Fiction
Berapa Babi Maskawin, Ko? [8]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Dulu, cerita Nonce, Fritz pernah punya pacar. Ketika itu Fritz masih sangat muda. Ia baru selesai kuliah. Pacarnya adalah seorang gadis manis dari pedalaman. Yang disebut pedalaman, jelas Nonce lagi, adalah wilayah Papua yang terletak di dalam. Di lingkar dalam Papua yang dikitari gunung dan lebatnya rimba raya. Sementara dirinya bukan termasuk orang pedalaman. Ia orang pesisir. Karena, kampung halamannya di Pulau Serui terletak persis di dekat pantai indah di wilayah barat pulau itu.

“Torang, kami, gadis-gadis Serui, biasanya dibayar dengan piring.”

“Piring?”

“Ya, maskawinnya piring.”

“Piring,” Tari terpesona. Teringat ia saat Mbak Lok dilamar dulu sekali. Waktu itu Mas Yudha, pacar Mbak Lok, dan keluarganya datang melamar dengan membawa berbagai macam antaran. Di antara barang-barang lamaran yang bermacam-macam itu ada jenang. Jenang itu sejenis dodol dari beras ketan yang sangat disukai Tari. Rasanya manis, legit, dan lengket di langit-langit mulut kalau dimakan. Tetapi, di situlah enaknya menikmati jenang. Tetapi, piring? Kalau sandal, kain kebaya lengkap dengan kondenya, serta berbagai macam jajanan, ada. Tetapi, piring?

“Piring apa? Piring seng atau piring beling?”

Nonce tertawa. “Ini sejenis keramik yang dulu dibawa oleh orang Cina kemari, saat mereka ingin mencari kulit buaya dan burung cendrawasih. Dulu… kira-kira di akhir abad sembilan belas sampai awal abad dua puluh. Piringnya besar. Diameternya kira-kira tiga kali lebih besar dibanding kitorang pu piring makan. Ini ceritanya panjang. Lain waktu sajalah sa cerita. Tetapi, pacar Fritz bukan dari pantai. Dong dari gunung. Dong tidak dihargai dengan piring, melainkan dengan babi.”

Tari terpesona. Semua penjelasan Nonce adalah hal baru baginya. Karena, ia tahu, penjelasan itu bukan sekadar penjelasan biasa, melainkan lebih dari itu. Muaranya akan kembali ke dirinya. Akan kembali ke ’lamaran’ di awal malam ini. Pelan digesernya kursinya, sehingga kini ia duduk berhadapan dengan Nonce, dengan bukit indah dan lampu-lampu di belakangnya.

“Fritz sangat mencintai pacarnya. Umurnya dua puluh lima waktu itu.”

“Lalu? Mereka putus?”

“Tidak.”

“Pacarnya mengkhianatinya? Berselingkuh?”

“Tidak juga. Fritz pu pacar sangat cinta Fritz, mo.”

“Lalu? Apa yang terjadi?”

Nonce perlu mengisi amunisi sebelum melanjutkan ceritanya. Pelan diambilnya gelasnya. Diteguknya kopinya. Seteguk, dua teguk, sampai gelas itu tinggal separuh isirnya. Tari menunggu dengan sabar.

“Bagaimanapun dong gadis pedalaman.”

Tari setia mendengarkan. Dipandangnya sahabatnya dengan rasa ingin tahu yang sangat.
Gadis itu, cerita Nonce lagi, setuju menjadi istri Fritz. Maka, proses menuju ke arah sana pun dimulai. Pihak keluarga besar Fritz, maksudnya para kepala keluarga di kampungnya, melamar. Tak lama jawaban dari sana datang. Mereka setuju-setuju saja bermenantukan pemuda pantai. Asal, beberapa syarat adat harus dipenuhi. Salah satunya --dan ini yang paling utama-- membayar maskawin berupa babi.

“Ko tahu berapa babi yang dong minta?” tanya Nonce. Ini adalah pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban. Karena, tak lama kemudian Nonce sendiri yang menjawabnya,

“Dua puluh ekor babi.”

“Banyaklah itu?”

“Ko tahu berapa harga satu babi di pedalaman? Di kampung gadis itu?” Nonce mengulang pola penjelasan seperti tadi, “Lima juta.”

Tari menghitung cepat. “Berarti Fritz harus membayar maskawin seratus juta rupiah?”

Nonce mengangguk. “Begitulah.”

“Lantas… lantas?” Tari tak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.

