Fiction
Bunga Desa [3]

6 Sep 2012


<<<<  Cerita Sebelumnya

Bagian III!
Kisah Sebelumnya:
Ranti adalah seorang aktivis LSM yang membela petani untuk tidak tergantung pada pestisida. Pada suatu hari, ayah Ranti ditemukan tewas di sawah dan Ranti meminta jenazah ayahnya diautopsi.  Ranti juga melihat ada pelanggaran yang dilakukan perusahaan supplier pupuk terhadap kesepakatan untuk pemulihan tanah petani.

    Budiman hanya melirik sekilas pada berkas yang disampaikan Ranti. Sepertinya ia tidak tertarik untuk membacanya. Bagaimanapun, tidak akan pernah ada kesepahaman di antara dua pihak yang berseberangan. Budiman pun tak hendak berpanjang lebar lagi. Dia lalu menantang Ranti, apa yang sebenarnya diinginkan.
    “Maaf, Mbak Ranti. Sepertinya tak ada guna kita saling berargumen, karena kita punya kepentingan masing-masing. To the point saja, apa yang diinginkan Mbak Ranti?” ujar Budiman, mulai keluar sikap pragmatisnya.
    “Apa yang saya inginkan?” Ranti mengangkat kedua alisnya. “Kalau yang saya inginkan tidak ada! Tapi, demi kepentingan masyarakat luas, saya mohon perusahaan Anda mengoreksi kesepakatan yang telah dibuat itu. Saya tidak mau masyarakat khususnya petani dirugikan oleh kesepakatan itu!” jawab Ranti.
    “Maaf, tidak bisa! Kesepakatan itu sudah mendapat persetujuan semua pihak, bahkan mendapat dukungan jajaran muspika kecamatan!”
    “Tapi, Anda sebagai pihak supplier tentu bisa….”
            Belum selesai Ranti menyelesaikan kalimatnya, Budiman segera menukas, “Begini saja. Saya tahu motif di balik kengototan Anda menentang kesepakatan itu. Kalau ini menyangkut soal uang, okelah. Nanti bisa kita bicarakan secara baik-baik,” katanya, dengan senyum penuh arti.
    Ranti merasa gusar. Ucapan Budiman terkesan merendahkan dirinya. Menuduh dirinya mata duitan!
    “Anda pikir kami ke sini untuk uang? Anda pikir kami pemeras? Maaf, kami tak serendah itu!” tegas Ranti.
    “Sudahlah, kita tidak usah munafik. Saya tahu, pekerja sosial seperti Anda berpenghasilan pas-pasan. Saya bisa tawarkan kerja sama yang lebih menguntungkan buat Anda berdua tanpa harus kehilangan misi kita masing-masing. Bagaimana?”
    Ranti mengatupkan geraham. Kedua tangannya terkepal diliputi kemarahan. Jarwadi yang duduk di sebelahnya pun tak bisa menahan emosi.
    “Anda pikir dengan uang Anda bisa membeli kami? Anda keliru besar!” desis Jarwadi, seraya menoleh kepada Ranti. “Ayo, Ran. Tak ada gunanya kita berada di sini. Sebaiknya kita pergi. Ada cara lain yang bisa kita lakukan untuk membatalkan kesepakatan itu!”
    Jarwadi lalu menarik tangan Ranti, pergi dari ruangan itu. Mau tak mau Ranti menurut. Mereka tak berpamitan pada Budiman.

