Fiction
Buku Assara [1]

29 May 2014


Hari masih ranum. Di atas pembaringan berseprai polkadot, Salira mulai terbangun. Kebiasaannya bangun pagi tak pernah hilang, walau ia tidur jam berapa pun di malam harinya. Ia seperti sudah memiliki weker kasatmata yang selalu mengulik matanya tepat di pukul 05.00 dini hari.
Seperti kali ini, Salira terbangun di pukul itu. Beberapa detik sebelum sadar sepenuhnya, ia masih membayangkan terbangun di bawah langit Katmandu, tepatnya di dalam tenda apek yang selama ini menemani perjalanannya. Aroma tanah tandus langsung tercium hidungnya, dan suara-suara yak seakan terdengar begitu  dekat.
Salira sepertinya masih terbawa-bawa pagi-pagi sebelumnya. Katmandu adalah kota terakhir yang didatanginya sebelum ia kembali. Cukup lama ia berada di sana. Hampir 2 minggu lebih.
Tapi, beberapa detik kemudian kesadaran Salira mulai pulih. Ia sadar kalau kini ia sudah berada di kamarnya yang nyaman. Kamar berbau harum yang selalu dirindukannya selama perjalanan.
Rasanya ia ingin kembali menarik selimutnya, tapi ia mengurungkan niat itu. Ia tiiba-tiba ingat perjalanan-perjalanannya, catatan-catatannya dan laptop berwarna  maroon-nya. Ia sepertinya sudah menunda terlalu lama.
Salira bangkit dan segera membuat kopi. Sejenak suara coffee maker memecah keheningan pagi, di susul uap hangat harum kopi yang menyebar. Salira menghirup aroma itu dengan perasaan senang.
Ia sebenarnya bukan peminum kopi. Namun, dalam suasana seperti ini, yang terpikir olehnya hanyalah minuman itu. Ia beruntung, seorang kawannya pemilik salah satu kafe, memberinya beberapa kilo kopi dari Temanggung. Katanya, itu kopi terbaik. Jadi, ia menuruti  saja. Walau sebenarnya ia sendiri masih ada di kelas amatir soal kopi: ia baru bisa  membedakan kopi biasa dengan kopi sasetan.
Masih dengan pakaian tidurnya, Salira duduk di sofa besar sambil menyalakan laptop-nya. Sebenarnya ia sudah merencanakannya sejak semalam. Tapi, saat baru selesai mandi, Mama meneleponnya cukup lama, dan kawan-kawannya kemudian ramai mengiriminya pesan menanyakan kabar selama perjalanan. Habislah malamnya untuk acara bincang-bincang itu.
Padahal, Salira sudah merancang kerangka tulisan sejak lama. Dan sepanjang perjalanan, ia tak pernah berhenti menulis. Apa pun yang sekiranya menarik, ia tulis di tabletnya. Dan selama lebih dari 2 minggu itu, ternyata jumlahnya cukup banyak. Memang masih berupa potongan-potongan kisah, tapi dengan kerangka yang sudah dirancangnya, ia tinggal menempatkannya  kisah-kisah itu di tempat-tempat yang pas.
Salira bahkan sudah memikirkan judul yang akan di pakainya. Malam-Malam di Katmandu. Walau ia merasa judulnya terlalu biasa,  ia suka judulnya. Sangat sesuai dengan apa yang akan ditulisnya.
Mungkin yang belum diputuskan dengan sempurna hanya tokoh-tokohnya. Terutama tokoh utama laki-laki. Ia masih bingung menentukannya dengan pasti. Ia membayangkan sosok laki-laki berbadan tinggi dan tegap. Tapi, itu terlalu berlebihan untuk karakter seorang peneliti. Ia pikir karakternya memang harus bertubuh biasa saja, walau nantinya ada adegan ia harus membopong tubuh kekasihnya.
