Fiction
Bintatar Untuk Ayah

30 Nov 2015



MATA BINSAR mengamati sekeliling, lalu lekat pada serumpun monis-monis yang batangnya terlihat putih seperti berlabur tepung. Di baliknya ada sebuah pohon gandaria yang batangnya masih sebesar pahanya, namun tingginya sudah lebih dari lima meter. Beberapa batang kemiri juga mulai berbunga. Dan di sana, di sudut kebun liar mereka, dekat serumpun bambu yang kurus-kurus, dilihatnya sebatang bintatar yang cukup besar, sejenis pohon berbatang keras nan kokoh.

Akhirnya, ia temukan apa yang dicarinya. Bukannya bergirang, ia malah merasakan sebuah hunjaman dahsyat memalu jantungnya, laksana hantaman godam berbobot ribuan kilo menyesaki dadanya.

Lagi, matanya mengitari sekeliling: pada dahan-dahan dan reranting pohon, memastikan tidak ada sarang tawon atau sekelompok lebah yang mengancamnya. Parang tajam digenggamnya erat, sesekali berkilau manakala cahaya keemasan matahari yang menembus rerimbun dedaunan beradu dengan besi pipih itu. Tangannya mulai mengayun. Hantaman parang pada batang bintatar itu mengejutkan beberapa burung yang bertengger di pepohonan sekitarnya.

Tiap kali Binsar mengayunkan tangannya, dirasanya kepedihan mendalam menyayat jiwanya. Keringat sebesar butiran jagung mengalir menuruni dahinya, bercampur dengan asin air matanya. Tetapi ia menguatkan hati. Inilah langkah terbaik yang dapat dilakukannya. Inilah hadiah terbaik yang dapat diberikannya kepada ayahnya.

Pada usianya yang masih belasan tahun, ia sudah menjadi tumpuan keluarga. Sepulang sekolah, setelah menanggalkan seragam putih abu-abunya, ia harus berkutat dengan lumpur dan berbagai jenis kerja keras lainnya. Ia telah berperan sebagai kepala keluarga sejak beberapa tahun belakangan ini, setelah tahun-tahun kepedihan melingkupi keluarga mereka. Ibunya tidak akan sanggup mengerjakan semua pekerjaan berat itu sendirian, maka ia memanggul sebagian beban itu.

Rame, kakak perempuannya, sudah tamat SMA tiga tahun lalu. Kakaknya itu harus rela mengubur mimpi untuk melanjutkan studi ke bangku kuliah karena alasan klasik: masalah biaya. Ia menjadi buruh di sebuah pabrik yang baru buka di daerah mereka selama setahun. Kemudian, Boris, anak pemilik penggilingan padi terbesar di kampung mereka melamarnya. Boris memang sudah menunjukkan rasa tertariknya semenjak Rame masih berseragam putih abu-abu. Tetapi Binsar tahu, alasan utama kakaknya itu bersedia menjadi istri Boris adalah agar kelak ia dapat membantu keluarga.

“Jangan korbankan dirimu sendiri demi keluarga kita, Nak!” pinta Ibu saat itu.

Rame menggeleng dengan pasti. Tapi mereka semua tahu, gadis itu hanya sedang berusaha menegarkan diri.

Lalu, atas pertolongan Rame dan suaminya, Ayah dibawa berobat ke sana kemari. Banyak orang bilang, Ayah terkena guna-guna dari seseorang yang menginginkan kehancurannya, tapi Binsar tidak percaya itu.