 
    Setelah berada di luar kantor, Ranti menghentikan langkahnya. Dia memandang   Jarwadi agak jengkel.
    “Kita belum selesai urusan dengan mereka, Jar, kenapa kamu malah mengajak pergi?” 
    “Sudahlah, Ran. Mereka tak bakal menuruti keinginanmu. Dua kepentingan berbeda tak bakal bisa bertemu!” tukas Jarwadi.
    “Tapi, setidaknya aku ingin menegosiasikan hal-hal tertentu dengan mereka. Aku tahu, mereka punya kepentingan bisnis. Mereka bekerja semata-mata mencari keuntungan. Tapi, yang aku harapkan keuntungan itu tidak sampai merugikan petani. Aku akan menawarkan sebuah program kepada mereka, yakni pengurangan penggunaan pupuk kimiawi dan bahan pestisida berbahaya dengan menggantikan produk organik. Mereka masih boleh menjual barang-barang itu, tapi secara bertahap dikurangi atau dibatasi, lalu digantikan dengan produk organik!”
    “Aku yakin, gagasanmu itu akan sia-sia. Mereka tidak bakal mau! Soalnya, itu sama saja mengurangi keuntungan mereka!”
    “Lalu apa yang bisa kita lakukan, Jar?”
    “Kita galang dukungan dari berbagai pihak. Kita bisa melakukan kerja sama dengan para pemerhati lingkungan, akademisi, peneliti, atau mungkin jurnalis. Kita bisa buat semacam penelitian atas penggunaan bahan kimiawi dan pestisida pada lahan pertanian di daerah ini. Nanti laporannya bisa kita terbitkan di media massa. Aku yakin, dengan cara itu kita bisa menggugurkan kesepakatan itu!”
    “Aku sudah sering melakukan hal itu lewat opini dan artikel yang aku tulis di koran, tapi tak ada respons berarti!”
    “Tulisanmu lebih bersifat subjektif, sementara yang kita lakukan nanti lebih bersifat investigasi jurnalistik, jadi semacam laporan objektif yang didapat di lapangan. Hasilnya tentu lebih efektif!”
    Ranti mengangguk-angguk. Dia bisa memahami gagasan rekannya itu. Memang persoalan ini tidak bisa dihadapi oleh LSM-nya an sich, tapi harus berkoordinasi dengan semua pihak yang berkompeten dan concern pada masalah lingkungan!
    “Omong-omong kita butuh bantuan seorang jurnalis andal berwawasan lingkungan,” cetus Ranti.
    “Aku punya teman semasa kuliah. Dia bekerja sebagai wartawan di sebuah koran nasional. Kebetulan dia ditugaskan di biro wilayah Surakarta. Namanya Arya Winata. Aku yakin, kamu pasti suka padanya, karena kalian punya ketertarikan sama pada dunia menulis!” ujar Jarwadi, sambil tersenyum penuh arti.
    Ranti tahu, Jarwadi mulai iseng mencarikan jodoh buatnya. Tapi, Ranti tak terlalu menggubris ucapan terakhir rekannya itu.
    “Oh ya, sekarang kita mau ke mana?” kata Ranti, mengalihkan pembicaraan.
    “Terserah kamu. Kalau aku, sih, mau pulang dulu. Jangan lupa nanti pukul empat sore kita ada acara di Desa Dadapan,” jawab Jarwadi.
    “Kamu dan Tikno saja yang ke sana. Kayaknya aku nggak bisa. Aku sedang tidak mood…”
    “Kalau begitu kamu istirahat saja, Ran. Suasana hati kamu belum mendukung untuk bekerja. Tadi waktu mau ke kantor Multikarya itu saja aku sebenarnya sudah malas. Aku tahu, kita pasti gagal bernegosiasi dengan mereka. Aku juga khawatir persoalan ini akan berimplikasi buruk pada keselamatan kita….”
    “Maksudmu mereka tak segan berbuat kekerasan, begitu?”
    Jarwadi tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam sejenak. Sebenarnya dia enggan bercerita mengenai pengalamannya saat jatuh ke dalam jurang bersama motornya. Tapi, demi menjaga keselamatan rekannya itu, dia tak bisa menutupinya lagi.
    “Kamu ingat dengan ceritaku kemarin soal kecelakaan motor yang kualami beberapa waktu lalu?”
    “Ya, memang kenapa?”
    “Terus terang, ada kejanggalan pada motorku. Menurut montir yang kusuruh memperbaiki, ternyata kabel kopling putus. Sepertinya ada yang sengaja memutus, karena selama ini aku tak pernah mengalami hal seperti itu. Peristiwa itu terjadi sepulang aku dari pertemuan di kecamatan. Jadi, aku yakin ada yang sengaja berniat jahat padaku. Dan menurut dugaanku, siapa lagi yang melakukan hal itu kalau bukan mereka…?”
    “Dugaanmu terlalu sumir! Belum tentu mereka pelakunya!” tukas Ranti, seperti tak terpengaruh oleh cerita Jarwadi.
    “Kalau bukan mereka, siapa lagi, Ran. Aku tak punya musuh atau menyimpan persoalan dengan seseorang. Kamu tahu sendiri siapa aku? Aku paling tidak suka berkonfrontasi!” tegas Jarwadi.
    Ranti terdiam. Dia sangat mengenal pribadi Jarwadi. Rekannya itu bukan orang yang suka berkonfrontasi. Kalaupun dia berdebat dengan orang lain di sebuah forum, hal itu lebih bersifat diskusi. Dia tak pernah punya musuh. Dia sangat supel dalam pergaulan. Tak pernah terdengar kabar dia terlibat konflik secara pribadi.
    Tapi, Ranti pun tak begitu yakin kalau kecelakaan yang menimpa rekannya itu merupakan perbuatan orang-orang Multikarya Utama. Hanya karena mereka tidak sepaham dengan LSM-nya, bukan berarti mereka pelakunya. Jarwadi terlalu khawatir terjadi apa-apa pada diri mereka. Tapi, Ranti tak takut. Dia akan hadapi apa pun risikonya demi memperjuangkan idealisme.