Hmm, mungkin seperti Rhada yang bertubuh biasa saja namun cukup kuat. Salira tersenyum sendiri. Itu adalah nama kekasih pertamanya. Namun, belum sempat ia menganalisis lebih jauh, ia sudah cepat-cepat menggeleng. Karakter itu sudah dipakainya di novel pertamanya. Jadi, tak mungkin digunakannya lagi.
Mungkin… karakternya seperti Sakki? Salira berpikir lagi. Kali ini nama kekasih keduanya yang muncul. Rasanya memang sangat pas, karena Sakki sekarang bekerja sebagai peneliti. Hanya, perawakan Sakki rasanya kurang pas. Ia terlalu… hmm, gempal. Apalagi ia terlalu lucu untuk menjadi tokoh yang serius seperti di dalam novel ini.
Salira berpikir, mungkin untuk kali ini  ia memang harus mengimajinasikan laki-laki lain. Ini tentu cukup sulit baginya. Ia bisa merancang karakter-karakter lain dengan lebih mudah, tapi tidak dengan karakter utama laki-laki. Entahlah, ia seperti terlalu dibayangi dengan dua kekasih  masa lalunya itu. Sehingga tanpa sadar nanti akan membuat beberapa sifat kekasihnya akan muncul pula di novel.
Ini mungkin karena hubungannya dengan keduanya dulu berlangsung cukup lama. Empat dan enam tahun. Bahkan, bersama Sakki, Salira sempat bertunangan. Namun, karena satu dan lain hal, pertunangan itu dibatalkan.
Salira menyalakan internet. Masuk ke Firefox dan membuka e-mail. Ada puluhan pesan di inbox-nya. Sebagian besar hanya spam. Satu dari editornya yang menanyakan kabar naskahnya, dan beberapa lainnya dari pembacanya.
Salira terdiam sejenak mengamati layar laptop-nya. Ia memang sedikit merasa tegang bila ada nama asing di e-mail-nya. Terlebih bila ia tahu itu adalah pembacanya.
Ini ada hubungannya dengan kejadian dua tahun lalu. Waktu ia merilis novel pertamanya, Rindu Rinai. Itu adalah novel yang dibuatnya hampir 3 tahun. Bercerita tentang seorang eks penyanyi cilik terkenal yang kemudian redup dan mencoba lagi merintisnya saat remaja.
Ini adalah novel yang sangat istimewa bagi Salira. Orang-orang bilang itu adalah kisah hidupnya sendiri, dan ia tak menampik itu. Kisah Rindu Rinai memang terinspirasi dari kisah hidupnya sendiri. Namun, hanya di bagian awal. Selain itu, imajinasinyalah yang berperan.
Sayangnya, penjualan novel itu ternyata tak sesuai harapan. Penerbit yang berharap banyak pada dirinya, langsung mencetak 10.000 eksemplar dalam cetakan pertama. Tapi ternyata, pasar tak terlalu menerimanya. Penerbit pun hanya bisa gigit jari.
Sejak itu hari-hari buruk Salira datang. Awalnya dimulai saat bukunya dibedah di beberapa kota. Hampir semua  pembicara yang diminta membedah bukunya,   bernada negatif. Bahkan, saat acara di sebuah kampus pun, seorang pembaca mengutarakan kekecewaannya terhadap novelnya tanpa tedeng aling-aling.
Editor dan penerbitnya mencoba menghibur. Mereka bilang, orang-orang yang mengkritik bukunya bukanlah barometer diterima atau tidak bukunya. Ia sedikit terhibur. Tapi, saat ia tak sengaja membuka Goodreads, beberapa komentar terbaca sangat menyakitkan di situ.

