Fiction
Atas Nama Merah Putih [1]

15 May 2013



Temanggung, 1921.
Delman itu melaju kencang. Napas kuda yang menariknya berpacu dengan waktu. Redup sekeliling. Rembulan pun seperti enggan bersua. Sinar putih cemerlangnya merajuk malu-malu menyinari jalan setapak. Rimbun dedaunan terlihat seperti menundukkan diri, menghindar dari hujan timah panas.

Ningsih meringkuk dalam pelukan Rukmini. Ia ketakutan, bahkan berpikir bahwa malam ini adalah akhir dari hidupnya. Laju delman  makin tak terkendali. Sang kuda sepertinya cemas. Ia takut ditaklukkan oleh kematian. Larinya pun oleng dan hampir terjatuh.

Tiga manusia di dalamnya yang takut terpenggal ajal, terus merapal doa- memohon keselamatan. Kekalutan malam tiba-tiba menjebak mereka di daerah rimbun ini. Hutan kecil yang awalnya anggun bersahabat, telah berubah menjadi tempat gerilya para pejuang. Tak ada sosok yang berlalu lalang. Pun tak ada tank-tank besar milik Belanda. Yang ada hanya suara letupan senjata dan teriakan-teriakan kesakitan. Suara-suara itu kini terus tertelan rahang kematian.

Si kusir tak hentinya bergidik. Mantra penangguhan kematiannya pun berbisik bersama semburat angin malam. Terpenggal satu-satu dalam hatinya. Deru udara yang mendengus dari rongga paru-paru tuanya terasa  makin kalut. Ia terus menghitung dua kemungkinan yang terjadi kepada mereka bertiga. Akankah mereka tewas tertembak atau tewas terguling karena amukan mesin pembawa delman itu makin tak terkendali. Ia lalu merutuki nasib. Ya, nasib yang telah membawanya terjebak dalam situasi tak terduga akibat menuruti kehendak Rukmini untuk membawanya kabur dari dalem adipati dengan imbalan sekantong uang gulden. Tuahkah ini?

Pikiran-pikiran buruk terus menghujam. Dengan cara apakah kematian akan meminang dirinya? Lalu tanpa disadari, sebutir biji panas senapan menyerempet dadanya, menghancurkan sel-sel darah. Rukmini memekik tertahan di kursi belakang, namun ia buru-buru menutup mata Ningsih yang tiba-tiba memberanikan diri mengangkat wajah dan melihat keadaan. Ningsih hanya melihat sepintas dan ia pun telah berkehendak untuk tidak melihat lebih jauh lagi saat timah kedua menghujam leher lelaki tua itu.
Sang kusir delman ambruk terpelanting keluar.

Dan seolah-olah tahu apa yang telah terjadi pada tuannya, kuda itu meringkik nyaring. Derap kakinya tak terkendali seperti telah ditunggangi oleh nafsu amarah. Rukmini seketika tak berhenti berteriak. Ia memegangi tepi delman kuat-kuat dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya yang lain memegangi bahu mutiara kecilnya itu erat-erat. Jika Tuhan memaksa memilih siapa yang bersedia mati, maka ia akan mengacungkan jarinya tinggi-tinggi. Ia tak takut mati karena sesungguhnya hidupnya selama 23 tahun ini adalah kematian. Ia hanya takut kalau-kalau kematian itu akan mencengkeram gadis kecilnya.

“Tolong…tolong…!” Hanya itu yang tebersit dan terucap dari bibirnya. Ia terus melolong lebih keras bak serigala merindu purnama. Kuda hitam itu tiba-tiba mengangkat kakinya lalu bergerak tak tentu arah. Kaki bajanya kini selemah hati seorang gadis. Dua peluru salah arah tertancap di sana, layaknya dua peluru yang telah menjemput hidup kusir delman.

Kuda itu ingin terus bergerak, tetapi hanya satu-dua napas yang tertahan di kerongkongannya. Kuda itu ambruk dan dua perempuan di dalamnya tergelincir keluar. Ningsih menjerit saat pegangan tangannya terlepas dari Rukmini. Ia berusaha menggapai, namun tarikan gaya gravitasi itu menariknya  makin terjerumus ke dalam lembah-lembah hutan yang gelap.

Tangis mendera, tetapi bukan karena perih luka di wajah ayu Ningsih. Bukan juga karena goresan yang membujur di lengan kanannya akibat menahan beban tubuhnya saat terjatuh tadi. Air mata Ningsih tertumpah ruah ketika mendengar dentuman senapan meletup di tempat ibunya tertelan lubang kegelapan tadi.
Tubuh Ningsih yang lemah terlunta membentur batu-batu tajam.
Hitam pun berputar menutup matanya.
 
