Fiction
Cinta Kala Senja [6]

3 Mar 2012


Sampai fajar tiba Lana sama sekali tidak dapat memicingkan matanya. Dia hanya meringkuk di balik selimut, sambil terus terjaga. Diusahakannya untuk tidur, namun sama sekali tidak berhasil, termasuk tiga butir pil tidur yang biasa diminumnya untuk mengatasi insomnianya.

Lana melirik ke jam dinding besar di kamar tidurnya. Sudah pukul tujuh pagi. Biasanya, pada jam segini ia sudah sibuk menyiapkan dirinya untuk pergi ke kantor. Namun, tidak untuk kali ini. Dia sama sekali kehilangan minatnya untuk bekerja. Dan, dia tidak peduli dengan masalah-masalah yang akan terjadi di kantor.

Diraihnya ponselnya dari samping ranjang dan diketiknya SMS singkat kepada Fero.

Fer, saya nggak masuk hari ini. Badan saya kurang sehat.

Diletakkannya ponselnya itu di samping kepalanya dan dia mulai meringkuk lagi di dalam selimutnya. Meskipun matahari sudah hampir tinggi, Lana tetap merasa kedinginan sampai seluruh badannya bergetar.
Tak berapa lama ponselnya berbunyi lagi, membuat Lana sedikit terlonjak. Dengan jantung berdebar dibacanya nama yang tertera di layar ponselnya.

Surya.
Jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Lana ingin sekali mengangkat ponselnya, mendengar suara pria yang paling dicintainya, sekaligus yang paling dibencinya. Betapa dia berharap Surya akan mengatakan bahwa ini semua hanyalah lelucon konyol yang diciptakannya untuk mengejutkan dirinya.

Namun, Lana menahan keinginannya kuat-kuat untuk menekan tombol ’yes’ pada ponselnya. Dia hanya memandangi layar ponselnya dengan sedih, sampai ponsel itu berhenti bersuara. Dia sungguh tidak siap untuk kembali mendengar fakta yang begitu pahit dan menyakitkan. Dia juga tidak sanggup mendengar semua permohonan maaf dan penyesalan dari Surya.

Bukan itu yang dia inginkan.

Semalaman otaknya terus bekerja, namun tidak ditemukannya jalan keluar. Pria itu telah menghancurkan hatinya dengan telak. Dalam kondisi apa pun, belum pernah dia merasa seputus asa seperti ini.

Mungkin lebih enak baginya jika dia menangis. Namun, Lana tak menangis. Hatinya terlalu keras untuk menangisi seorang pria.

Dia hanya diam terpaku dalam tempat tidurnya. 

Tidak boleh ada satu orang pun yang tahu tentang masalah ini, pikirnya. Tak seorang pun boleh tahu aib yang dialaminya. Dia lebih baik mati ketimbang harus menanggung malu karena masalah ini.

Lana tersentak bangun dari tidurnya karena deringan ponselnya.

Ia memaki dalam hati. Entah sudah berapa jam dia tertidur. 

Untuk sesaat dia merasa baru saja mengalami mimpi buruk. Mimpi buruk yang terus-menerus berulang. Namun, dalam hitungan detik hatinya kembali mencelos, mengingat apa yang baru dialaminya semalam ternyata bukan mimpi. 

Dibukanya ponsel itu. Fero yang menelepon. 

Tidak digubrisnya telepon dari asistennya itu, meskipun Lana tahu ada sesuatu yang sangat penting, hingga Fero terpaksa harus meneleponnya. 

Tak lama ponselnya berdering lagi. 

Dilihatnya nama yang tertera di ponselnya. Seperti yang sudah diduganya, seolah nama itu adalah nama yang sudah ditunggu-tunggunya, jantung Lana berdebar lagi saat melihat ternyata Surya yang menelepon. Tidak tahan dengan suara ponselnya yang terus berdering, Lana menekan tombol ‘no’.

Tak sampai sepuluh detik, ponsel itu berdering lagi.

Ditekannya lagi tombol ‘no’.

Tanpa menyerah benda itu berdering lagi.

Lana memandangi ponselnya dengan bimbang. Setengah hatinya ingin menutup telepon itu. Namun, setengah hatinya seolah berteriak, betapa inginnya dia berbicara dengan Surya.

Akhirnya, dengan tangan bergetar, diterimanya juga telepon itu.

Lana hanya meletakkan ponselnya di telinganya tanpa berkata apa-apa. Jantungnya berdetak kencang.

Sesaat tidak terdengar suara.

“Lan?” suara Surya terdengar bingung. Lana tidak menjawab.

“Lana? Halo?” Surya bertanya lagi dengan bingung.

