Fiction
Berapa Babi Maskawin, Ko? [5]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Pria tua itu mengenal benar watak keponakannya. Ia tahu Fritz itu jujur, pandai, sekaligus keras hati. Akhirnya ia mengalah. Meski kekalahannya itu ditunjukkannya dengan cara yang lucu. Sambil kembali ke bawah pancuran, dimonyongkannya bibirnya ke arah keduanya. “Mentang-mentang pegawai negeri, sombooong, sampe.”

Tak lama keduanya tiba di tempat biasanya Fritz menambatkan perahu. Fritz memegangi bibir perahu, sementara mempersilakan Tari naik ke dalamnya. Tari ragu-ragu. Hatinya gamang. Terutama, saat Fritz menghela perahu itu ke laut dan mendayungnya pelan-pelan menuju ke deretan rumah panggung keluarganya. Betapa kecil perahunya. Apakah mereka akan selamat sampai ke sana?

Rumah panggung itu di depan mereka. Sangat dekat. Hanya lima puluh meter jauhnya dari bibir pantai. Tetapi, tak terlihat satu pun jembatan yang menghubungkan rumah panggung-rumah panggung itu dengan daratan. Sehingga, setiap orang harus menggunakan perahu dari mana saja untuk sampai ke rumah dan sebaliknya.
Beberapa wanita melongokkan kepala melalui jendela-jendela yang terbuka. Memperhatikan pemandangan aneh di dekat mereka.

“Fritz?”

“Itu, sudah.”

“Dong dengan perem, perempuan, pendatang.”

“Yooo.”

“Deng perem, dengan perempuan, rambut lurus.”

“Yooo.”

Suara-suara para wanita itu bersahut-sahutan dari satu rumah ke rumah lain. Ramai. Berisik. Meriah. Seorang nenek tua dengan bibir dan gigi merah terang melongokkan kepalanya lebih jauh. Setelah mengamati dengan teliti isi perahu, komentarnya, dengan suara bak guntur kerasnya, “Eh… Fritz… siapa itu, nona? Cantik sampe.”

Tari tersipu malu, sementara Fritz pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian keduanya telah sampai di rumah Fritz, rumah tempat wanita tua bermulut merah itu tinggal. Fritz memosisikan perahunya sedemikian rupa, sehingga dengan mudah Tari bisa keluar dan menjejak tangga rumah dengan aman. Wanita tua bermulut merah itu sudah menyambut mereka di dekat tangga.

“Ko pu pacar, ka?”

Komentar yang sangat lugu dan begitu terus terang. Tari tak yakin, adakah para sesepuh di kampungnya yang akan berkomentar seterbuka itu. Sementara Fritz sendiri tidak menyahut. Ia justru sibuk mengikatkan tali perahu ke tiang rumah. Sesampainya di atas, di teras depan, diperkenalkannya Tari kepada wanita itu. “Ini sa pu nene (nenek). Nene, ini Tari, Nonce pu teman. Dong baru datang dari Jakarta.”

“Oh, Jakarta, ka? Ibu kota? Banyak mobil di sana, e?”

Ada beberapa perahu kecil merapat. Perahu-perahu kecil yang berisi para wanita (yang tadi mengintip dari jendela). Mereka mendayungi perahunya menyusuri laut yang hanya lima meter sampai sepuluh meter jaraknya dari rumah-rumah mereka ke rumah sang nenek. Tari heran melihat itu. Gumamnya, dalam hati tentu, “Mengapakah tak dibuat jembatan dari satu rumah ke rumah lain? Lebih praktis. Terlebih, mereka tak perlu capek mendayung seperti itu.”

“Ayo, masuk,” undang Fritz. Tari menoleh. Fritz menyilakan dengan anggukan. Untuk sementara keheranannya menguap.

Rumah itu langsung ramai. Semuanya berkumpul. Para wanita saudara bersaudara. Mereka saling berbincang, menanyakan ini-itu kepada Tari. Tari merasa ini semacam ajang menilai calon menantu, meski sebenarnya ia tak merasa sebagai apa-apanya Fritz. Tetapi, setidaknya, itulah yang biasanya terjadi di Jawa ketika seorang pria muda membawa kekasihnya ke rumah.

Tari perlu mengoreksi cara berpikirnya secepatnya. Karena, dalam waktu singkat para wanita itu sudah beralih topik. Seorang wanita mengeluarkan sebuah tas kresek kecil, mengambil sesuatu dari dalamnya, yang ternyata berisi buah-buah pinang dan sirih serta sekotak kecil kapur. Sementara ia asyik mengupas sebuah pinang dengan giginya, yang lain ramai-ramai ikut serta.

