Fiction
Cinta Kala Senja [7]

3 Mar 2012


Mimpi buruk itu menyerangnya lagi. Entah sudah berapa kali Lana memimpikan hal yang sama. Hal yang sungguh-sungguh ingin dihapusnya dari ingatannya.

Dua hari lamanya Lana tergolek di tempat tidur, tanpa makan dan tanpa mandi. Tidak ada yang dimakannya selain beberapa gelas susu dan air putih. 

Baterai handphone-nya sudah lama habis dan kini tidak ada seorang pun yang bisa menghubunginya. Pernah Lana mendengar bel pintu kamarnya berkali-kali berbunyi, namun dia tidak peduli. Sudah pasti Surya yang datang mengunjunginya. Atau, lebih tepatnya hanya sekadar memastikan bahwa Lana tidak apa-apa.

Namun, pagi hari ini, saat Lana membuka matanya, dia tiba-tiba tersadar bahwa kini dirinya hanyalah seorang pecundang yang tidak berguna. Seharusnya masih banyak hal lain yang harus dibenahinya, selain hanya meratapi nasibnya yang sial.

Seolah dalam dirinya mengalir darah yang baru, perlahan Lana berdiri. Kepalanya terasa pusing dan berat saat dia melangkah. 

Yang pertama dilihatnya adalah bayangan dirinya di cermin. Dan, Lana hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. 

“Oh, my God!” bisiknya pada diri sendiri, saat dilihatnya betapa kusam dan berantakannya penampilannya saat itu. 

Lana memejamkan mata, saat melihat bayangan hitam yang sangat jelas di bawah matanya yang terlihat sangat cekung, sehingga terlihat seperti vampir. Kelopak matanya tampak sembap dan lelah. Hanya dalam dua hari wajahnya seperti bertambah tua sepuluh tahun. 

Lana menghela napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat.

Hari ini akan menjadi hari yang baru baginya.

Tak akan dibiarkannya satu orang pria menjadikannya pecundang. 

Dinyalakannya air panas di bathtub. Saat ini hal yang paling dibutuhkannya adalah berendam di dalam air panas dengan beberapa tetes minyak aromaterapi yang mampu membuatnya relaks.

Setelah mandi, hal kedua yang dilakukannya adalah membuka semua seprai dan selimut tempat tidurnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin beberapa hari ini dia bisa bertahan tidur dalam seprai dan selimut dengan aroma yang begitu tidak menyenangkan.

Kemudian Lana mengeluarkan sekotak sereal dan susu rendah kalori dari dalam lemari esnya. Dia belum bernafsu untuk makan. Namun, setidaknya sereal bisa memberinya sedikit energi.

Setelah makan, diambilnya ponselnya, kemudian dihubunginya satu nomor yang sudah sangat dikenalnya.

“Halo? Lana?” terdengar jawaban bersemangat.

“Surya, saya rasa kita harus bertemu. Pukul 12 siang, di tempat biasa,” Lana mengatakan dengan tegas. Dan, Lana sudah menutup telepon sebelum Surya sempat menjawab.

Surya sudah ada di sana, ketika Lana datang.

Pria itu tersenyum canggung, saat Lana duduk di depannya.

“Ada beberapa point yang harus kita bicarakan,” kata Lana, begitu dia duduk. Sikap angkuhnya sudah kembali.

Surya mengangkat cangkir tehnya, menyeruputnya perlahan. 

“Oke,” jawabnya, sambil meletakkan cangkir tehnya.

Lana berpikir sejenak. 

“Point pertama yang mau saya tanyakan, apa yang kamu inginkan dalam hubungan kita selanjutnya?” tanya Lana.
Surya tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir.

“Mungkin terlalu egois kalau saya mengatakan apa yang saya inginkan,” katanya. “Saya sudah menyakiti kamu sedemikian rupa.”

Lana menundukkan kepala. 

“Mungkin lebih tepat kalau saya yang bertanya, apa yang kamu inginkan untuk selanjutnya,” kata Surya, tenang.
Lana menatapnya tajam.

