Fiction
Berkemas [2]

5 Jul 2015


<<<<<<<<<<<<
Cerita Sebelumnya



Kisah sebelumnya:
Rika hidup di perantauan dengan prihatin. Ketika sedang menyusun skripsi, Uzi, adiknya menyusul dari Berastagi ke Lampung untuk kuliah D-1. Suka-duka mereka hadapi berdua. Hingga ketika Rika akhirnya diwisuda yang dihadiri kedua orang tuanya, justru Uzi terkena penyakit aneh.


Di rumah sakit, dokter jaga langsung memeriksa Uzi. Ketika melihat kakinya, kami baru menyadari   kulit di sekitar jari kaki Uzi terkelupas dan berdarah. Kami memang tak memberinya sandal dan kakinya yang panjang ternyata bergesekan dengan aspal sepanjang perjalanan. Anehnya, dia tak bereaksi sama sekali.
Mamak dan Bapak menyusul beberapa menit kemudian diantar bapak kos.
Mamak langsung menjerit di samping kasur.
“Pak, anak kita, Pak!” katanya, meraih lengan Bapak.
Bapak meraih bahunya. “Tenang, dia cuma pingsan  kan, Dok?”
Dokter memegang nadinya. Suster membersihkan luka di kakinya dan memberi betadine.
“Enggak, dia enggak pingsan juga, kok. Diajak ngobrol aja, entar lagi juga sadar. Dia hanya sedikit kelelahan dan depresi,” kata dokter muda itu, tampak tenang.
Aku tak terima dengan kalimat dokter. Dia selalu ceria, kok. Bahkan, dia yang selalu menyemangatiku menyelesaikan skripsi. Aku memang sedikit memaksa dia belajar, tapi dia tak pernah mengeluh. Tak mungkin dia depresi. Kemarin saja pulang dari gereja kami masih ketawa-ketawa.
“Barangkali dia sedang ada masalah?” kata dokter.
Setahuku dia tak punya masalah. Paling kalaupun punya masalah cuma kerinduan dia pada Albert, mantan pacarnya. Paling itu. Atau aku yang tak pernah tahu isi hatinya. Aku yang terlalu memaksa dia belajar.
“Enggak ada, Dok,” bantahku. Entah mengatakan pada dokter atau berusaha meyakinkan diriku sendiri.
“Diajak bercerita, ya. Kalau ada apa-apa panggil saya.” kata dokter itu pamit. Sepeninggal itu, Mamak makin kencang isakannya. Aku tak tahu apa yang tengah dipikirkannya. Sebab, aku masih yakin ini hanya penyakit biasa. Sebentar lagi juga dia bangun terus minta ke kampus.
Bapak membelai kepala Uzi dengan suara bergetar. ”Ayo bangun, nanti telat berangkat kuliah. Enggak jadi, kok, berhenti, kita masih punya uang.”
Setelah berkata begitu, Bapak menepuk-nepuk kantong celananya, seolah-olah ada segepok uang di sana.
Astaga. Pasti Bapak mengira kalau kata-katanya tadi malam yang menjadi beban Uzi. Bukan, ah.
Aku kenal betul adikku itu. Dia yang paling paham dengan kondisi keuangan kami. Dia tahu kalau kami sering berutang untuk makan. Dia tahu kalau kami harus membagi nasi sepiring supaya uangnya cukup untuk berangkat ke kampus. Tak mungkin itu yang jadi pikirannya. Lagi pula, dia masih mau dikuliahin, kok, kan menunggu masuk kampus negeri. Dan dia optimistis sekali bisa lulus. Dia sudah belajar mati-matian.
Kutatap wajah Bapak yang masih mencoba meledek Uzi. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutku terkunci rapat, lengket seperti diberi putih telur. Hubunganku dan Bapak tak sedekat Uzi. Kami jarang sekali berbicara. Kalaupun aku dan Bapak duduk bersisian, kalau ada Mamak di antara kami, maka ia akan berbicara pakai perantara. Karena sudah terbiasa, aku tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Lagi pula, aku jarang di rumah. Tapi saat begini, untuk menghiburnya pun jadi terasa janggal. Tak mungkin pula aku pakai perantara Mamak.
“Ayo bangun, nanti terlambat ke kampus.” kata Bapak lagi.
Uzi tak bangun, hanya bibirnya yang meracau tak jelas. Hanya sesaat. Mungkin dia mulai bereaksi dengan kata-kata Bapak.
Perawat datang dan memasang selang infus di tangan Uzi.
Aku keluar ruangan karena tak sanggup melihat percakapan satu arah mereka. Kusandarkan kepalaku ke dinding. Teringat ponselnya di tanganku, aku segera mengirim pesan untuk seorang sahabat Uzi bahwa dia tak masuk ke kampus. Aku kenal beberapa nama di kontaknya.
                    ***