Saya tak pernah berpikir seorang penulis bisa menulis novel seperti ini. Dari awal alurnya tak jelas. Semakin ke belakang semakin tak jelas. Saya benar-benar tak tahu kisah ini mau dibawa ke mana!

Dulu saya menyukainya dan hafal lagu-lagunya. Namun, membaca novelnya, hanya satu pesan saya: berhentilah menjadi penulis!

Ini novel sampah! Layak dibuang!

Salira nyaris mundur saat itu juga. Ia tahu tanggapan ini terlalu berlebihan. Selama ini ia memiliki banyak teman penulis. Walau buku mereka tak terlalu laku, tak ada yang mengalami perlakuan seperti yang dialaminya.
Salira begitu sedih. Terlebih saat penerbit akhirnya ikut-ikutan juga menyalahkan dirinya. Padahal, ia ingat sekali, sejak awal ia sudah menolak saat penerbit menulis di belakang namanya dengan kata Skygirl. Tapi, mereka tetap ngotot. Mereka masih menganggap kata itu bisa mendongkrak penjualan. Padahal, Salira sendiri sudah merasa tak yakin. Nama itu mungkin sangat dikenal 15 tahun yang lalu, tapi tidak sekarang. Ia bahkan tak yakin remaja-remaja sekarang mengenalnya, sama seperti ia tak yakin remaja-remaja dulu yang mengenalnya akan berbondong-bondong membelinya.
Tapi, penerbit ternyata punya hitung-hitungan sendiri yang tak bisa ditolaknya. “Ini semacam menjual romantisisme. Kau tahu, penggemarmu dulu, kini pastilah sudah seusiamu. Mereka yang dulu remaja-remaja muda, kini sudah menjadi orang-orang dewasa yang mapan. Tentu mereka akan membeli bukumu untuk memuaskan kenangan mereka.”
Alasan itu ternyata tak sepenuhnya berjalan. Walau Salira cukup beruntung, karena dengan reputasi itu, ia dengan mudah diwawancarai media. Beberapa radio dengan mudah didatanginya untuk promosi. Beberapa televisi lokal pun membuat talk show tentang novelnya. Namun ternyata, penjualan novelnya tetap tak sesuai target.
Salira menyeruput kopinya sejenak mengenang masa-masa yang disebutnya masa pahitnya itu, sebelum akhirnya ibu jarinya menekan mouse untuk membuka e-mail.

Mbak Salira yang manis,
Terima kasih atas novelnya. Saya baru menyelesaikannya kemarin. Dan saya suka.
Ditunggu novel berikutnya.
Andina

Salira tersenyum lega. E-mail ini sedikit melegakannya. Semenjak novel pertamanya  dulu dirilis, ia memang tak banyak menerima pujian. Ia jadi ingat ucapan Assara, sahabatnya yang merupakan penulis terkenal, saat ia mengadu tentang kegagalan novel itu, “Semua buku akan menemukan pembacanya sendiri, walau itu harus dilalui dengan berliku.”
Ah, tiba-tiba Salira teringat sosok Assara. Sepertinya semalam saat kawan-kawannya menyambut kepulangannya, tak diingatnya ada sosok Assara.
Salira segera menelepon Assara. Tapi ternyata nomornya tak aktif. Ia pun segera menulis SMS, namun tanpa sengaja ekor matanya membaca sebuah berita di pojok kanan layar komputernya.
Kematian Misterius Penulis Assara!

***

Assara benar-benar telah mati!
Bayangan itu masih teringat dengan jelas di mata Salira, karena itulah pemandangan paling mengerikan yang pernah dilihatnya sepanjang hidup.
Setelah membaca kabar kematian itu, Salira segera menghubungi kawan-kawannya untuk meminta kepastian. Ia juga mencari berita-berita di internet dan membeli beberapa koran yang memuat berita itu. Dari sebuah majalah yang kerap membahas hal-hal mistis, Salira menemukan beberapa foto Assara dalam keadaan mengerikan.
Walau foto-foto itu beberapanya dikaburkan,   masih terlihat jelas tubuh Assara yang mengering, nyaris hanya menyisakan tulang-tulang yang dilapisi kulit, seakan-akan semuanya lenyap, mengerut karena kepanasan, atau... tersedot hilang begitu saja.
Sampai hari ini, para penyidik dari kepolisian sama sekali tak bisa menyimpulkan apa penyebab kematian seperti itu. Hanya, beberapa ahli kemudian mengambil kesimpulan bahwa kematian itu bisa jadi karena dehidrasi yang akut!
Tapi, tentu saja Salira menganggap analisis itu omong kosong. Dehidrasi jelas tak akan merusak tubuh separah ini. Apalagi ia tahu sekali,  hanya 2 meter dari tubuh Assara ditemukan, ada dispenser yang masih penuh airnya.
Ini jelas bukan sesuatu yang normal. Seharusnya semua bisa menduganya, bila kulit wajah yang nyaris menyatu dengan tulang tengkorak dan masih menampakkan mulutnya yang tengah berteriak, jelas menandakan kengerian yang luar biasa. Kesakitan tiada tara.
Jelas sekali Assara bukan mati karena hal-hal biasa.
Iblis seakan-akan yang mencerabut jiwanya!

