Fiction
Cerber: Ayah [8]

16 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Ini hari terakhirku di kampung halaman Ibu. Aku tepekur di depan makamnya. Meremas-remas gundukan tanah, mengalirkan kepedihan yang kini kurasakan. Selama seminggu aku bertanya ke sana ke mari tentang masa lalu Ibu. Namun, tak seorang pun memiliki jawaban yang pasti. Kebanyakan teman Ibu mengatakan, tidak tahu apa yang terjadi pada Ibu setelah sekolah di kota.

“Ibu, maafkan aku,” kataku, lirih, di antara air mata yang menggenang. “Seharusnya, aku tak melakukan hal ini, mengorek masa lalu Ibu. Tapi, aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam kegamangan.”

Matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan. Burung-burung terbang rendah. Seakan ingin menemaniku berlama-lama di makam Ibu. Aku mendongak, menatap langit pagi yang kebiruan. Kuambil keranjang berisi bunga dan kutaburkan di atas makam. Makam ini bersih dan terawat. Bi Darti berkunjung ke sini setiap Jumat untuk membersihkannya. Aku merasa beruntung memiliki Bibi sebaik Bi Darti. Sayang, cutiku sudah habis dan aku harus segera kembali ke Jakarta.

Aku melihat jam di pergelangan tangan. Pukul 8.30. Setengah jam lagi Pak Zaenal akan menjemputku di rumah Bi Darti. Mungkin sebaiknya aku segera meninggalkan pemakaman. Jarak pemakaman dan rumah Bi Darti membutuhkan waktu seperempat jam. Setelah membaca beberapa doa untuk Ibu, aku meninggalkan makam.

JAKARTA, AKHIR JANUARI 2006
Kegelapan menyambutku di pintu apartemen. Tanpa menghidupkan lampu, aku meraih kunci mobil di laci meja rias dan kembali keluar apartemen. Aku menuruni lift dengan perasaan tak menentu. Siapa aku ini sebenarnya? Kegamangan menyergapku demikian hebat sejak aku merasa gagal menyingkap masa lalu Ibu. Aku merasa tak berarti. Mungkin, sudah saatnya kuputuskan saja hubunganku dengan Rayan. Tidak ada gunanya dia menungguku kalau aku tidak bisa memberinya jawaban. Ada yang menikam ulu hatiku dan menyisakan rasa pedih ketika pikiran itu melintas. Kalau memang ini untuk kebaikan Rayan, aku harus merelakannya.

Keluar apartemen, mobilku melesat menuju barat Jakarta. Pikiranku benar-benar rusuh. Aku masih memiliki cuti sampai be­sok, sebelum kembali ke kantor. Dan, salah satu cottage di Pantai Anyer menjadi pilihanku untuk menenangkan diri. Menepikan semua gundah.

Malam merambat cepat. Pukul 9 aku memasuki sebuah cottage. Setelah menaruh beberapa barang yang kubawa ke dalam kamar, aku menikmati semilir angin pantai. Kurentangkan tangan, sambil berdiri menghadap pantai. Ingin rasanya menjerit sekuat tenaga untuk melepaskan beban. Namun, urung kulakukan karena beberapa pengunjung cottage juga tengah berjalan-jalan di pantai.

Laut di depanku menghitam, sehitam hidupku yang gamang. Sebuah pertunjukan film memang tak selalu berakhir bahagia. Dan, mungkin begitu pula yang terjadi dalam hidupku. Kebersamaanku dengan Rayan akan berakhir karena aku tak bisa memberinya jawaban. Kuputar cincin belah rotan yang melingkar di jari manisku. Hatiku memerih.

“Boleh mengganggumu?”

Sebuah suara muncul dari arah belakang, membuatku terkejut. Di bawah terpaan sinar lampu yang remang menerangi pantai, aku bisa melihat siapa pria yang sedang berdiri di sampingku.

“Bagas!?”

Pria itu tersenyum. Matanya menatapku lekat-lekat.

“Kenapa kau berada di sini?” tanyaku, heran.

“Aku mencarimu. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Aku membuang pandang. Menebak-nebak apa yang akan dibicarakan Bagas padaku. Mungkin, soal surat perjanjian yang musti kutandatangani tempo hari. Atau, setidaknya dia akan mencoba membujukku dengan halus agar aku mau memenuhi keinginan mamanya.

“Bisa kita bicara di tempat terang? Aku membawa surat un­tukmu.”

Tebakanku tak salah. Itulah yang akan dilakukan Bagas padaku. Membujuk!

“Jangan membujukku untuk menandatangai surat perjanjian itu, Bagas. Ambillah semua harta Ayah semaumu. Aku tidak akan mengusiknya karena aku memang tidak berhak.”