Dari luar ruangan aku melihat kesibukan yang tak menyenangkan. Begitu memasuki ruangan, aku melihat Uzi kejang-kejang. Badannya tak bisa diam. Seorang perawat berusaha mencengkeram tangannya yang dipasangi jarum infus. Darah sudah mulai naik selang. Bapak juga memegang kuat tangan kecilnya agar memudahkan perawat mencabut jarum.
Aku ikut-ikutan panik.
Bapak lalu memegangi kedua kakinya dan Mamak memegangi tangan kirinya. Suster melepas plester yang melilit selang infus dan mencabutnya. Darah muncrat ke seprai dan selimut. Dokter jaga buru-buru datang dan memeriksanya. Suntikan diberi pada lengannya, sebentar kemudian Uzi mulai tenang lagi sehingga Bapak melonggarkan pegangannya.
Para perawat sibuk membersihkan darah di lengan dan selimut dengan handuk kecil. Seorang petugas kebersihan masuk membawa kain pel. Semenit kemudian aroma karbol memenuhi ruangan. Petugas kebersihan membawa ember keluar dan meninggalkan kami bertiga. Ruangan kembali sunyi. Hanya isakan Mamak yang  mulai terdengar lagi. Aku mengusap-usap punggungnya dengan pikiran kacau.
Tak lama kemudian seorang perawat kembali masuk dan membawa banyak perban di tangannya.
“Ibu, maaf. Kami minta izin keluarga untuk mengikat kaki dan tangan pasien, karena kalau tidak selang infus tak akan bisa dipakai.”
Mamak dan Bapak saling berpandangan, kemudian mengangguk dengan berat hati.
                    ***
Uzi kemudian dipindahkan ke lantai dua tempat pasien rawat inap. Di sana suster mengikat kakinya ke ranjang memakai gulungan perban. Begitu juga tangannya yang dimasuki jarum infus. Aku tak bisa menahan air mataku melihat keadaan Uzi pagi ini.
Rambut panjangnya acak-acakan. Matanya terus terpejam dengan tubuh terikat di ranjang. Padahal, kemarin dia masih ketawa-ketawa memamerkan nilai ujiannya.
“Aku dapat nilai tertinggi di kampus, makanya kubeli baju batik, sekalian untuk lomba paduan suara,” katanya heboh. Suaranya memang bagus. Dan aku rindu mendengar suaranya pagi ini.
“Dokter datang jam berapa, Suster?” kata Bapak, ketika suster membereskan peralatannya.
“Mungkin sekitar jam sepuluh, Pak.”
Kemudian suster itu pamit meninggalkan kami berempat. Mamak memandangi Uzi dengan tatapan kosong.
Aku kemudian duduk dan mengirim pesan untuk seorang sahabatku.
Put, adek gue sakit. Temenin gue di sini, ya.
Sakit apa? Iya sebentar lagi aku datang, butuh apa saja?
Belum tahu bakal pindah rumah sakit atau nggak. Datang dulu saja.
Baiklah. Ini ada titipan rantang juga dari Mama. Sebentar lagi aku otw.
    