    Dua buah mobil tampak diparkir di halaman rumah Ranti saat gadis itu tiba di rumah. Dia tahu, mobil yang berwarna merah hati itu milik Arifin, sementara mobil yang di sebelahnya entah milik siapa. Penasaran, Ranti segera memasuki rumah. Di ruang tamu tampak Ibu dan Arifin sedang bercakap-cakap. Melihat kedatangan Ranti, pemuda berwajah tampan dan gagah itu segera berdiri menyambutnya.
    “Sudah pulang kamu, Ran? Dari mana saja?” tanya Arifin dengan senyum manis, tapi Ranti tak menggubris. Dia malah menghampiri ibunya.
    “Mobil yang satu itu punya siapa, Bu?” tanyanya.
    “Itu mobil polisi. Tadi ada tiga orang polisi datang, mereka hendak melakukan pemeriksaan di TKP,” jawab   Ibu.
    “Ke mana sekarang mereka?”
    “Di sawah kita. Diantar sama Danu!”
    “Kalau begitu aku juga akan ke sana.” Ranti buru-buru mau keluar, tapi segera ditahan ibunya.
    “Lho, lho, kamu jangan pergi dulu. Nak Arifin sudah menunggumu dari tadi,” kata Ibu, seraya melirik kepada Arifin.
    Sejenak Ranti memandang  laki-laki yang dulu pernah melambungkan hatinya ke langit keindahan itu. Tapi entah  kenapa, sekarang yang ada justru rasa benci. Ranti kembali pada ibunya.
    “Ibu temani saja dia!” Setelah mengucapkan kalimat itu, Ranti bergegas keluar rumah. Kali ini ibunya tak bisa mencegah. Dia hanya geleng-geleng kepala, lalu menoleh pada Arifin dengan perasaan jengah.
    “Maafkan sikap Ranti, ya, Nak…,” ucapnya, kikuk.
    “Nggak apa-apa, Bu. Saya bisa mengerti. Ranti belum bisa menerima saya lagi, tapi saya tidak akan putus asa. Saya akan terus berusaha membujuknya. Saya akan buktikan bahwa cinta saya hanya untuk dia! Sampai kapan pun saya akan menunggunya,” kata Arifin, terdengar tegar.
    “Ya, Ibu mohon maaf tak bisa berbuat banyak. Semua bergantung pada Ranti…”
    “Tak apa-apa, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu.”
    “Tidak menunggu Ranti dulu?”
    “Tidak, Bu. Sampaikan saja salam saya untuknya.”
    Arifin lalu keluar dari rumah diiringi pandangan mata ibu Ranti.