******
 “Cah Ayu sudah sadar rupanya,” bisik suara bariton di samping Ningsih yang membuatnya langsung terenyak. Wajahnya pucat pasi seketika. “Sinten asmanipun, Nduk (siapa namanya, Nak)?”

“Ni…ning…Ningsih…” sahut Ningsih ketakutan. Pramono pun menarik senyum dari sudut bibirnya yang kering. “Jangan takut, Cah Ayu, aku ndak akan menembakmu dan akan membantumu mencari ibumu.”
Mata Ningsih membulat penuh harapan. Bahagia langsung menyeruak liang-liang hatinya yang semula meringkuk dalam jeram ketakutan.
“K…kenapa…Bapak menembak orang?” tanya Ningsih memberanikan diri. Semenit dua menit, pria berkulit sawo matang itu diam saja. Tangan kanannya tampak kukuh memegang senapan laras panjang, sementara tangan kirinya erat merengkuh gadis kecil  itu.
“Demi kemerdekaan…,” jawabnya tetap dengan suara berbisik namun terdengar satu keteguhan di dalamnya. “… sehingga semua pejuang takkan mati sia-sia….”
Saat fajar mulai merekah di ufuk timur, suara dentuman itu pun mulai berhenti lalu tak berbekas sama sekali. Menyisakan kelengangan dalam pucuk-pucuk dedaunan yang menari bersama embun pagi.
“Kita cari ibumu….” Pramono menggendong Ningsih dalam dekapan dada bidangnya yang hangat. Tak secuil pun letih menyentuh wajah tiga puluh tahunnya, walau ia telah terjaga sepanjang malam menghindari hujan peluru.

Pramono mengenang semalam. Tuhan telah menggerakkan takdir untuk mempertemukan mereka. Saat gulita menyerang dan hanya percik-percik api sebagai sumbu penglihatan sekeliling, ia menangkap dua sosok yang terguling jatuh dari delman nahas itu. Satu tubuh menghilang tertelan riuhnya rimba, sementara yang satunya terbaring mencium tanah tak jauh darinya. Ia pun berhenti bergerak, berhenti menembak, dan meninggalkan teman-temannya yang terus bertahan di balik pepohonan. Nalurinya begitu kuat menghujam jiwa. Gadis itu harus diselamatkan.

********
Matahari kembali bergulir ke ufuk barat dan menandai perputaran waktu yang terus berjalan di atas semesta ini. Ningsih tak tahu sudah seberapa jauh mereka berjalan menembus hutan, memarang ilalang. Ia pun tak tahu sudah berapa kali mereka beristirahat demi menghapus letih. Ia bahkan tak tahu mengapa larut tetap tak mampu meninabobokan mata sayunya. Ada sesuatu yang meradang. Sesuatu yang menuntut dirinya tuk terus terjaga ketika akhirnya ia tiba sampai di tempat ini.

“Ibu…,” ucapnya tertahan. Ia tiba-tiba melonjak keras dari gendongan Pramono. Kedua kaki kurusnya langsung berlari, bersua perempuan yang terbaring di atas pelepah pisang. Napasnya tampak naik turun dengan teratur, walau kain perban membalut hampir sekujur tubuhnya. Kebaya serta jarit bermotif kawung itu terlihat sobek di sana-sini. Perempuan itu sangat kepayahan hingga hanya napas Tuhanlah yang mampu mengembalikkan udara ke paru-parunya.

“Ibuuu…!” Ningsih menggoyang-goyangkan tubuh perempuan tengah baya itu, namun tetap tak bergerak.
“Ibumu sedang sare (tidur), Nduk. Ia akan  bangun nanti.”
Ningsih mendongak. Suaranya begitu merdu mengalun dan terasa aura kehangatan sangat memancar dari wajahnya. Wanita itu pun memiliki sepasang bola mata yang   menyiratkan karang di dalam hatinya.
“Mas Pram selamat.” Ia tampak terharu saat menatap Pram kini berdiri tegak di hadapannya. Ia pun berhenti berucap dan hanya ada satu pelukan hangat sebagai lanjutan ucapannya tadi. Pram balas memeluk wanita itu erat sekali, seolah takut  kehilangan dia.