            ***
Uzi mulai kejang-kejang lagi, tapi kali ini tubuhnya tertahan perban yang mengikat kaki dan tangannya. Hanya sebentar, kemudian tenang lagi. Terkadang ia sampai duduk dengan mata yang masih terpejam. Mamak menyuruhku untuk memasang musik-musik kesukaannya, siapa tahu dia bangun dan mau bicara.
Aku memutar lagu Vidi Aldiano, lagu kesukaannya. Katanya, Vidi mirip dengan Albert, mantan pacarnya. Aku sering menyindir lagu kesukaannya. Dia mengakui kalau lagunya melankolis banget dan alay, tapi setelah itu masih sering juga diputar. Kali ini aku memutar lagu Status Palsu, berharap ia tiba-tiba bangun dan malu-malu karena aku  menirukan gaya bernyanyi Vidi.
“Enggak se-lebay itu, ah,” begitu katanya kalau sedang membela Vidi.     Aku  makin menjadi-jadi. “Separuh hatci denganmu, kujualani cwintaku, berharap engkau cak pernah cawu….”
Tapi, kali ini tak kudengar suara tawanya.
Kuletakkan ponsel itu persis di samping telinganya, berharap dia bangun dan bernyanyi. Tapi, setelah lima belas menit lagu itu kuulang-ulang, dia tak juga bangun. Aku berinisiatif mengganti lagunya, mungkin dia sedang ingin mendengar lagu Marcel.
Mulutnya mulai bergerak, beberapa kalimat dia ucapkan dengan sembarangan, tapi aku bisa menangkapnya.
Vidi itu mirip Albert tahu nggak.
Aku tertawa. “Mana pula mirip, jauh kali pun,” kataku  meledek. Setelah itu kutunggu dia berbicara lagi, namun dia tak mengucapkan sesuatu. Hanya menggeram. Ia tiba-tiba duduk sebentar, kemudian tidur, dan menggeram lagi.
                
***
Sudah kuhabiskan semua playlist di ponselnya, namun suaranya tetap tak terdengar lagi.
Pukul 10, dokter datang lagi dan memeriksa Uzi. Lagi-lagi dokter berkata dia hanya kelelahan, tinggal dipanggili saja namanya.
“Nanti sore, kalau belum bangun baru diperiksa lagi.”
 Mamak dan Bapak saling berpandangan. Mungkin ada sesuatu yang mengganjal di hati mereka, tapi tak bisa diungkapkan. Tapi, yang pasti aku tahu mereka tak puas dengan ucapan dokter itu. Terbukti setelah dokter pamit mereka kembali mengomel.
“Tidur katanya, kalau tidur kan pasti bangun kalau diajak ngomong terus.” kata Bapak, sewot.
“Ya, sudah, nanti sore kalau ada perubahan, kita pindah rumah sakit saja. Atau kalau dia sadar kita langsung pulang ke Medan, di sana pasti lebih mudah semuanya,” kata Mamak memegangi tangan Uzi.
Di sini memang kami tak punya siapa-siapa. Paling kalaupun ada yang bisa dimintai tolong, cuma sahabat-sahabatku.
Bapak menelepon abangku di Medan. “Nak, kirimkan uang, ya, kami lagi di rumah sakit, Uzi sakit tadi pagi.”
Kudengar suara abangku yang menanyakan mau dikirim berapa. “Kirim lima juta saja dulu, nanti dikabari lagi kalau kurang.”
Bapak pasti menelepon ke sepupuku. Dia memang akan meminjamkan uang kapan pun kami butuh. Uang memang tak masalah, kalau saja Uzi masih mau bangun.
“Nak, telepon suster atau pastor di sini, suruh doain Adek. Nak, perasaan Mamak enggak enak.” Mamak menatapku dengan mata memerah.
Saat itu aku berpikir, perasaan itu cuma takut kalau Uzi terkena sesuatu yang aneh-aneh. Aku tidak pernah berpikir hal lain. Aku segera menghubungi seorang biarawati yang cukup dekat denganku.
Suster bisa ke rumah sakit sekarang kah? Mamak ingin adik saya didoakan.
Kalau ke sana sekarang belum bisa, Rik, tapi Suster akan mendoakan dari sini. Salam dan doa buat keluarga.
Aku mengatakan pesan itu pada Mamak dan sebentar dia tampak lebih tenang. Mamak mengeluarkan kalung rosario dari dompetnya dan meletakkannya di tangan Uzi.
“Mamak takut ini bukan sakit biasa,” katanya perlahan.
Aku memandang Bapak. Dia melihatku sekilas, lalu memandangi lagi wajah Uzi, mengambil handuk kecil di samping kepalanya dan mengelap liur yang terus menetes dari bibir adikku itu.
                
