Fiction
Cerber: Ayah [5]

16 Dec 2011

<< cerita sebelumnya

Malam mengelam di jendela apartemen. Aku masih memandang jemu laptop di hadapanku. Kunyalakan CD. Tiupan saxophone Kenny G. mengalun lembut lewat lagu Silhouette. Secangkir cappuccino tak mampu merangsang kerja otakku. Kulirik jam din­ding digital. Sudah pukul 12 malam!

Rancangan produksi untuk malam tahun baru belum juga selesai. Masih banyak kekurangan di sana-sini, setelah melewati beberapa tahap rapat pembahasan. Dan, aku harus cepat-cepat menyelesaikan masalah ini. Lembur setiap malam, meski tanpa hasil yang cukup berarti. Entahlah. Akhir-akhir ini pikiranku susah diajak berkonsentrasi pada pekerjaan. Pikiranku lebih suka melantur ke mana-mana.

Aku meninggalkan laptop yang masih menyala dan mengempaskan tubuh di sofa. Pertemuan dengan Bagas tadi siang di lobi gedung kantor membuat perasaanku tidak enak. Ini pertemuan pertamaku, setelah ia membohongiku beberapa waktu lalu. Sebe­narnya, aku berusaha menghindari pertemuan dengannya. Ta­pi, dia mengejarku sampai ke depan pintu lift dan memaksaku agar mau mendengarkannya.

“Pulanglah, Ras. Ayah sakit keras. Beliau dirawat di rumah sakit!”

Aku tak menggubris kata-katanya yang setengah berteriak. Kebohongan yang ia lakukan tiga hari lalu tak boleh terulang. Hatiku sangat terluka oleh kata-kata mamanya. Bagas hanya ingin memasukkanku ke dalam mulut serigala.

“Kau masih punya hati kan, Ras?” Ia benar-benar berteriak di teli­ngaku. Orang-orang di depan lift berpandangan. Membuatku jengah.

“Bagas, kau jangan asal bicara! Kau yang tak punya hati!”

“Apa maksudmu?”

“Kau membohongiku waktu itu. Kau bilang Ayah sakit. Padahal, ia baik-baik saja. Harusnya kau tahu, kebohonganmu itu membuat hatiku sangat terluka! Sekarang kau bilang aku tidak punya hati?”

“Aku tahu, kau tidak menyukai Mama. Tapi, seharusnya kau le­bih dewasa menghadapinya. Demi menjaga perasaan ayahmu juga.”

Dewasa? Jadi, selama ini aku tak pernah dewasa di mata Bagas? Aku menggeleng-gelengkan kepala. Memandang Bagas dengan kekesalan yang memuncak. Bagas tidak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan se­kadar perasaan suka atau tak suka. Bukan bagaimana seharusnya bersikap dewasa menghadapi kehadiran seorang ibu tiri, apalagi menjaga perasaan Ayah. Ini menyangkut keberadaanku. Menyangkut masa laluku.

“Terserah kau, Ras, mau pulang atau tidak! Yang jelas, aku sudah mengabarkan padamu bahwa Ayah sakit keras!”

Teriakan Bagas tertelan pintu lift yang tertutup. Orang-orang menatapku dengan raut muka ingin tahu. Aku tak lagi memercayai kata-kata Bagas. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak akan dipercaya. Itulah yang telah terjadi.

Tetapi, mengapa malam ini aku jadi merisaukannya? Jangan-ja­ngan Ayah memang sakit? Ah, dia bukan ayahku. Kebaikannya selama ini hanya bersandiwara. Menghiburku agar tidak bertanya di mana ayahku yang sesungguhnya. Sementara itu, Bagas dan Tante Erna hanya ingin melukai hatiku. Untuk apa aku begitu sibuk memikirkan mereka? Seharusnya tak kubiarkan mereka menjajah otakku. Aku meraih beberapa butir obat tidur di kotak obat dan meminumnya. Kubaringkan kembali tubuhku di sofa.

Beberapa saat kemudian, obat tidurku mulai bekerja. Aku memejamkan mata, tenggelam dalam buaian mimpi. Samar-samar kulihat wajah teduh Ibu menghampiriku. Tersenyum lembut, sambil mengulurkan tangannya. Aku ingin bertanya tentang keberadaan diriku. Tentang pria tak bertanggung jawab yang telah mengukir jiwa ragaku. Tapi, bibirku hanya bergerak-gerak, tanpa mengeluarkan suara. Hingga wajah teduh Ibu lenyap, berganti kegelapan….