“Pram, selamatkan anak ini, aku selamatkan ibunya, dan Tuhan selamatkan kita semua di sini! Netherland tak akan menemukan tempat persembunyian kita.”
Ningsih kemudian menoleh ke arah suara yang berlogat Surabaya kental itu. Ia menatap agak terperangah. Masih banyak orang lain di tempat persembunyian ini. Mereka semua pria, berseragam cokelat, bertopi baret. Banyak yang terluka, bahkan lebih parah dari itu. Sementara sisanya yang dapat berdiri tegak, dapat dihitung dengan jari.
“Aku pun berpikir kau sudah mati, Pram. Kau menghilang dekat jurang….”
Pria jangkung itu berkata lagi dengan duka di wajahnya, “Terlalu banyak korban yang tewas semalam. Aku tak bisa membayangkan apa aku sanggup membawa pulang nama teman-teman kita kepada keluarganya atau aku malah tak memiliki waktu untuk mengabarkannya kepada mereka….”

“Kita akan menang, walau mereka memiliki ribuan senjata yang mampu mengoyak tulang sumsum kita sekalipun, karena rahmat Tuhan adalah senjata kita. Ini tanah pemberian-Nya dan tak ada yang bisa menjarahnya barang sejengkal pun,” sahut Pram, tegas. Matanya tampak menyala dan meletupkan dera semangat dalam hati kawan-kawannya.  “…lagi pula, kita memiliki dokter yang luar biasa di sini….”
Pram mengerling ke arah Sutirah, istrinya, sementara wanita beralis tebal itu hanya tersenyum kecil. Rona pun tampak jelas menghiasi kedua pipi cekungnya.
 “Cah Ayu, dalemipun pundi (Anak Cantik, rumahnya di mana)?” Pram kemudian bertanya kepada Ningsih.

Ningsih teringat rumahnya yang besar dengan payungan rumbai-rumbai pohon mangga di sekelilingnya. Ia hendak membuka mulut, tetapi bingung apa yang hendak diucapkannya.
“Nggg…dalemipun R.M. Tjokro Sastroadiningrat.”

Pram tepekur sesaat. Bagaimana bisa, dua priayi ini menyusup dalam kepekatan malam dan terjebak di antara riuh dawai senjata?
“Memang kamu dan Ibu hendak ke mana?”
Ningsih menunduk lagi. Ia memelintir ujung kebayanya, satu kebiasaan unik yang pasti dilakukan jika tak mampu berkata apa-apa.
“Ngg…ngg….ngg…. Aku hanya diajak Ibu pergi sembunyi-sembunyi dari rumah supaya ndak ketahuan Bapak. Aku ndak tahu ke mana Ibu akan membawaku.”

**********
 “Ibumu akan bangun,” ujar Sutirah, sembari mengganti perban di kepala Rukmini. Ningsih pun melihat dokter muda itu seperti seorang dewi. Bahasa tubuhnya yang cekatan saat mengobati luka, membuatnya seperti berhasrat mendengar  tiap jengkal kesakitan dari para pasiennya, namun ia sesungguhnya adalah seorang malaikat yang anggun dan sentuhan tangannya adalah sebuah syifa. Ia satu-satunya wanita di sini, namun kehadirannya bagaikan keberadaan seribu pria. Ia begitu berarti. Ia seorang dokter.
Ningsih, gadis kecil berusia lima tahun, pun menikmati apa yang terjabar di hadapannya. Ia bagai tak pernah mengecap manisnya kemanusiaan karena yang biasa ia lihat hanyalah sempitnya tembok rumah yang sepertinya bersahabat namun sungguh kaku mengurung.
  
*********

 “Kula rewangipun pareng (Saya boleh membantu)?” tanya Ningsih sopan kepada Sutirah, sementara doker itu hanya menatap jenaka ke arahnya.
“Cah Ayu ngupokoro Ibu mawon nggih (Anak cantik merawat ibumu saja, ya)?”
Ningsih pun dengan semangat mengangguk, walau ia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia pun meniru Sutirah. Hal pertama yang dilakukan adalah mengganti perban, lalu mengusap wajah, leher serta tangan Rukmini dengan air bersih. Ningsih juga berusaha meniru keanggunan Sutirah ketika melakukannya. Keanggunan itu begitu menginspirasi dirinya.

 “Mas Pram, kemari….” Suara Sutirah terdengar tercekat ketika memanggil Pram yang sedang menyalakan kayu bakar. Pejuang-pejuang lain pun terlihat berkerumun dan Ningsih turut mendekat. Ia tak tahu apa yang terjadi sampai Pram berucap, ”Innalillahi wa innailaihi rojiun….”

