Fiction
Cinta Kala Senja [5]

3 Mar 2012


Lana merasa seakan dunianya runtuh. Demi Tuhan, dia sedikit pun tidak menyangka hal seperti ini, kejadian yang dia pikir hanya akan terjadi di novel saja, akan terjadi pada dirinya. Hanya dalam hitungan detik seluruh hidup dan masa depannya seakan hancur. Hancur di tangan pria yang saat ini duduk di sampingnya.

Lana masih berharap Surya akan menyangkal bukti-bukti yang ditemukannya dan mengatakan itu adalah sebuah lelucon. Namun, pengakuan Surya membuatnya tidak mampu berharap apa-apa lagi.

Lana menatap Surya, seolah Surya adalah hantu. Namun, tiba-tiba Lana tertawa. Tertawa keras sampai matanya berair.

“Kamu hampir saja membuat saya pingsan dengan tipuan murahan kamu, Sur,” kata Lana, masih terbahak.

Surya hanya menatap Lana dengan bersalah.

“Lan…,” panggilnya, lirih.

Lana tidak berhenti tertawa. “Tanggal berapa sekarang? Apakah 1 April? Atau, kamu mau mengejutkan saya dengan April Mop versi kamu sendiri?” tanyanya, di sela tawanya.

Surya tidak menjawab. Dia hanya memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya.

Dari tatapan mata Surya, sebenarnya Lana tahu bahwa sejak tadi Surya bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Semua kecurigaannya selama ini ternyata benar-benar beralasan, namun Lana sedikit pun tidak menyangka kenyataannya bisa seburuk ini. Ternyata, bukan karena ada wanita lain seperti yang selama ini diduganya, tapi karena ada pria lain di dalam hidup mereka.

Perlahan tawanya mereda, digantikan oleh suara tangis keras yang tidak bisa lagi ditahannya. 

Surya tidak tahan lagi dengan pemandangan di depannya. Direngkuhnya bahu Lana perlahan. Namun, seperti tersengat listrik, Lana langsung mendorong Surya dengan kasar dan menamparnya keras.

“Jangan berani-berani sentuh saya!” teriaknya, sambil menjauh dari Surya.

Surya menundukkan kepala dengan putus asa. Kini, Lana bahkan jijik kepadanya.

“Lana… saya bisa menjelaskan.”

“Apa lagi yang mau kamu jelaskan? Bahwa selama ini kamu berusaha untuk hidup normal? Bahwa selama ini kamu selalu berusaha untuk mencintai saya, tapi tidak pernah berhasil?” teriak Lana, histeris. Dia kemudian menggelengkan kepalanya. “Saya tidak mungkin menikah dengan kamu. Saya tidak mau menikah dengan kamu!”

“Lana, jangan perlakukan saya begini. Saya mohon,” pinta Surya.

“Bagaimana kamu bisa menjelaskan tentang dirimu? Pria sejati yang tidak mampu mencintai wanita?” sindir Lana, tajam.

Surya tidak menjawab. Dia hanya menyandarkan kepalanya di sandaran sofa serta menghela napas. Dia sudah menduga reaksi Lana akan seperti itu. Tapi, tetap saja hatinya merasa sakit. Di matanya, Lana adalah seorang wanita hebat yang pantas untuk dikagumi oleh siapa pun. Dia sangat menyukai Lana, sejak awal dia mengenalnya. Dan, dia bisa melihat bahwa ada sesuatu yang istimewa dari dalam diri Lana. Tapi, bagaimanapun dia berusaha, dia tidak pernah mampu untuk mencintai Lana sebagai seorang wanita.

Semua yang dikatakan oleh terapisnya seolah hanya omong kosong belaka. Tidak ada satu pun yang berhasil mengubahnya menjadi pria normal. Kunjungan demi kunjungan dengan hitungan tarif per detik dilaluinya tanpa hasil. Tidak ada yang dilakukan oleh para terapisnya selain menguak pintu masa kecilnya yang suram dan menyakitkan.

Surya membuka matanya. Tidak didengarnya lagi isakan tangis Lana. Diam-diam diliriknya wanita itu. Ternyata wanita itu hanya duduk tegak, sibuk menyusut mata dan hidungnya. 

“Lana…,” Surya memberanikan diri membuka percakapan.