“Justru karena itu kau harus membaca surat ini. Ayo!” Bagas menyeretku. Aku meronta, namun cengkeraman Bagas lebih kuat.

“Aku akan berteriak kalau kau tak melepaskan tanganku!”

“Nah! Baiklah, aku lepaskan kau di sini!” katanya, sambil melepaskan tanganku tepat di bawah lampu pantai. Dia mengeluarkan selembar kertas dan menyodorkannya padaku. Aku membuang muka. Tak mau membacanya.

“Jangan gampang menuduh, aku tidak seburuk yang kau sangka!”

Aku tertawa sinis. Ketika memandang wajah Bagas, kulihat bayangan Tante Erna di sana. Dengan setengah hati kuterima surat itu dan mulai kubaca di bawah lampu pantai. Sebuah surat pernyataan yang diketik rapi dan ditandatangani di atas materai oleh Tante Erna. Mendadak aku tersentak. Aku menatap Bagas dengan pandangan tak percaya. Benarkah?

“Aku sudah tahu semua yang dilakukan Mama padamu sejak SMA dulu. Tapi, aku menyimpannya. Bagaimana pun, dia mamaku, Ras.” Bagas menunduk, seperti sedang menyesali perbuatan mamanya. “Kupikir, mendekatkanmu kembali pada Ayah akan memberi kesempatan padamu untuk bertanya yang sebenarnya. Dan, semua akan jelas. Tapi, kenyataannya? Rencanaku gagal karena kau malah membenciku.”

Ia memandangku, menunggu reaksiku. Beberapa detik aku tak bereaksi, ia melanjutkan. “Puncak kegeramanku saat Mama memaksamu untuk menandatangani surat perjanjian harta wa­risan Ayah tempo hari. Aku tidak bisa membiarkan Mama terus-menerus berbuat tak adil padamu. Aku memaksanya menandatangani surat ini dan mengancam meninggalkan rumah kalau Mama tak mau tanda tangan.”

Aku menghela napas. Menatap selembar surat di tanganku. Surat yang berisi pernyataan bahwa Tante Erna telah melakukan kebohongan padaku. Ia melakukan hal itu untuk menekanku, karena cemburu kepada Ayah yang sangat menyayangiku dan takut semua harta warisannya jatuh ke tanganku.

“Maafkan mamaku, Ras. Aku tahu, kau sangat membencinya. Aku berharap, yang kulakukan ini bisa membuka pintu maafmu. Kalau perlu, aku akan membawa Mama keluar dari rumahmu. Lagi pula, kami tak punya hak apa-apa di sana. Dan, percayalah, kau anak kandung Ayah. Berkali-kali aku berbicara pada Ayah tentang hal ini. Tidak ada yang harus kau ragukan lagi. Ibumu adalah wanita yang selalu menjaga kehormatan dirinya. Tidak mungkin beliau melakukan hal seperti itu.”

Aku tak tahu harus berkata apa. Kejutan ini begitu dahsyat.

“Selain itu, ada satu hal lagi yang ingin kukatakan padamu.” Bagas melirikku dengan sudut matanya, lalu membuang pandang ke lautan lepas yang semakin menghitam. Aku menunggu.

“Kamu adalah cinta pertamaku. Aku masih mencintaimu hingga saat ini.” Bagas menghentikan kata-katanya.
Aku ternganga.

Setelah mengembuskan napas panjang, Bagas meneruskan kata-katanya. “Tapi, aku cukup bahagia jika melihatmu bahagia bersama Rayan. Kata orang, cinta tak harus memiliki, bukan?” Bagas tertawa datar. “Aku membawakan Rayan untukmu. Dan, sebagai kakakmu aku minta cepatlah menikah dengannya. Aku takut dia keburu beruban dan berubah menjadi kakek bungkuk.”

“Enak saja kau bilang!” tiba-tiba Rayan muncul di antara kami. Setiap adegan malam ini seperti sudah diatur dengan baik. Aku segera menyadari bahwa mereka telah bersekongkol. Rayan menatapku lekat-lekat.
“Bagaimana, Ras? Kau menyukai script cerita malam ini, ’kan?” tanya Bagas, sambil tersenyum. “Baiklah, kalian kupersilakan untuk merundingkan tanggal pernikahan. Oke?”

Rayan masih menatapku. Matanya tersenyum penuh bintang. Perasaanku menghangat. Sebelum Bagas berbalik dan melangkah menjauhi kami, aku melihat ketulusan di binar matanya. [tamat]

Penulis :Sri Lestari


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?