“Perdarahannya tetap tak berhenti, dan Mas Hadi sudah berhari-hari tak sadar. Maafkan aku tak mampu menyelamatkan nyawanya.”
“Ini kehendak Gusti Allah, Tirah. Kau tidak salah,” hibur Pram sungguh-sungguh.
Ningsih tak menangkap kalimat Pram selanjutnya. Matanya langsung memperhatikan sosok ibunya yang juga telah tak sadar berhari-hari. Rukmini begitu lemah, pucat, dan rapuh, sama halnya dengan pejuang tak bernyawa yang terbujur kaku di sampingnya.
“Ningsih…,” satu kata itu terdengar di ujung air mata Ningsih yang hampir tumpah ruah. Satu kata, ya memang hanya satu kata, namun sungguh bermakna. Rukmini sadar. Ningsih pun berlari sekencang anak panah. Air matanya kini bercampur dengan tawa bahagia. “Ibuuu…!”

“Aduh, Gusti, aku ono ngendi, yo (Tuhan, saya ada di mana ini)?” tanya Rukmini lemah. Ia melihat sekeliling. Hanya hijau, kerumunan tentara, dan belahan jiwanya yang kini duduk sesenggukan di sampingnya. Ia pun memeluk Ningsih erat sekali.
“Kita bebas, Ningsih. Kita bebas….”

        *******************

“Nyi istri Bupati, ‘kan? Seorang priayi?” Pram bertanya dengan rasa hormat.
“Bukan… aku bukan ndoro,” desis Rukmini, pelan, “…aku hanya anak kiai  di Temanggung.”
Pram mengernyitkan dahi. Ia mencoba bertanya lebih jauh. “Lantas, mengapa Nyi bisa naik delman di tengah malam buta?”
Rukmini tersenyum, namun lebih menyerupai seringai di mata Pram.
“Untuk kebebasan dan kalian semua telah menyelamatkanku.”
“Tetapi, aku akan mengantarkan Nyi keluar dari hutan.”
Air muka Rukmini berubah sendu. Ia menggeleng pelan, ”Aku ndak mau….”
“Lantas?”
“Memang kalian semua tentara dari mana?” Rukmini balas bertanya. Ia sungguh enggan menguak sisi kelam hidupnya.
Pramono terdiam agak lama, lalu mulai bercerita dengan nada mendesah kepada Rukmini, “Aku mantan calon perwira di Oost-Indische Leger, tetapi aku bukanlah pengkhianat bangsa yang mau bekerja untuk Netherland hanya demi gaji besar. Aku sekolah di IOS agar mengerti cara berperang sehingga mampu memimpin pejuang-pejuang Indonesia lainnya untuk mengusir penjajah dari Hindia. Hanya kemerdekaan yang menjadi tujuan akhir hidupku.”
“Tapi IOS ada di Batavia,” tukas Rukmini, sambil mengernyitkan dahi.

Pram menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Rukmini. Matanya terlihat menerawang jauh. “Hanya pribumi-pribumi berpendidikan modernlah yang mampu bersekolah di sana. Aku juga masih keturunan bangsawan Jawa, Nyi, tetapi aku menolak semua pengkastaan itu. Belanda ataupun Jawa tak berhak membeda-bedakan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Aku berperang semalam karena sahabatku sendiri yang membocorkan keinginanku untuk meninggalkan markas. Aku pun pulang ke Semarang di bawah kejaran Belanda. Tak ada pilihan, namun aku telah berhasil mengajak banyak pribumi lain untuk ikut berjuang. Kami akan memiliki sebuah kelompok besar… sebuah tentara bersenjata yang membela kemerdekaan.”

Rukmini trenyuh. Sungguh trenyuh. Air matanya meleleh perlahan dan ia pun mengusap-usap rambut Ningsih, seolah-olah berharap gadisnya itu akan mencintai tanah air seperti pria di depannya itu. Seketika Rukmini merasa sangat angkuh. Ia selalu berpikir bahwa hanya dia yang terkungkung, hanya dia yang memikirkan penderitaan kaum wanita Jawa, dan hanya dia yang memiliki jalan keluar terbaik bagi hidupnya serta Ningsih.

“Aku… aku ndak mau dimadu hanya karena aku bukan bangsawan. Aku mencintai suamiku seutuhnya dan aku pun ingin dia mencintaiku seperti demikian.” Rukmini akhirnya membuka jeruji-jeruji masalah yang selama ini mengurungnya dalam kepedihan batin tak bertepi. Rukmini pun sadar bahwa Ningsih sedari tadi menatap roman ibunya dalam-dalam seakan ikut merasakan luka hatinya. Sementara Pram, tatapannya kembali menerawang jauh, mengibas langit malam, seperti hendak menembus pesan di antara gemerlap bintang.
  *******************

Amelia Indraswari





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?