Nonce bilang, bukan mama dan papa Fritz yang akan menanggung seluruh biaya pesta lengkap dengan maskawin gadis itu, melainkan seluruh keluarga besar di kampungnya. Tetapi, seratus juta bukanlah hal yang murah dan mudah untuk diwujudkan. Mereka minta waktu. Keluarga besar si gadis memberi waktu.

Keluarga besar gadis itu lama menunggu. Menunggu maskawin yang tak juga datang. Sampai akhirnya para tetua adat di kampung gadis itu tak sabar lagi. Mereka memutuskan menerima lamaran putra kepala suku tetangga yang dengan begitu saja menyodorkan dua puluh ekor babi, di antaranya seekor induk babi yang tengah mengandung. Hal itu membuat ibu gadis itu bersorak kegirangan.

“Fritz langsung patah hati.”

Tari tercekat. Tenggorokannya kering. Cepat diraihnya gelas kopinya. Diteguknya kopinya yang telah menjadi dingin. Jam di ruang tamu berdetak satu kali. Embun turun. Udara dingin bertiup lembut. Tari menggigil kedinginan.
“Ayo, masuk. Ayo, tidur. Sudah pagi ini,” ajak Nonce.

Tari menurut. Ia masuk ke kamarnya dan membaringkan diri. Meski kali ini ia tahu, akan sulit baginya memejamkan mata.

Tari dibangunkan oleh panas sinar mentari yang menerobos masuk melalui jendela kamarnya. Udara panas menyengat. Setengah sadar diusap-usapnya matanya, diliriknya jam di dinding kamar. Agak lama baru ia bisa mengoordinasikan matanya.

“Hampir pukul dua belas siang,” gumamnya. “Pantesan aku lapar benar.”

Segera ia bangun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan berjalan pelan menuju dapur. Tercium aroma terasi bakar dari sana. Hmm… harumnya. Saat ia melongokkan kepala, dilihatnya Nonce tengah sibuk mengulek sesuatu. Sementara Eta yang pertama kali melihatnya, meloncat-loncat kegirangan.

“Mama… Mama, Tante Jawa sudah bangun.”

Nonce menoleh dan tersenyum riang, “Enak tidurnya?”

Tari mengangguk. Katanya serak, “Lagi masak apa?”

“Kasihan juga ko makan ikan terus, papeda terus. Kali ini sa bikin masakan Jawa. Sa bikin tempe goreng, sayur bening bayam dengan sambal terasi. Ini lihat… sambal terasinya sedang sa ulek,” jawab Nonce dengan bahasa campur aduk.

“Memangnya kamu tahu cara bikin sayur bening?”

“Jangan menghina begitu. Ko pu ibu yang kasih ajar ke sa.”

“Kapan?”

“Waktu sa berlibur ke ko pu rumah di Bantul, mo.”

“O, ya? Aku lupa,” jawab Tari, sambil menggeser sebuah kursi ke dekat Nonce. Ada suatu masa Nonce sering ke rumah orang tuanya di Bantul, terutama saat libur panjang. Kapan itu? Sudah lama benar.

“Makan sudah. Semuanya sudah masak. Sambal terasinya juga sebentar lagi siap.”

“Ehm… baru bangun, belum mandi, sungkan, ah.”

“Apa sungkan. Dengan teman sendiri ini,” kata Nonce, tak menghiraukan penolakan Tari. Ia lalu memerintah Eta, “Eta, tolong ambilkan piring untuk Tante Jawa. Jangan lupa sendoknya.”

Tari menyendok nasi hangat, mengambil sepotong tempe dan sesendok besar sayur bening bayam, lalu duduk manis di meja makan. Tak lama sambal terasinya siap. Dicicipinya sedikit sambal terasi itu. Enak. Persis seperti sambal terasi buatan ibunya. Tari memandang Nonce dengan tatapan bangga sambil mengacungkan jempolnya. Nonce membalas dengan nyengir.

Nonce memberi tahu. “Tadi Fritz menelepon. Dong ingin mengajakmu jalan-jalan sore nanti.”

“He-em.”

“Jawaban apa itu? Ko mau, tidak?”

Jawab Tari dengan mulut penuh, “Ya. Aku mau. Ke mana?”

Nonce menggelengkan kepalanya. “Fritz tra bilang mau ke mana tadi.”

Maka, di sini lagilah Tari. Di Pantai yang ingin dihindarinya selamanya, pantai Base-G. Hari ini Sabtu. Seperti saat pertama kali ia kemari, pantai ini sama sepinya seperti waktu itu. Keduanya berjalan menyusuri pantai. Menikmati hangatnya pasir laut.


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang I Sayembara Mengarang Cerber Femina 2008
 




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?