***

Salira mengenang Assara.
Seperti yang diketahui semua orang, Assara adalah pengarang paling fenomenal di negeri ini. Buku-bukunya laku keras laiknya penjualan smartphone. Bahkan salah satu bukunya juga dicap sebagai buku terlaris sepanjang masa. Tak hanya di negeri ini, tapi juga hingga di luar negeri.
Sejak setahun belakangan ini, Salira cukup dekat dengan Assara. Setidaknya sejak ia merilis novelnya, Assara menjadi sahabatnya. Ia banyak mengenal Assara sejak saat itu. Salira tahu kalau Assara tak memiliki banyak teman. Orang-orang yang mengenalnya cenderung meninggalkannya karena sifatnya yang angkuh dan kerap memandang rendah orang.
Untuk poin pertama Salira bisa mengerti. Ia pikir Assara layak menjadi angkuh. Apa yang diraihnya, tak pernah bisa diraih pengarang lain. Saat pengarang lain terengah-engah menjual cetakan pertama buku mereka yang rata-rata 3.000 eksemplar, Assara dengan mudah menjualnya 100 kali lipat. Salira tahu, untuk buku-buku terbaru Assara, penerbit berani mencetak 30.000 eksemplar  di cetakan pertama. Ia benar-benar jauh melampaui semua penulis. Jadi, wajar sekali bila ia angkuh. Toh, ia sudah membuktikan kehebatannya.
Apalagi media sudah menjadikannya dewa. Profilnya selalu ada di mana-mana, dari koran ecek-ecek sampai majalah paling prestisius. Ia bahkan sering dijadikan narasumber oleh media televisi, yang lebih mementingkan nama besarnya daripada kualitas omongannya.
Salira kerap merenung, mencoba membandingkan dengan apa yang telah diraihnya sekarang dan apa yang diraih Assara. Dan itu selalu saja membuatnya merasa sedih.
Ia dan Assara tumbuh di kota yang sama, menghirup udara yang sama, dan makan makanan yang sama. Salira ingat, pertama kali jumpa Assara di workshop penulisan seorang pengarang dari ibu kota. Tak ada percakapan yang terjadi kala itu. Tapi ingatan keduanya saling menghafal. Ya, di dunia kepenulisan di negeri ini, di mana tak banyak orang yang tertarik untuk menekuninya, dunia seperti terlalu kecil. Tak heran bila beberapa bulan kemudian, saat  kembali bertemu di acara yang hampir sama, keduanya sudah seperti menjadi kawan lama, dan begitu saja menjadi dekat.
Assara pernah menunjukkan tulisannya pada Salira. Dan jujur saja, itu adalah tulisan paling payah yang pernah dibaca Salira. Dalam berbagai aspek, semuanya benar-benar kacau. Jangankan bicara soal EYD, imajinasinya pun aneh. Kaku, datar dan hambar. Benar-benar bagai seorang esais yang sedang mencoba-coba menulis fiksi. Sama sekali tanpa perasaan.
Tapi tentu saja, sebagai seorang kawan baru yang mencoba bersikap ramah, Salira hanya berkata, “Lumayan,” tanpa berkomentar apa-apa lagi. Dan jawaban itulah yang kemudian memenjaranya. Hingga saat Assara memutuskan pindah ke ibu kota pun, ia tetap terus mengontaknya sebagai seorang kawan baik.
Namun, hanya berselang beberapa tahun kemudian, Salira dikejutkan dengan kemunculan Assara di televisi. Buku barunya ternyata baru saja dirilis.