Dulu, usaha Ayah di bidang perkayuan dan bahan-bahan bangunan sempat berjaya selama bertahun-tahun. Sebelumnya, keluarga mereka tinggal di kota kabupaten. Mereka sering berurusan dengan orang-orang penting di sana, dan banyak mata memandang mereka dengan harapan ketiban rezeki yang sama. Ayahnya bahkan tidak segan-segan menyekolahkan seorang adik laki-lakinya hingga menjadi sarjana, bahkan membiayai pernikahan mereka dengan adat lengkap yang memakan biaya tidak sedikit. Dari cerita Ayah, dulu, Binsar tahu bahwa pamannya itu sudah menjadi orang sukses di kota provinsi. Sayangnya, semenjak menikah, perangai pamannya jadi berbeda. Ia berlaku seperti orang lain. Kata Ayah, istrinya telah menguasai pamannya sepenuhnya.
Lalu badai demi badai datang beruntun, bertiup kencang dengan daya pemusnah yang tidak dapat dihindari. Malangnya, keluarga mereka berada di pusaran badai hebat itu. Mula-mula, beberapa rekan bisnis ayahnya sepakat memutuskan kerja sama, menuduhnya tidak jujur dan tidak dapat dipercaya. Beberapa orang menuntut Ayah melalui jalur hukum yang melelahkan dan menguras biaya. Energi Ayah tersita ke sana sehingga tidak fokus pada bisnisnya. Kemudian diketahui, rupanya orang kepercayaan ayahnya sendirilah yang berlaku curang. Ia mengambil keuntungan untuk diri sendiri tanpa memikirkan kualitas barang yang mereka jual. Kabar buruk itu cepat sekali beredar. Proyek-proyek besar yang sebelumnya dipercayakan kepada ayahnya, diambil alih oleh saingan-saingan bisnisnya. Menyedihkannya, orang kepercayaan ayahnya sendiri berkomplot dengan salah satu dari mereka, membuka usaha sejenis dan menghancurkan  Ayah.

Ayah benar-benar tidak siap. Badai itu meremukkannya. Ia jatuh sakit, dan sejak saat itu  ia menjadi penghuni tetap rumah sakit. Ia dibawa berobat ke berbagai rumah sakit, termasuk ke luar negeri, tetapi tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kemudian satu per satu, semua harta milik mereka berpindah tangan. Binsar bahkan masih ingat bagaimana orang-orang datang ke rumah mereka dan menawar satu per satu barang yang selama ini disayanginya. Mereka bahkan menawarnya dengan harga yang sangat murah. Binsar menyimpan ingatan itu rapat-rapat dalam bilik kenangan di kepalanya. Saat itu ia masih terlalu belia, banyak orang mengira ia belum tahu apa-apa. Tapi, sekalipun ia masih berseragam putih merah pada saat itu, ia telah belajar mengerti persoalan-persoalan orang dewasa dengan cepat. Ia juga tidak banyak bertanya kepada ibunya ketika pada akhirnya mereka pindah ke kampung ayahnya, tinggal bersama nenek mereka untuk sementara, sampai mereka dapat mendirikan rumah kayu sederhana di samping rumah nenek.

Orang-orang bilang, mereka telah tumbang! Tumbang!

Brashh… bruk!!

Pohon bintatar itu tumbang dengan suara berdebum yang kuat. Binsar mengelap aliran keringat di dahinya dengan tangan kanannya. Ia mengerjapkan mata, berusaha melindungi matanya dari butiran keringat yang menderas. Dipandanginya batang bintatar yang telah rebah di hadapannya. Rebah, sama seperti ayahnya yang telah rebah selama bertahun-tahun.

Binsar mengambil sehelai tali yang dijadikannya alat pengukur, lalu menandai bagian batang bintatar yang hendak dipotongnya. Lagi, hantaman parang di tangannya menimbulkan sesuatu yang menyesaki dadanya.

“Dasar orang gila!” tiba-tiba suara-suara itu berdengung di telinganya, serupa suara sekerumun lebah yang terbang mendekat. Sekilas, Binsar menatap berkeliling. Dipastikannya tidak ada siapa pun di sekitarnya. Lalu ia sadar, suara itu hanyalah sebuah rekaman yang sudah beribu kali berputar di kepalanya, berulang-ulang. Dalam sadar atau tidurnya, suara itu sering kali muncul, sekalipun saat ia tak ingin mendengarnya. Entah kekuatan dari mana yang telah berhasil menanamkan suara-suara itu di kepalanya. Membuatnya seperti berada dalam sebuah labirin gelap dan tak kuasa melepaskan diri. Seperti berada dalam kumparan mimpi buruk yang tak pernah berakhir dalam sebuah tidur yang mahapanjang.  