Tak lama percakapan itu mengalir ke mana-mana. Membicarakan angin yang sangat kencang yang sering datang akhir-akhir ini, sampai ke mahalnya ongkos taksi --sebetulnya mikrolet-- yang membuat mereka harus berpikir dua kali kalau hendak bepergian.

Sementara itu, mulut-mulut mereka mengunyah terus, terus, dan terus. Persis seperti makan permen karet. Hanya, bedanya, yang ini permen karetnya sebesar bola pingpong. Sebentar-sebentar mereka bangkit dari duduknya, pergi ke jendela, menjulurkan kepalanya ke sana dan… meludahkan cairan merah pinang dari mulut.

Tari tertegun. Itulah sebabnya, semua wanita itu bermulut merah. Karena nginang, makan pinang, rupanya. Cepat-cepat ia melirik Fritz. Ternyata pria yang duduk di sebelahnya tak punya kebiasaan itu. Mulutnya bersih. Giginya putih mengilap.

Di tengah kemeriahan itu, Tari mengambil kesempatan untuk menggali keterangan yang belum selesai. Bisik Tari kepada Fritz, “Soal yang tempo hari, pantai bes ji, bagaimana kelanjutannya?”

Fritz menarik napas panjang. Berusaha melepaskan sedikit beban yang mengimpit dadanya. “Era reformasi membawa pengaruh sampai kemari.”

“Setelah sang diktator besar tumbang.”

“Suharto?” Fritz tertegun melihat ekspresi muak Tari saat mengucapkan kata-kata ’sang diktator besar’.

“He-em.”

Sepuluh tahun yang lalu --setelah arah politik negeri ini bergeser-- empat keluarga besar sepakat mengambil kembali pantai itu. Maksudnya jelas, mereka ingin memiliki pantai yang secara sah menjadi hak adat itu dan berusaha mengaryakannya seperti semula. Seperti yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Ternyata, proses pengelolaannya tidak sesederhana yang mereka bayangkan.

Ada empat keluarga besar dengan empat kepentingan. Betapa rumitnya bila masing-masing keluarga memiliki kepentingan sendiri-sendiri dan menyarankan pola pengelolaan yang khas dari masing-masing keluarga. Karenanya, mereka terus berunding dan berunding. Selama hampir satu dekade. Betapa lama. Karena, waktu justru tidak menguraikan masalah apa pun, malah makin mengusutkannya. Sehingga, sampai saat ini, mereka belum menemukan titik temu atau mencapai kata sepakat.

Tari berbisik lagi, “Minta saran saja ke pemerintah. Mereka kan sudah pengalaman mengelola? Maksudku, anggap pemerintah sebagai mediator, tim penengah, begitu.”

Fritz terpana. Ditatapnya Tari dengan sorot mata aneh. Meski begitu, dikomentarinya juga pernyataan Tari yang terlihat begitu tak tahu persoalan, “Dong tra percaya lagi deng pemerintah. Dari dulu pemerintah tra memberi apa-apa ke torang, kami. Kenapa torang harus bersandar ke pemerintah sekarang? Tra masuk akal itu.”

Tari menarik napas panjang, menyadari belitan persoalan. Saat itu ingatannya kembali ke peristiwa tak mengenakkan yang menimpanya tempo hari. Ditatapnya Fritz. Pria muda itu tengah tepekur memandangi lantai kayu rumahnya sendiri. Tari tak punya pilihan lain. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

“Maaf kalau harus menanyakan ini, bukan maksudku mengungkit-ungkit persoalan,” Tari berhenti sesaat. “Kalau soal bapa ade-mu itu, yang di pantai itu, bagaimana?”

Fritz menengadahkan wajah. Tertampak olehnya sang nene terkasih yang tengah menjulurkan kepala keluar jendela dan meludah jauh-jauh ke luar, ke laut. Inilah akhirnya dampak persoalan yang tidak tuntas itu. Setiap orang --di keluarga mereka-- akhirnya merasa ’tidak apa-apa’ bertindak sendiri-sendiri. Benar-benar dalam artian yang sebenarnya. Artinya, siapa saja merasa berhak memajaki atau meminta dana kepada siapa saja, baik ke para pedagang, juga ke pelancong lokal maupun internasional, yang kebetulan mampir. Jumlahnya? Suka-suka yang minta.


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang I Sayembara Mengarang Cerber Femina 2008




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?