***

Salira membaca buku milik Assara dengan terpana.
Ia tahu, terkadang kata mampu memerangkap seseorang. Kita dapat dibuat tak sadar mengikuti lekuk tubuhnya, bagai seseorang yang jatuh cinta. Bau tinta cetak yang samar seakan menjadi pewanginya, dan suara halus gesekan antar lembar satu dengan yang lainnya seakan sentuhannya. Sungguh, Salira kerap ada dalam posisi seperti itu.
Tapi, yang dialaminya kali ini lebih dari semua itu. Assara yang dikenalnya selama ini seakan telah berubah. Kemampuan menulisnya tak lagi dikenali. Imajinasinya mengagumkan, dan caranya memilih kata bagai seorang kasanova memilih bunga: selalu indah dan harum.
Salira tak lagi hanya terbawa oleh kekuatan Assara bertutur. Ia terperangkap. Assara tak hanya menceritakan sesuatu di bukunya, tapi membawanya menuju kisah itu. Memasukkan dirinya pada alur yang dibuatnya, dan meletakkannya pada celah-celah kata yang dituliskannya.
Sungguh, Salira tak bisa menghentikan matanya membaca novel 400 halaman itu, sekejap pun. Setelah selesai dan buku itu ditutup, kelelahan baru terasa di sekujur tubuhnya. Matanya pun baru terasa sedikit perih.
Sungguh, tak bisa dipungkiri, novel ini benar-benar mengagumkan.
Namun, tetap saja satu pikiran yang berkelebat di otak Salira. Bukan Assara yang menulis novel ini!

***

Maka Salira memutuskan untuk datang ke ibu kota.
Sebenarnya bagi Salira, ibu kota adalah kota yang paling dibencinya. Ia merasa kota ini selalu murung. Semua kata hanya terbiasa diucapkan, bukan dituliskan. Salira sama sekali tak merasakan penyatuan dengan kota ini. Tapi, pekerjaannya sejak dulu selalu membuatnya harus hadir di sni. Dan ia sadar itu adalah kewajiban, bukan lagi sekadar persoalan penyatuan.
Salira tahu Assara hidup seorang diri. Ia tak memiliki saudara dan keluarga. Orang-orang yang berhubungan intens dengannya hanyalah editor  dan dirinya. Jadi, bila ada orang yang harus mengurus barang-barangnya, itu pastilah dirinya.
Dua tahun yang lalu, saat Salira merilis novelnya, ia cukup lama tinggal di ibu kota. Walau ia menyewa apartemen sendiri, Assara memberikannya kunci apartemennya agar sewaktu-waktu ia bisa mampir. Inilah yang membuat keduanya  makin dekat. Bahkan, saat Salira bercerita tentang tanggapan negatif pembaca-pembaca novelnya dan berniat tak akan menulis novel lagi, Assara yang menentang keinginan itu dengan keras.
“Mereka tak adil kepadamu. Sebenarnya banyak sekali penulis yang buku pertamanya tak sukses, bahkan membuat penerbitnya rugi. Namun, hanya kau yang terekspos. Ini karena kau adalah anggota Skygirls yang terkenal itu. Jadi, mereka menilaimu secara berlebihan!”
Salira tak menanggapi ucapan itu. Namun ia setuju. Assara memang telah tahu siapa dirinya. Dulu sewaktu ia mampir ke rumahnya, dan melihat foto-foto masa lalunya di dinding, ia berteriak tak percaya, “Ya Tuhan, kau ternyata anggota kelompok Skygirls? Aku dulu menyukai lagu-lagu kalian.”
Assaralah yang kemudian mengusulkan Salira melakukan traveling.
“Dengar,” ujarnya, “ada macam-macam tipe penulis. Ada yang kuat di imajinasi, namun ada yang lemah dan biasa saja. Kupikir kau termasuk yang lemah di imajinasimu. Di novelmu, kau banyak menceritakan masa lalumu, kau tak terlalu bermain imajinasi. Maka itu, kupikir kau tipe penulis yang harus menjalani dulu kisah-kisahmu, bukan membayangkannya. Jadi, satu-satunya cara untuk mengatasi kebiasaan ini adalah dengan traveling. Bertemu orang baru, tempat baru dan kisah baru.”
Salira merasa pendapat Assara benar sekali. Maka, sejak itulah ia mulai merancang perjalanannya. Ia tak mau gagal lagi di novel keduanya, sehingga ia menyiapkan semuanya dengan matang, Beberapa bulan ia mencoba membuat alur yang baik. Saat itulah ia ingin menulis tentang Nepal. Ia suka negeri itu, dan menganggap negeri  eksotis itu belum banyak dieksplorasi penulis di sini.
Di waktu yang sudah direncanakannya ia pun pergi ke sana. Dan kini sebelum ia menyelesaikan novelnya, sosok yang memberinya ide itu malah pergi terlebih dahulu dengan cara yang menurutnya... mengerikan.(f) 
>>>>>>> Cerita Selanjutnya

************
Yudhi Herwibowo


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?