                    *****
Hatiku agak tenang ketika dua wajah itu muncul dari kejauhan. Seorang biarawati dan seorang lagi yang kuanggap kakak. Suster Katarina dan Mbak Yuli. Mereka sudah kami anggap sebagai pengganti Mamak di sini.
Aku segera berlari memeluk mereka dan mengantarkannya ke tempat Uzi. Bagi Mamak, menerima orang-orang gereja merupakan kebahagiaan tiada tara di tanah rantau ini. Dengan keterbatasan bahasa Indonesia-nya, dia menyapa Suster Kat dan Mbak Yuli.
Suster Katarina memegang dahi Uzi cukup lama, sampai aku, Mamak, dan Bapak saling berpandangan.
Setelah memegang dahinya, Suster mengajak kami semua berdoa. Dan memang, setelah berdoa, tak sekali pun Uzi kejang-kejang lagi. Tidurnya lebih tenang, tak lagi meronta walaupun belum mau bicara.
Suster dan Mbak Yuli langsung pamit setelah   selesai berdoa. Mbak Yuli menggenggam tangan Mamak erat sekali. “Kalau ada apa-apa langsung telepon aku saja, nanti aku langsung ke sini, rumahku dekat, kok.”
Mamak tampak lebih tenang karena merasa punya teman di sini.
                ***
Setelah mereka pergi, Mamak menyuruhku untuk mengambilkan baju ganti di tempat kos karena kemungkinan kami akan menginap atau kalaupun harus pindah rumah sakit, kami butuh beberapa baju ganti.
Aku segera berangkat bersama Putri yang kutemui di halaman rumah sakit. Putri datang bersama rantang kiriman ibunya.
 “Langsung ke tempat kosku aja Put, kita ambil baju,” kataku.
“Rantang, gimana?” katanya, seraya mengelap keringat di dahinya.
“Titip suster saja dulu.” Aku segera masuk ke dalam dan menitipkan rantang kepada seorang perawat.
Sepeda motor kami melaju dengan kencang. Tubuh kurus Putri tampak  makin ringkih di tengah cuaca panas begini. Tapi, bagaimanapun dia orang yang bisa diandalkan di tengah kegugupannya menghadapi apa pun. Dia lebih panik daripada aku dalam menghadapi kejadian genting.
“Put, hati-hati!” kataku, menepuk bahunya. Kurasakan motor ini agak goyang.
Dia memperlambat laju motor, kemudian melap tangannya yang berkeringat. Beberapa kali ia membetulkan letak kacamatanya.
                ***

Kami masuk ke kamar kos dan memilah baju yang akan dibawa ke rumah sakit. Putri yang melipat dan merapikan ke dalam tas. Aku tak akan pernah bisa menyusun dengan rapi. Saat tengah menyusun pakaian kudengar suara penjual es dawet di depan tempat kos. Aku berlari dan menghentikannya. Uzi sangat suka es dawet, akan kubelikan biar dia bangun.
“Beli dua, Mang,” kataku. Setelah dua plastik es dan kembalian kugenggam, aku masuk ke dalam kamar. Putri sedang panik karena ada telepon dari Bapak.
 “Cepat ke rumah sakit, Adek mau dipindahin sekarang!” kudengar suara Bapak berusaha tenang, tapi ketenangan itu justru membuatku takut.
Entah kenapa, kata ‘dipindahin’ itu membuat perasaanku tak nyaman. Kami buru-buru menaiki motor dan kembali ke rumah sakit dengan pakaian seadanya dalam tas. Wajah Putri pucat. Beberapa kali aku harus mengingatkannya untuk berhati-hati.
Dalam kepalaku bergaung kalimat-kalimat yang sama, berulang-ulang.  Tunggu aku, jangan pergi sebelum aku datang, tunggu sebentar saja.
 Aku sudah berusaha menepiskan kalimat itu, namun tak juga hilang. Malah  makin menguat  makin mendekati rumah sakit.
                
