Fiction
Berapa Babi Maskawin, Ko? [2]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Pemuda itu berusaha menarik tangan bapa ade-nya. Membujuk. Sebaliknya, dengan tangan kirinya yang bebas, ia mendorong balik si keponakan. “Sana… ko pulang sendiri….

Terjadi tarik-menarik. Sementara Tari yang masih belum sadar dari keterkejutannya mengangsurkan uang itu kepada si pria tua. Angin bertiup kencang. Dua lembar uang seratus ribuan itu terlepas dari tangan Tari dan terbang terbawa angin. Dalam hitungan detik, si bapa ade mengentakkan tangan kirinya, terbebas sesaat, dan segera berlari mengejar uang-uang itu. Si pemuda ikut mengejar bersicepat dengan si bapa ade.

Berhasil juga disambarnya satu lembar uang seratus ribuan. Kemudian ia berbalik arah. Dengan gerakan yang sama cepatnya diangsurkannya lembaran uang itu kepada Tari, “Nona… ini… capat ko pergi dari sini.”
Tari berdiri mematung. Takjub. Beku. Sementara si bapa ade masih berkejar-kejaran dengan angin. Mengejar lembaran uang yang satunya.

“Nona…,” suara keras pemuda itu menyadarkannya, “Capat pergi…!”

Tari tersadar. Buru-buru ia berlari ke sepeda motornya.

“Nona… ko pu uang.”

Tari kembali ke si pemuda, mengambil uang itu, kembali lagi ke sepeda motornya, menarik sepeda motornya dari benaman pasir, menyalakan mesinnya, dan segera berlalu ke arah datangnya. Semuanya itu ia kerjakan tanpa hati. Layaknya robot.

Ia kembali di akhir senja. Nonce sudah pulang dari kantor. Mereka berpapasan di ruang tamu. Tanpa berkata sepatah pun, Tari berjalan gontai ke sofa panjang dan membaringkan diri di sana. Sementara Nonce, sebagai gadis Papua yang lama tinggal di Yogyakarta, cukup banyak belajar budaya Jawa melalui Tari. Setidaknya, ia belajar menahan diri untuk tak bertanya macam-macam sampai Tari sendiri siap bercerita.

Juga saat ini. Pun ia tak hendak bertanya mengapa Tari tak membawa belanjaan, seperti tomat, cabai, atau seikat kangkung, seperti yang telah dijanjikannya tadi pagi. Walau rasa ingin tahu memenuhi dadanya, ia memilih diam.

Karenanya, meski heran melihat wajah pucat sahabatnya, Nonce hanya bertanya singkat, “Sakit, Tar? Wajah ko pucat sekali.”

“Pusing.”

“Mau sa ambilkan obat sakit kepala?”

Tari mengangguk.

Nonce masuk ke kamarnya, mengambil obat sakit kepala dari atas meja rias dan kembali ke ruang tamu. Diangsurkannya obat sakit kepala itu ke tangan Tari. Tari menggenggamnya, meski tak hendak meminumnya. Sementara Nonce beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air dingin.

Tari belum stabil. Napasnya memburu. Kejadian barusan menghantamnya benar. Ketika Nonce mengundangnya tempo hari, untuk berlibur ke Jayapura --ke kotanya di Pulau Papua sana-- betapa bahagianya Tari. Ia belum pernah menginjakkan kaki di Papua. Ia pernah ke Medan, Padang, Mentawai, juga ke Balikpapan, dan bergerak sedikit ke Samarinda.

Ia pun pernah ke Makassar dan dari sana menjejakkan kaki di Bulukumba. Dan, jangan lupa, Batam. Ia cukup mengenal Batam. Karena ada kantor cabang perusahaannya di Batam, ia sering bolak-balik Jakarta-Batam sedikitnya dua kali sebulan. Tetapi Papua? Ia hanya tahu Papua itu wilayah tertimur Indonesia dengan para prianya yang masih pakai celana dari selongsong labu kering (soalnya, foto-foto di brosur dan kartu posnya kelihatan begitu).

“Datanglah liburan nanti, Tar. Waktu sa pu paetua (suami saya), tugas ke Ambon. Katong reuni, to. Su lama juga tong tra ketemu. Berapa tahun? Tujuh tahun? Lama juga, e,” bujuk Nonce, via telepon genggam.

“Ntar dulu. Mikir dulu.”

“Pakai pikir-pikir segala,“ bujuk mantan teman sekampus dan teman sekosnya itu lagi, “Di sini ko bisa menikmati udara bersih, ikan laut yang sehat yang trada merkurinya, juga… pantainya maut-maut. Ke sini, sudah.”