“Keluar,” kata Lana datar dan tenang. Surya terenyak mendengar betapa dinginnya suara Lana. Ketenangan yang menakutkan.

“Lana, please….” 

“Saya bilang, keluar dari rumah saya!” bentak Lana.

“Beri saya kesempatan menjelaskan padamu,” Surya memohon.

Lana menggelengkan kepalanya keras-keras. 

“Saya tidak butuh penjelasan kamu! Saya cuma ingin kamu keluar dari rumah saya dan jangan pernah menginjakkan kaki kamu lagi di sini,” kata Lana dengan geram, menyilangkan kedua tangannya di dada dengan sikap angkuh.

“Saya cuma ingin kamu mendengarkan penjelasan saya, Lana,” sahut Surya, perlahan.

Lana menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Keluar, sebelum saya panggil satpam buat mengusir kamu.”

Surya menundukkan kepala dengan sedih. Dia mengembuskan napasnya dan kemudian dengan lesu beranjak ke pintu keluar.

Lana sama sekali tidak bergerak, bahkan ketika pintu sudah tertutup dari luar, tanda Surya sudah pergi. Otaknya serasa lumpuh.

Hanya dalam hitungan detik dunianya berputar balik. Dan, hanya dalam hitungan detik masa depan cerah yang dibayangkannya hancur seketika. Impian untuk membangun sebuah keluarga bahagia dengan suami dan anak-anak yang dicintainya, pupus sudah.

Lana memeluk lututnya, menyandarkan dagunya pada lututnya, kemudian meremas rambutnya kuat-kuat dan mulai menangis.

Kenapa Tuhan begitu kejam, mengirimkan Surya untuk menjadi calon suaminya. Padahal, Lana sungguh-sungguh mencintai Surya. 

Ini akan menjadi berita sensasional yang teramat memalukan baginya. Berita besar bahwa dia akan menikah sudah menyebar ke seantero perusahaan. Kartu undangan sudah siap disebar. 

Tidak terbayangkan apa kata orang mengenai dirinya. Perawan tua pemarah yang akhirnya menikah juga, tapi terpaksa batal karena calon suaminya bukan pria sejati. Nama baiknya akan hancur. Semua kerabat dekatnya akan kasihan padanya. Lana tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi ibunya bila dia mendengar berita ini. Dia telah menghancurkan satu-satunya impian ibunya. Impian bahwa Lana, satu-satunya putri dan anak yang dimilikinya akan segera menikah.

Tapi, yang paling menghancurkan hatinya adalah perasaannya sendiri. Dia telanjur jatuh cinta pada pria itu. Kenyataan bahwa Surya tidak mungkin bisa mencintainya sebagaimana seorang pria mencintai seorang wanita, sungguh-sungguh menghancurkan dunianya. 

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Lana merasa ingin mati.

Mungkin, jika dia mati, segalanya akan lebih mudah. Dia tidak usah menanggung segala aib, sekaligus membereskan masalah pribadinya dengan Surya.

Tapi, tidak, mati hanya akan membuat semua orang lebih mengasihani dirinya. Mati karena patah hati memang terdengar menyedihkan. Dan, Lana teringat ibunya. Lana sungguh tidak tega meninggalkan ibunya yang hanya tinggal sendirian. Lagi pula, bagaimana pertanggungjawabannya terhadap Tuhan, jika dia mati dengan cara membunuh dirinya sendiri?

Lana tidak bergerak dari tempatnya semula sampai hari gelap. Dia bahkan tidak peduli, meskipun seluruh ruangan apartemennya gelap gulita karena tidak ada satu pun lampu yang dinyalakan.

Sesekali air matanya mengalir. Dan, sesekali dia terisak.

Puluhan kali ponselnya berbunyi. Begitu juga telepon apartemennya. Tapi, Lana sama sekali tidak menyentuhnya. Ego membuatnya mengurungkan niat untuk mematikan ponselnya. Dia tahu persis nama siapa yang tertera pada ponselnya. Dia ingin tahu sebanyak apa Surya berusaha meneleponnya. Jadi, dibiarkannya saja ponselnya terus-menerus berbunyi.

Seperti adegan film yang terus-menerus diputar, Lana terus-menerus melihat adegan dirinya berulang-ulang ketika Surya membuat pengakuan mengenai kisah hidupnya.


Penulis: Yesi Marianti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?