***
Di pelataran rumah sakit, kutinggalkan Putri di parkiran dan segera naik ke lantai dua. Di lantai dua aku melihat suster-suster tengah mendorong tempat tidur Uzi. “Adik saya mau dibawa ke mana?” tanyaku panik.
“Mau dipindahin,” kata Bapak. Mereka segera membawa kereta itu menjauh dan aku berlari mendapati Mamak yang meraung-raung di lantai.
“Pulang kita, Nak. Pulang. Lampung ini jahat,” Mamak meracau sambil mengusap air mata dengan baju tidur berwarna hijau yang bahkan belum sempat diganti dari kemarin.
Mamak terus memukuli badannya. Semua penghuni kamar rumah sakit keluar dan menonton kami. Sebagian merasa iba, sebagian lagi merasa aneh.
Aku tak tahu harus bilang apa. Beberapa orang yang melihat kami merasa iba, namun juga tak tahu harus menghibur. Karena Mamak terus meracau pakai bahasa Batak, mereka bingung jika harus mendekati dengan bahasa Indonesia. Mungkin takut Mamak tak memahami, atau mereka juga tak tahu mau menghibur dan mengatakan apa.
Jeritan Mamak  makin bertambah dan aku cuma bisa memegangi tangannya yang gemuk.
 “Adek kita udah enggak ada, Nak. Tak ada gunanya dipindahin ke tempat lain. Kita hanya perlu pulang. Pulang secepatnya!” Teriakannya memenuhi rumah sakit.
“Iya, Mak, pulang kita. Pulang,” kataku, sambil memeluknya.
 Putri ikut-ikutan memelukku dan memapah Mamak ke kursi. Aku terisak dan memeluk Putri lebih kencang. Tak kuat rasanya menenangkan Mamak.
 Aku tak bisa percaya, tapi kami berada di sini sekarang. Bahkan setelah Mamak berhenti menangis giliranku yang lebih histeris. Teringat mimpi-mimpi Uzi, teringat masa-masa sulit kami, teringat betapa ia berjuang mengalahkan kemiskinan kami. Aku tak bisa percaya kalau kehilangan dan kematian lebih mengerikan daripada sekadar rasa lapar yang kami hadapi demi mimpi-mimpi besar.
“Tuhan itu jahat, Put. Jahat. Adek gue itu belum sampai, mimpinya masih jauh.”
Mamak tiba-tiba  meraih tanganku. Tak ada lagi tangis di matanya. Kini nada suaranya terdengar tegas.
 “Jangan nangis lagi, Kak. Kita enggak punya siapa-siapa di Lampung ini. Kalau kita nangis, gimana kita bisa pulang?”
Awalnya aku masih menangis dan tak mendengar kata-katanya. Tapi, ketika Mamak memegang pipiku, tangisku mendadak berhenti.
 “Kak, lihat Mamak. Siapa yang mau bantu kita sekarang kalau kita lemah. Siapa?”
Aku diam demi mencerna kata-katanya.
“Tahan tangismu, tahan. Habiskan kalau sudah sampai di rumah, kalau banyak orang yang kau kenal di sekeliling kita.”
Aku diam dan menunduk. Mamak meraih kepalaku. “Menangislah kalau kita sudah di rumah, Kak!” katanya lembut.
Aku mengangguk dan menghapus air mataku. Kami bertiga duduk bersisian memandangi orang-orang yang lewat. Beberapa suster yang lewat di depan kami hanya menunduk, mungkin takut ditanyai.
Putri menggenggam erat tanganku. “Sebentar lagi Mbak Yuli dan yang lain juga ke sini.”
Setengah jam kemudian perawat yang tadi membawa adikku ke rumah sakit lain, lewat di depan kami. Aku segera mendekatinya. “Suster gimana adik saya?’
“Sedang ditangani, nanti dikabari lagi, ya,” katanya, buru-buru masuk ke ruangannya dan menutup pintu dari dalam.
Mamak menyandarkan kepalanya di dinding.
“Adek itu sudah enggak ada, Nak. Tubuhnya sudah biru begitu.” Dia menggigit bibirnya ketika mengatakan itu. Aku tahu dia berusaha menahan tangis di depanku.
“Mana Mbak Yuli-mu  itu, suruh dia mengurus tiket kita pulang.”
“Iya, sebentar lagi dia sudah datang, kok, Tante,” kata Putri, sambil meremas-remas tangannya.