Tari terbujuk. Terutama, ketika Nonce menggambarkan pantai-pantai di kotanya yang katanya berpasir putih, tenang, nyaman, dan enak untuk dipakai berenang itu. Maka, jauh-jauh hari ia sudah memberi tahu bapak dan ibu di kampung halamannya di Bantul, terutama Mbak Lok, bahwa ia tak akan hadir waktu Bagas, anak bungsu Mbak Lok, sunatan. Mbak Lok protes. Tetapi, Tari bilang mau semadi ke tempat yang jauh. Topo. Mbak Lok tambah protes lagi. Katanya waktu itu, “Kayak di Bantul nggak ada tempat semadi. Di sini banyak guo. Kalau mau cari pesugihan (kekayaan), jodoh, di sini tempatnya.”

Tari tersenyum kecut waktu itu. Mengapakah image orang selalu demikian? Semadi berkorelasi positif dengan cari pesugihan? Tak mengacuhkan protes orang rumah, Tari berangkat juga, bersamaan dengan keberangkatan suami Nonce ke Ambon. Tentu, paginya, sebelum pesawatnya take off, Mbok Lok menelepon, mengingatkannya untuk ekstra hati-hati. “Dengar-dengar, di Papua sana masih banyak yang makan orang.”

Tari tidak menghiraukan pesan itu. Memangnya orang-orang Papua itu hidup di zaman batu? Gila benar Mbak Lok itu. Tetapi, kenyataan yang baru menghadangnya sore tadi mengingatkannya akan pesan Mbak Lok. Sepertinya Mbak Lok itu termasuk jenis orang yang ’weruh sakdurunge winarah’, sudah tahu sebelum sesuatu itu terjadi.
Tring aling tring aling.

Nada sambung di ponsel Tari berdering nyaring. Tari mengeluh. Merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. Dari Heru, bos sekaligus kekasihnya, di Jakarta. Refleks Tari menggeletakkan ponsel itu ke lantai di bawahnya. Ia sedang tak ingin diganggu. Tetapi, ia kenal benar siapa Heru. Heru tak akan menyerah sebelum Tari mengangkatnya. Terlebih, Heru sangat tahu kekasihnya tak pernah jauh dari ponselnya. Terutama, di sore hari seperti saat ini.

“Halo…,” suara Tari malas dan serak. Ia masih pusing. Kepalanya berdenyut-denyut.

Heru langsung memberondong, “Seharusnya kamu mengingatkan Wanto bahwa tadi pagi dia harus menemui Pak Wardiman. Harus. Kamu tahu benar kan pentingnya referensi dari bekas dirjen sialan itu?”

Denyut di kepala Tari menjadi-jadi. “Sudah, Her. Sudah kuingatkan dia berkali-kali… uh….”

“Mana buktinya? Hari ini dia malah pergi ke Bogor.”

“Memeriksa pesanan sandal kita?”

“Ya. Tetapi, ini kan tidak urgent. Bodoh benar anak itu...,” Heru masih berbicara banyak, menyumpah ini-itu. Tari mengeluh dalam hati. Mengapa Tuhan telah memilih pria yang kasar dan sulit bersyukur ini terlahir sebagai anak pria Gondokusumo, tuan tanah dari Bandung itu? Sementara Tuhan telah memilih seorang guru desa sebagai ibu Wanto yang jujur, cerdas, dan teliti itu? Sehingga, dengan mudah Heru bisa menjadi direktur, sementara Wanto yang sarjana ekonomi itu harus puas hanya duduk sebagai penyelia.

Tari selalu punya kuping untuk Heru. Tetapi, ada saat-saat tertentu kupingnya tidak siap mendengarkan apa pun. Seperti saat ini. Heru masih menyumpah-nyumpah di ujung sana. Tari menjauhkan ponselnya. Ia ingin mengambil jarak dari sumber suara, tetapi terlalu takut untuk kehilangan informasi, meski itu dalam bentuk sumpah serapah.

“…mengerti?”

“Akan kuhubungi Wanto sesegera mungkin,” serak suara Tari menyahut.

Klik. Sambungan diputus dari ujung sana.

Tari mendesah. Ia bahkan tak sempat mengucapkan ’selamat sore’ atau ’halo, apa kabar’.


Penulis: Nunuk Y. Kusmiana
Pemenang I Sayembara Mengarang Cerber Femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?