    Sebuah garis pengaman polisi melintangi gubuk tengah sawah, tempat di mana Sutomo pernah ditemukan kolaps. Tiga polisi, satu berpakaian preman, tampak memeriksa ke sekitar lokasi. Meski tempat itu sudah penuh jejak kaki orang dan telah lewat satu minggu sejak kejadian,   polisi dengan saksama melakukan pemeriksaan dan olah TKP. Danu dan seorang tetangga yang menjadi saksi memandu tugas polisi. Beberapa orang warga terlihat menonton dari kejauhan.
    Ranti tiba di tempat itu ketika para petugas sudah selesai dengan tugasnya. Mereka mengambil beberapa benda yang dimasukkan dalam wadah plastik sebagai sampel untuk diperiksa di laboratorium forensik. Beberapa titik tempat ditandai dengan goresan kapur atau spidol. Ranti mendekati ketiga petugas yang tampak sedang berbincang dengan Danu dan Pak Mardan, orang pertama yang menemukan Sutomo kolaps.
    “Bagaimana, Pak Polisi. Apakah Bapak-Bapak sudah menemukan bukti yang bisa menunjukkan kalau bapak saya telah dibunuh?” tanya Ranti kepada petugas polisi, tak sabar.
    “Polisi baru saja memulai penyelidikan, Mbak. Hasilnya tentu belum bisa disampaikan,” sela Danu, dengan nada agak senewen.
    “Ya, setidaknya sudah ada petunjuk mengenai kemungkinan unsur kesengajaan atas kematian Bapak, Nu,” sahut Ranti, sedikit sewot.
    “Tenang saja, Mbak. Dalam waktu tidak lama kami pasti akan menyampaikan hasilnya. Untuk tahap awal kami memang menemukan beberapa kejanggalan atas kematian Bapak Sutomo,” kata seorang petugas polisi, meyakinkan.
    “Tuh, kan apa kubilang!” Wajah Ranti berbinar-binar mendengar keterangan polisi. “Kalau boleh tahu, ada kejanggalan di mana, Pak?” tanyanya kemudian mencecar polisi.
    “Pertama, dari keterangan para saksi melihat korban sudah kolaps di dalam gubuk, tapi sebelum itu korban pergi ke pancuran sebelah sana.” Polisi menunjuk ke sebuah tempat pancuran air yang terbuat dari batang bambu tak jauh dari lokasi sawah.
    “Ada kemungkinan korban mengalami sesuatu di pancuran air itu sebelum kemudian kolaps di gubuk. Sebab, jika memang korban sempat menelan racun sianida, tentu tidak seketika jatuh kolaps. Paling tidak ada rentang waktu beberapa menit atau satu jam sebelum mengalami kejang-kejang dan akhirnya kolaps…”
    Ranti tertegun mendengar keterangan polisi. Hatinya berdebar-debar. Dalam benaknya terbayang saat ayahnya berada di pancuran. Seseorang datang menemui ayahnya, lalu berbuat sesuatu pada beliau.
    “Apakah ini artinya Bapak telah bertemu dengan seseorang di pancuran itu?” cetus Ranti, seolah ingin menyimpulkan.
    “Hal itu belum bisa dipastikan. Sebab, belum ada keterangan saksi yang mengetahui keberadaan korban dengan seseorang di tempat itu. Kita juga tidak mendapatkan bukti-bukti. Tapi, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Saat ini yang jadi fokus kita, dari mana asal racun yang telah menyebabkan kematian Bapak Sutomo? Apakah sianida itu tertelan tanpa sengaja atau ada yang telah memaksanya?” ujar Pak Polisi, mengajukan sebuah tesis atau kemungkinan.
    “Tapi, ada lagi satu kesimpulan yang bisa dijadikan benang merah. Racun sianida yang kami temukan dalam tubuh korban tergolong tipe racun berbahaya. Barang ini sangat sulit diperoleh di toko-toko, apalagi di kota kecil ini. Kemungkinan racun ini dipesan di toko tertentu yang ada di kota besar. Kami yakin, orang yang membeli racun ini sangat profesional. Artinya, orang itu tahu benar dengan jenis racun berbahaya ini!” sambung polisi satunya, menekankan.
    Ranti tercekat. Kesimpulan polisi itu memunculkan suatu hipotesis dalam benaknya. Pembunuh ayahnya adalah profesional? Orang yang tahu benar tentang golongan racun? Berarti dia seorang terpelajar!
    Ranti masih harus menyimpan rasa penasaran atas teka-teki dan misteri yang menyelimuti kematian ayahnya. Tapi, dari kesimpulan awal, polisi menengarai pelaku peracun ayahnya adalah orang profesional, maka Ranti mulai menduga-duga sosok yang dimaksud. Kecurigaannya terarah pada oknum di perusahaan Multikarya Utama. Mereka adalah para profesional yang sangat mengetahui seluk-beluk jenis racun, karena mereka adalah ‘penjual racun’.
    Tapi, Ranti masih tak yakin dengan dugaannya ini, karena dia tak melihat motif yang melatarinya. Jika persoalan perseteruan antara dirinya, terutama LSM-nya dengan pihak Multikarya Utama sebagai dasar, rasanya terlalu berlebihan. Sebab, apa untungnya membunuh Sutomo? Beliau tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan itu, kecuali bahwa dia adalah ayah kandung Ranti. Tidak ada kepentingan apa pun dari mereka dengan membunuh Sutomo!
    Tapi, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Saat ini ketegangan sedang berlangsung antara dirinya dengan pihak perusahaan itu. Ranti teringat pada pengalaman Jarwadi. Boleh jadi ada seseorang yang tak suka dia mengutak-atik kesepakatan yang terjadi antara pihak PT Multikarya Utama dengan kaum petani. Segala cara bisa saja ditempuh mereka demi mengamankan sebuah kepentingan, tak peduli dengan cara kekerasan atau menghabisi jiwa orang-orang yang dianggap pengganggu!


Penulis: Eko Hartono



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?