ORANG-ORANG MENYEBUT ayahnya gila!
Mula-mula mereka berbisik-bisik, dengan suara perlahan agar tidak ada orang lain yang mendengar. Namun lama-kelamaan, mereka  makin berani berbicara keras. Ayah menjadi gunjingan para tetangga saat dua tiga orang berkumpul membicarakan kekurangan orang lain. Menjadi olok-olok dan bahan tertawaan yang menyenangkan bagi mereka. Kalaupun secara tidak sengaja ada anggota keluarga yang sedang mereka bicarakan datang mendekat, mereka dengan gampangnya mengalihkan pembicaraan, menertawakan sesuatu yang tidak lucu atau bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, dan bersikap manis dengan bibir melengkung. Tapi semua orang tahu, mereka sedang berpura-pura.

Binsar sadar, sudah lama ia kehilangan ayahnya. Seorang ayah yang dapat menunjukkan rasa sayang kepadanya dan keluarga, serta memanjakannya. Ayahnya sering kali bercerita tentang nama anaknya itu, dulu sekali. Sepertinya masa itu sudah berlalu berabad-abad silam. Dalam bahasa Batak, binsar artinya terbit, seperti matahari yang bersinar cerah mengusir kegelapan, menggantikan dingin malam dengan hangat sinarnya. Itu adalah doa dan harapan yang dicita-citakan ayahnya ketika memberinya nama itu. Namun sekarang, ia punya ayah yang berbeda. Bukan hanya karena fisik ayahnya sudah terlihat menua dan kurus kering. Tapi juga karena dalam diri ayahnya sudah tak ditemukannya lagi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ayahnya masih memiliki apa yang dipunyai semua orang normal.

Ayahnya mulai sering berbicara sendiri. Ia mengumpat dan memaki beberapa nama yang dulu sempat Binsar kenal. Kadang-kadang ia berlagak seperti seorang bos yang sedang memerintah anak buahnya dengan sesuka hatinya, mengomeli pekerjaan mereka yang tidak becus, atau seolah sedang membicarakan proyek-proyek besar dengan para pejabat penting. Kadang-kadang, ia juga menangis terisak-isak sambil memeluk Binsar atau ibunya. Dalam saat-saat begitu, mereka hanya bisa terdiam, berusaha menerjemahkan segala sesuatu dalam diam. Pikiran mereka berkecamuk dengan berbagai peristiwa di masa lalu.

Ayahnya memang pernah dirawat lebih dari setahun di sebuah rumah sakit jiwa. Tetapi, semua terapi di sana tidak menghasilkan perubahan yang nyata. Kondisi ayahnya tetap saja begitu. Bahkan ayahnya mulai bersikap temperamental. Sesekali, ia mulai memaki-maki siapa saja, menatap mereka dengan penuh kebencian, dan melempari mereka dengan piring atau gelas. Saat Binsar dan ibunya berkunjung ke rumah sakit itu, terkadang mereka bahkan hanya dapat menemuinya dari balik jeruji. Kadang-kadang Binsar menyimpulkan bahwa ayahnya tak layak lagi disebut manusia, walau pemikiran kejam itu hanya ada di dalam benaknya.