“Kamu yakin kamu akan bisa mengabulkan apa yang menjadi keinginan saya?” tanyanya, sinis.

Surya mengangkat bahu. “Saya akan usahakan sebisa mungkin.”

Lana mencondongkan badannya.

“Saya tak mau menikah dengan gay,” bisiknya. “Tapi, saya juga tidak mau nama saya hancur, karena pernikahan saya dibatalkan.”

Surya tampak bingung, namun dia tidak menjawab.

Lana memperlihatkan cincin tunangan di jari manisnya.

“Semua orang sudah melihat cincin ini. Termasuk ibu saya. Dan, saya tidak mau semua orang melihat dan bertanya-tanya, mengapa cincin ini tiba-tiba dilepaskan.”

Surya menganggukkan kepalanya.

Lana mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi.

“Satu hal yang selalu mengganjal di dalam hati saya, kenapa kamu meminta saya jadi istri kamu, sedangkan kamu sendiri tahu sampai kapan pun kamu tidak akan mencintai saya? Dan, kamu tahu yang kamu lakukan ini akan sangat menyakiti saya.” 

Surya tersenyum kecut. Dia tidak lagi menatap Lana.

“Apa karena kamu takut nama kamu sebagai pemimpin perusahaan perlahan akan rusak, karena kamu belum menikah sampai setua ini?” tanya Lana, tajam. “Atau, kamu berpikir, status menikah atau bahkan status sebagai duda akan lebih terhormat dibandingkan dengan status sebagai bujang lapuk?”

Surya diam saja. Dia tidak membantah, namun tidak juga mengiyakan. Ditatapnya Lana dengan sedih.

“Sampai saat ini saya sendiri tidak tahu apa alasan yang mendorong saya untuk melakukan semua ini. Mungkin memang seperti itu fakta yang ada. Saya tidak akan menyangkal semua kata-kata kamu,” Surya menghela napas panjang dan mengembuskannya keras.

Lana menatap Surya dengan putus asa. 

Surya menggaruk kepalanya. “Mungkin kamu benar. Saya terlalu takut untuk menghadapi kenyataan bahwa kerabat-kerabat saya mulai curiga bahwa saya adalah seorang gay.”

“Siapa saja orang yang tahu selain saya?” tanya Lana.

Surya menggeleng. “Tidak ada seorang pun yang tahu selain kamu dan Ardi. Saya terlalu pengecut untuk membuka aib saya.”

“Ardi? Maksud kamu pacar kamu? Di mana dia sekarang? Apa dia tidak cemburu mendengar berita bahwa saat ini kamu merencanakan untuk menikah dengan saya?”

Surya menggeleng lagi. 

“Dia sudah meninggal setahun yang lalu. Kecelakaan pesawat.”

Lana terenyak. Perlahan raut wajahnya mulai melunak.

“Saya tidak tahu harus berkata apa,” kata Lana datar. 

Surya menggeleng.

“Ardi adalah bagian dari masa lalu saya. Terlalu sakit untuk diingat kembali.”

Lana menyandarkan tubuhnya. Disilangkannya lengannya di dada. Sikapnya masih seangkuh tadi. Namun, raut wajahnya sudah tidak sekeras tadi.

“Seumur hidup baru sekali ini saya dipermalukan seperti ini,” katanya, dengan getir. 

“Saya tidak berniat untuk mempermalukan kamu, Lana.” Surya mulai terdengar putus asa.

Lana mencondongkan badannya ke meja.

“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada kamu,” katanya, dengan mata berkilat. “Bagaimana rencana kamu selanjutnya, jika dalam skenario yang kamu rancang, rahasia kamu tidak terbongkar oleh saya dan kamu berhasil menikahi saya?”

Surya meremas rambutnya. Kemudian dia menggeleng.

“Berusaha menjalani hidup normal, mungkin,” katanya, ragu.

“Normal? Lalu, kamu dengan sadis akan membiarkan saya mengetahui rahasia mengerikan itu pada malam pengantin kita?” Lana menyipitkan matanya.


Penulis: Yesi Marianti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?