itu belum juga rapi. Putri membiarkan pakaian-pakaiannya tetap pada posisi berantakan ketika berangkat ke kantor. Sesuatu yang sangat jarang terjadi karena dia orang yang menyukai kerapian.

Pada kepulangan kali ini, Putri berpikir untuk sedikit mengubah penampilan. Sudah hampir sembilan tahun tidak bertemu saudara-saudaranya. Hanya Mama atau Papa yang tiga tahun lalu pernah berkunjung. Saat-saat terbaiknya sudah hilang. Meski umurnya baru 29 tahun, dia merasa sudah tua. Untuk ukuran kota besar di negara maju, dia terbilang masih muda. Dan, karena untuk ukuran tanah air dia sudah perawan tua, wanita malang yang patut dikasihani, dia memutuskan perlu membawa banyak pakaian bagus, sekotak besar perlengkapan make up, dan pernak-pernik perhiasan, yang sangat diperlukan dalam rangka menaikkan harga dirinya.

Sembilan tahun lalu, saat pulang ke Indonesia, hatinya tidak seberat ini. Malah, dia begitu gembira. Waktu itu dia mahasiswa yang baru tamat kuliah, tak ada beban, penuh kegembiraan untuk kembali ke pelukan Mama. Namun, setelah pandangannya berubah, setelah menjadi manusia pekerja, setelah sekian lama orang-orang tentu ingin melihat perubahannya. Kematangannya? Atau, lebih tepat, kekayaannya? Sesuatu yang mereka pikir merupakan alasannya tidak mau pulang. Bukankah semua orang berpikir gaji pekerja di luar negeri lebih besar daripada di tanah air, sehingga mereka berbondong-bondong menjadi pembantu di luar negeri? Cerita miring tentang pemerkosaan, penyiksaan, bahkan kematian sekalipun, tidak menyurutkan minat untuk menjadi pembantu, demi uang.

Putri melemparkan sepatu berhak lima senti. Dia mengambil sebuah stiletto merah tua, yang sejak dibeli belum pernah dipakai, karena tali pengikat yang mengiris kaki, membuatnya berjalan bak balerina dengan betis besar, dan setiap sepuluh menit mencari tempat duduk untuk mengistirahatkan kaki. Sepatu itu hanya indah untuk dipandang, namun menyiksa bila dipakai. Dia berpikir, wanita-wanita keren yang memakainya, tentulah sudah mengganti kaki mereka dengan kaki besi atau mungkin menyuntiknya agar mati rasa. 

Beberapa waktu lalu Putri sempat membaca majalah yang menyebutkan bahwa stiletto runcing dan tinggi tidak jadi tren lagi. Dia sudah bersorak tiga kali untuk artikel itu, namun masa-masa sepatu datar zaman Romawi atau Yunani tidak juga datang. Para pencinta fashion tetap saja memakainya. Dia merasa dibohongi. Untuk pertama kalinya, dia memerhatikan nama penulis artikel tersebut dan berjanji tidak akan memercayai lagi omong kosong penulis itu.

“Princess, I’m home.”

Seperti angin puyuh, Sarah masuk kamar dan memeluk Putri kuat-kuat. Ia berseru dengan penuh kegembiraan.

Putri menyahut, “Ada apa?”

Sarah melepas pelukannya dengan gaya dramatis, “Aku memenangkan perkara. Suami Audrey bersedia membayar tuntutan. Berarti, banyak uang dan liburan.”

“Hebat,” kata Putri, tulus. 

                                                       cerita selanjutnya >>

Penulis: Lisa Andriyana
Pemenang Harapan Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?