Lalu badai berikutnya datang. Usaha keluarga kakaknya, Rame, mulai guncang. Penggilingan padi mereka terbakar. Pendapatan mereka pun  makin berkurang karena lahan pertanian yang sebelumnya sangat luas mulai banyak beralih fungsi. Gedung-gedung pabrik berdiri megah  di atas lahan-lahan pertanian yang ditimbun, lokasi permukiman warga pun makin menjamur. Dengan terus terang, Boris, suami kakaknya itu, mengatakan bahwa mereka tidak sanggup lagi membiayai pengobatan Ayah di rumah sakit itu. Dengan berat hati, mereka pun membawa Ayah pulang.
Lalu, semua orang dengan bebasnya mengatai ayahnya telah gila.
Binsar bahkan pernah mendapati beberapa anak nakal sedang mengolok-olok ayahnya. Dengan kalap, ia menampar salah satu dari mereka hingga mulutnya berdarah-darah. Lalu ayah anak itu datang dan memaki-makinya.
“Saya tidak terima ayah saya diperlakukan begitu!” teriaknya lantang.
“Lalu kau mau apa? Mau membunuh anak saya? Dasar gila! Kau sama saja dengan ayahmu yang gila itu!”

Sebenarnya ia sudah siap menghunus parang saat itu. Tetapi, beberapa warga berhasil melerai mereka. Mereka memegangi Binsar yang masih mengeluarkan sumpah serapah. Ibunya juga menyadarkannya, menjelaskan akibat buruk yang akan ditanggungnya jika ia mengikuti kemarahannya.

SEJAK SAAT ITU, ia menjaga jarak dengan orang-orang di desanya. Mereka pun seolah mengucilkan keluarga Binsar. Tapi, ia tak peduli. Ia hanya berpikir bagaimana bisa mempertahankan hidup dan dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga mereka dengan berbagai kerja keras yang dilakukannya.

Namun, ayahnya  makin beringas. Selama ini, ayahnya masih bebas bergerak di desa mereka. Sesekali, ia berjalan ke mana pun sekehendak hatinya, dan ia masih ingat pulang di saat perutnya sudah lapar. Sering kali ia hanya duduk sambil berselimut di pintu masuk rumahnya, memandangi orang-orang yang lewat dan berceloteh tentang sesuatu. Namun sekarang, jika ia merasa terganggu dengan ulah seseorang, ia akan memaki-maki. Ayahnya pun seolah dapat mengerti makna di balik tatapan seseorang. Ia membenci mata-mata mereka yang memandangnya dengan hina dan penuh rasa jijik, lalu melempari mereka dengan batu atau kayu atau benda apa saja yang dapat ditemukannya. Semua orang menganggapnya berbahaya.

Ketika Binsar dan ibunya mencoba berbicara tentang perilaku ayahnya, laki-laki kurus itu malah balik memaki-maki dengan kasarnya. Ia menghancurkan benda-benda di rumah dengan ganasnya. Kejadian itu terjadi berulang-ulang, nyaris  tiap hari. Barang-barang mereka yang jumlahnya tak seberapa itu menjadi sasaran kemarahannya. Ia bisa marah bahkan tanpa sebab. Binsar bahkan pernah meninju ayahnya sekuat tenaga saat laki-laki itu mencekik ibunya hingga nyaris tak bisa bernapas. Ayahnya seolah tidak lagi mengenali anak dan istrinya. Ia telah berubah menjadi monster galak yang menakutkan.

Lalu dengan berat hati, mereka memutuskan melakukan sesuatu. Ini demi kebaikan mereka semua. Ibunya bersimbah air mata saat mengangguk menyetujui usul Binsar. Itulah sebabnya, Binsar ada di kebun liar mereka saat ini, berhadapan dengan sebatang bintatar yang sudah selesai dipotongnya.

Ia menangis memandangi potongan-potongan kayu itu. Ia tak sampai hati sebenarnya, namun ia tak punya pilihan lain. Andai ia bisa, ia hendak memberi hadiah yang lain saja. Hadiah yang indah, yang akan menghasilkan sebuah senyum tulus di bibir ayahnya. Bukan potongan kayu kasar. Sebuah pasungan.
 
Hembang Tambun


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?