Mbak Yuli sudah datang bersama seorang sahabatku yang lain. Mamak jadi lebih tenang. Sejam kemudian Bapak menelepon. Aku mengangkat dengan perasaan tak enak.
“Kalian susul ke sini, ya. Adek kita sudah enggak ada.”
Kalimat itu meruntuhkan duniaku. Lututku lemas. Aku tak bisa menangis, tapi mulutku terus mengutuki Tuhan yang pada saat itu kurasa menjadi makhluk yang tak pantas dipuja. Tuhan adalah makhluk mengerikan dalam rupa yang lembut dan tatapan yang syahdu.
Mamak yang berkata kalau wajah Tuhan meneduhkan itu pasti bohong. Coba saja cek, barangkali Tuhan memakai topeng. Pasti di balik wajahnya yang menenangkan itu ada wajah yang hancur penuh dengan sayatan. Aku ingin mencakarnya, kemudian mengolok-oloknya sampai serak. Kalau perlu kupanggil semua kawan-kawanku dan beramai-ramai menuntutnya. Ada seorang sahabatku yang berkata. “Tahu enggak kenapa sampai sekarang Tuhan itu enggak berani menampakkan diri?”
Waktu itu aku tak bisa menjawab, tapi sekarang aku tahu. Tuhan takut dimintai pertanggungjawaban atas semua yang dilakukannya.
Tuhan memang suka bercanda  dalam hidupku, namun kali ini bercandanya kelewatan. Bercandanya keterlaluan. Ini udah enggak lucu. Sumpah, Tuhan ini sangat tidak lucu. Salah apa adikku.
 Aku ingat minggu kemarin hujan turun deras sekali, namun dia memaksakan diri ke gereja. Basah kuyup. Kalau aku, jangankan hujan deras, matahari bersinar pun aku malas ke gereja.
Lantas kenapa tidak aku saja yang dipanggil? Aku yang enggak pernah ke gereja ini, yang tak pernah berdoa ini. Aku yang tak pernah mengurusi anak-anak kecil di gereja. Aku yang tak menghabiskan waktu mengajak semua pemuda di kampung untuk ibadah. Aku yang tak dekat dengan Bapak. Bukan dia. Dia anak kesayangannya, bayangkan betapa terlukanya dia. Tak cukupkah usaha kami keluar dari kemiskinan ini. Senangkah Tuhan melihat adikku gagal bahkan ketika dia hanya berjarak beberapa langkah lagi dari mimpinya?
Mbak Yuli, Suster Kat, dan beberapa teman yang lain datang menjenguk kami. Kami segera ke mobil untuk menemui Bapak.
Di depan pelataran rumah sakit kupandangi Bapak yang tengah mondar-mandir. Wajahnya tampak tenang atau berusaha tampak tenang. Aku tak tahu persis.
Ragu-ragu kudekati dia dan memeluknya. Bapak memelukku dengan kaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Kita sudah enggak punya Adek, ya?”
Hanya pertanyaan bodoh itu yang mampu keluar dari bibirku. Bapak tersenyum dan memerintahkanku berkemas.
“Rapikan semua pakaian dan buku-buku kalian, bawa kemari,” tegasnya. Kali ini dia tak pakai perantara karena tak ada Mamak. Mamak sedang berada di ruang mayat.
“Aku juga ingin melihat ke ruang mayat,” kataku pelan.
Bapak menggeleng. “Berkemas saja, siapa tahu kita pulang malam ini. Jangan sampai ada barang yang tertinggal.”
Aku dan Putri saling berpandangan.
“Tolong nak Putri, antarkan Rika berbenah.”
Setelah itu dia memegang kepalaku dan kembali ke kamar mayat. Kupandangi punggungnya dan langkahnya yang tetap tenang. Saat itu aku benar-benar harus mengakui kalau seharusnya Uzi yang berada di tempatku berdiri sekarang. Uzi. Tuhan pun bisa salah ternyata. Tuhan yang dipuja Uzi selama bertahun-tahun telah berkhianat.
Tiba-tiba aku benci melihat kalung rosario di leher Putri. Putri takkan kepikiran kalau rosario di lehernya sewaktu-waktu bisa dipakai Tuhan untuk mencekik lehernya pada saat tidur. Aku harus memperingatkan Putri agar dia waspada. Harus.



*************
Yessy Sinubulan




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?