Lana menarik napas, kemudian mengembuskannya lagi. 

“Ya,” jawabnya, dingin. 

Surya tidak langsung menjawab. Lana tahu pria itu sedang kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuknya.

“Kamu baik-baik saja, Lana?” tanya Surya, canggung.

“Memang kamu pikir saya kenapa? Tenang saja, Sur, saya tidak akan bunuh diri hanya karena masalah ini,” sindir Lana.

“Lana, please…,” pinta Surya, lirih. 

Lana terdiam.

“Kamu tidak pernah menjawab telepon saya. Saya takut ada apa-apa dengan kamu,” kata Surya, perlahan. “Saya mengkhawatirkan kamu, Lana.”

Hati Lana mencelos lagi. Ternyata pria itu masih mengkhawatirkan dirinya.

Untuk beberapa saat Surya tidak berkata apa-apa.

Lana bisa mendengar desah napas Surya yang berat di balik ponselnya. Mungkin pria itu sudah kehabisan kata-kata. Namun, Lana sendiri tidak sanggup berkata apa-apa. Apa pun yang dia katakan hanya akan menyakiti hati Surya dan juga dirinya sendiri.

“Maafkan saya, Lana,” Surya berkata lirih. Nada suaranya terde­ngar memohon.

Lana menggigit bibirnya kuat-kuat.

Semudah itukah cara Surya menyelesaikan masalah yang dibuatnya sendiri? Apakah dia pikir hanya dengan satu kata sakti itu saja dunianya yang telah hancur akan pulih kembali?

“Saya benar-benar tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu, Lana,” kata Surya lagi.

Lana tidak tahan lagi.

“Kamu bukan hanya menyakiti hati saya, Sur! Kamu hampir saja membunuh saya!” teriak Lana, dengan penuh kemarahan. “Apa kamu pikir saya bisa begitu mudahnya memaafkan kamu yang telah menghancurkan seluruh dunia saya? Apa kamu pikir saya masih punya muka untuk menghadapi kerabat-kerabat saya? Kamu bukan cuma menghancurkan hidup saya, Sur. Seluruh masa depan saya ikut hancur di tangan kamu. Kamu benar-benar kejam, Sur.”

Surya menghela napas panjang.

“Seandainya ada yang dapat saya lakukan untuk menebus kesalah­an saya,” nada suara Surya mulai terdengar putus asa. 

“Nggak bisa, Sur. Kamu nggak akan bisa mengembalikan air yang sudah kamu tumpahkan ke lantai,” sahut Lana. 
Ditutupnya ponselnya kemudian dengan tangan bergetar dimatikannya ponselnya. Dia tidak ingin mendengar suara Surya lagi. Terlalu menyakitkan baginya.

Dadanya terasa sesak sampai sakit rasanya. 

Saat itu barulah Lana mampu mengeluarkan emosinya. Dia mulai menangis. 

Lana menangis keras, berharap semua kesesakannya bisa hilang. Berharap semua kepahitan ini bisa berakhir.

“Menikahlah dengan saya.”

Lana hampir tersedak oleh makanan yang sedang dimakannya saat itu. Dia melemparkan tatapan yang seolah mengatakan bahwa Surya sudah tidak waras lagi.

“Apa kamu bilang barusan?” Lana menatap Surya tak percaya, sambil mengelap mulutnya dengan tisu dari samping piringnya.

“Menikahlah dengan saya,” kata Surya, mengulang kalimatnya. 

Sikapnya tenang, seolah dia hanya sekadar mengajak Lana nonton di bioskop. 

Lana tidak menjawab. Dia hanya menatap Surya sedemikian rupa, seolah mencari jawaban di sana. Kemudian Lana menggeleng.

“Nggak bisa. Ini terlalu gila untuk saya,” Lana meneguk minum­annya dengan gugup. “Kita baru kenal beberapa bulan, dan tidak ada angin tidak ada hujan kamu langsung melamar saya di siang hari bolong begini.”

Surya tersenyum, masih setenang sebelumnya.

“Saya yakin kamu pasti kaget. Tapi, saya tidak main-main.” 

Surya mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya. Dibukanya kotak itu dan disodorkannya kepada Lana. 
Lana menatap cincin berlian di depan matanya tak percaya. 

“Lana, menikahlah denganku,” tanya Surya.

Lana masih terpana. Dia bergantian menatap Surya dan cincin yang terpampang indah di depannya itu.

“Apakah saya bisa menafsirkan diam kamu sebagai jawaban iya?” 

Tiba-tiba saja Lana meneteskan air matanya dan mengangguk perlahan. 


Penulis: Yesi Marianti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?