Aku berdiri limbung di pintu pemakaman. Mengantarkan jenazah seseorang yang telah bertahun-tahun cintanya kutinggalkan. Tiga orang pria turun ke liang lahat, bersiap memasukkan jenazah. Setelah doa-doa diucapkan, perlahan liang lahat itu ditimbun tanah. Aku menggigil. Sebelum tubuhku jatuh terkulai, Ra­yan merangkul pundakku erat-erat.

Beberapa menit kemudian, liang lahat itu sudah tertimbun rapat. Nisan bertuliskan sebuah nama berada di ujungnya. Bunga-bunga ditaburkan. Orang-orang mengucapkan dukacita, lalu pergi. Senja menjelang petang ketika aku bersimpuh di depan pusara. Mengelus-elus batu nisan. Tergugu. Tak percaya. Ayah telah pergi.

“Sebenarnya, sudah lama Ayah sakit.”

Aku melirik lewat sudut mataku. Dengan pakaian hitam berle­ngan panjang, Bagas duduk di sampingku. Tangannya meremas-re­mas tanah merah pekuburan yang masih basah. Rayan masih me­rangkul pundakku. Tak kutemukan Tante Erna di sekitar kami. Mung­kin, ia telah pulang.

“Ayah menderita lemah jantung. Tapi, Ayah tidak mau orang lain tahu bahwa beliau sakit. Bahkan, Mama saja tak tahu. Ayah hanya bicara padaku setelah melakukan check up. Itu pun minta dirahasiakan. Bahkan, setelah aku mengatakan padamu tentang sakitnya beberapa waktu lalu, Ayah memarahiku.” Muka Bagas memerah. Suaranya basah. Ia tampak sangat sedih karena kehilangan Ayah.

Ada kecemburuan yang melintasi hatiku. Ayah begitu dekat de­ngan Bagas, hingga memercayakan rahasia itu kepada anak tirinya. Sedangkan padaku? Ah, aku mengibaskan pikiranku jauh-jauh.

“Setiap kami bicara berdua, Ayah selalu menceritakanmu. Sejak kau jarang pulang, beliau sangat merindukanmu, Ras.” Bagas meng­hapus tetesan air matanya. Pria itu menangis. “Beliau memang bukan ayah kandungku. Tapi, aku mencintainya. Ayah telah menghargai pilihanku menjadi seniman. Ayah sangat bijaksana memandang potensi setiap orang yang berbeda-beda. Itulah yang membuatku bertahan tidak pergi dari rumah, meskipun aku kurang sependapat dengan Mama.”

Aku memandang Bagas. Terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Ada perasaan bersalah yang diam-diam bersemayam.

“Ras, kau juga mencintai Ayah, bukan?”

Mencintai Ayah? Jika sampai hari ini aku tak dapat menghapus kenangan indah bersamanya, apakah itu berarti aku masih mencintainya? Aku tak tahu. Selama ini aku hanya ingin mencari ja­waban tentang keberadaanku di dunia, meski jalan yang kutempuh mungkin salah. Aku membiarkan Tante Erna mengusirku dari rumah secara perlahan. Aku tak pernah berani bertanya pada Ayah, yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu. Betapa kerdilnya aku.

“Cinta Ayah padamu tak pernah luntur, Ras. Meskipun, ada aku dan Mama di antara kalian.”

Dadaku sesak. Air mataku meleleh lagi. Aku bangkit dari bersimpuh, sambil menepuk bahu Bagas perlahan. “Maafkan aku jika telah menuduhmu berbohong…,”  kataku, lirih.

“Sebentar lagi malam dan kelihatannya akan hujan,” bisik Ra­yan.

Aku mendongak. Menatap gumpalan mendung yang menghitam.

“Kau tidak pulang bersama kami?” ajak Rayan kepada Bagas.

Bagas menggeleng. “Terima kasih. Aku masih ingin di sini.”

Sekali lagi, kutepuk pundak Bagas lembut, sebelum meninggalkannya. Malam datang menjemput petang. Rayan menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya perlahan. Di antara gerimis yang mulai jatuh, kulihat Bagas masih tepekur di depan pusara Ayah.


Penulis: Sri Lestari


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?