Fiction
Angin Kanazawa [1]

9 Apr 2014


    Aku melangkahkan kaki keluar dari stasiun. Tsuzumi-mon, gerbang berbentuk drum khas Jepang beserta hangatnya mentari, menjadi penyambut kedatanganku di Kanazawa. Udara kota ini memang berbeda dari Tokyo, apalagi Jakarta. Meski berstatus ibu kota provinsi alias tergolong kota besar, tak lantas membuat kualitas udaranya buruk. Sebaliknya, begitu bersih dan segar. Pun ritme penduduknya tidak setergesa seperti orang-orang Tokyo yang kulihat beberapa jam yang lalu.

Aku membentangkan tangan, menarik napas perlahan dan memasukkan sebanyak-banyaknya udara ke  tiap relung di paru-paruku. Kupejamkan mata menikmati semilir angin Kanazawa yang membelaiku. Ketika kemudian kubuka mata, kulihat sepasang wanita tua sedang memandang ke arahku, namun cepat-cepat memalingkan muka saat kulempar senyum kepada mereka.
    Xenophobia alias fobia pada orang asing. Demikian kata Rachel, temanku.
    "Kenapa Jepang?" keberatan Rachel ketika kuutarakan rencanaku untuk pergi ke Kanazawa beberapa bulan yang lalu.
          "Orang Jepang itu sangat menjaga jarak pada orang asing.  Dan akan sangat sulit kamu temui orang Jepang yang bisa berbahasa Inggris, padahal kamu sendiri tidak pintar berbahasa Jepang. Harga-harga juga sangat mahal, bisa-bisa gajimu selama tiga tahun habis hanya dalam tiga hari. Aku tak mau sampai sahabatku terdampar di negeri orang, kehabisan uang, dan tak bisa pulang ke Indonesia. Aku sarankan, sebagai orang yang tidak berpengalaman bepergian ke luar negeri, sebaiknya kamu jalan-jalan ikut tur ke Singapura atau Malaysia dulu."
   
    Hmm. Rachel terlalu berlebihan. Banyak orang Jepang yang kutemui justru ramah dan sangat bersahabat, seperti keluarga muda teman bercakap-cakapku di kereta tadi. Aku pun tak banyak mengalami kesulitan saat bertanya-tanya dalam bahasa Inggris. Sedangkan untuk harga, yah, memang membuat hati sedikit ciut, namun tak seekstrem yang dikatakan Rachel. Lagi pula, aku pergi ke Jepang bukan untuk tujuan wisata, melainkan untuk sebuah alasan lain yang tidak pernah kuungkapkan kepadanya.
    Berbekal artikel-artikel yang kukumpulkan dari internet termasuk Wikitravel, dan bersenjatakan kamus elektronik yang memiliki fitur handwriting recognition dan voice speech, dengan mantap aku menapakkan kaki di jalanan kota. Hmm. Sebaiknya aku memulai dari mana, ya? Peta gratis yang kuambil tadi tidak banyak membantu. Terlalu global. Dan jangankan membaca peta yang penuh dengan huruf kanji, membaca peta Jakarta pun aku sering mengalami kesulitan.
    Hal pertama yang kemudian terlintas di benakku adalah kouban. Pos polisi. Bukankah di manga dan anime selalu digambarkan jika polisi Jepang ramah dan sopan serta suka membantu? Siapa tahu nanti malah diantar sampai ke tujuan. Gratis lagi. Aku tertawa dalam hati. Mataku pun bergerak mencari-cari keberadaan kouban tersebut.
    Kring! Kring!
    Seorang pria Jepang dengan senyum ramah menghentikan sepedanya persis di sampingku. Tubuhnya yang agak berisi dengan wajah imut membuatnya terlihat lucu namun menyenangkan. Kutaksir usianya kira-kira sebaya denganku.
    "Are you new here? From China?" tanyanya, dengan bahasa Inggris yang fasih.
    Pipiku seketika bersemu merah. Gelagatku pastilah terbaca jelas. Ketahuan, deh, kalau aku pendatang di tempat ini.
    "No, no…." Aku menggeleng. "I'm from Indonesia."
    "Ah. Indonesia." Ia manggut-manggut. "Bali, right?"
    Aku tersenyum kecut. Kenapa orang luar negeri, jika disebut tentang Indonesia  pikiran mereka akan langsung melayang ke Bali atau Yogyakarta? Tapi memang tak bisa dipungkiri, Bali selalu berhasil memberi kesan yang mendalam bagi  tiap orang yang mengunjunginya. Itu juga alasan kenapa sekarang aku berada di sini.
    "Mmm. Maaf. Apakah Anda tahu alamat ini?" tanyaku tanpa basa-basi dengan bahasa Inggris yang terbata-bata karena gugup, sembari menyerahkan secarik kertas padanya.
    Ia pun membaca kertas berisikan sebuah alamat yang ditulis dengan huruf Latin itu. Keningnya tiba-tiba berkerut. Aduh. Kenapa, ya?
    "Maaf. Ini...?" tanyanya seperti menyelidik.
    "Alamat seorang teman. Aku datang kemari untuk mengunjunginya."
    "Ah, aku mengerti." Ia menganggukkan kepala. Ekspresinya kembali bersahabat. "Aku tahu tempatnya. Naiklah ke atas sepeda. Aku antar sampai ke sana."
    Gantian kini aku yang mengerutkan kening. Apakah benar-benar aman untuk bepergian dengan seorang asing di tempat yang asing pula? Di Jepang yang terkenal keamanannya sekalipun? Ataukah sebaiknya aku meninggalkannya dan meminta bantuan polisi saja?
Pria itu tertawa. Senyumnya benar-benar manis. Rasanya tak mungkin ia orang jahat.
    "Jangan takut. Aku bukan orang jahat," ucapnya, seperti mampu membaca pikiranku.                "Ah. Maafkan ketidaksopananku. Perkenalkan, namaku Nishida Hideaki. Panggil saja Hideaki. Aku penduduk asli sini. Senang berkenalan denganmu."
    Ia membungkuk. Spontan aku pun mengikuti gerak tubuhnya.
    "Aku Erika. Senang berkenalan denganmu juga."
    "Nah. Kita sekarang sudah saling kenal. Mari, naik ke atas sepeda."
    Kini aku tak ragu lagi. Dengan riang aku pun naik ke boncengan. Setelah aku telah duduk dengan mantap, menyamping karena mengenakan rok, Hideaki lalu mengayuh sepedanya. Sekali lagi angin Kanazawa yang lembut membelaiku. Hanya, kali ini terpaannya lebih kencang, sekencang debaran jantungku.

    HIDEAKI bercerita tentang banyak hal, menciptakan perjalanan dengan sepeda menjadi tidak melelahkan, sebaliknya begitu menyenangkan. Kanazawa, seperti yang kubaca sebelumnya di berbagai brosur, sungguh perpaduan antara kota modern bercampur tradisional. Banyak sekali bangunan  kuno yang masih terawat dengan baik di sini.
    "Bahasa Inggris-mu bagus sekali, Hideaki," ujarku memuji.
    Hideaki tersenyum tipis.
    "Kami di Kanazawa sedang berbenah agar kota kami bisa menjadi tempat tujuan wisata, bukan hanya dikunjungi oleh turis domestik tetapi juga internasional. Karenanya, bahasa Inggris menjadi penting di sini."
    "Oh, ya?"
    "Itu adalah harapanku. Bahasa Inggris sesungguhnya sudah seperti bahasa kedua bagiku, karena kebetulan aku seorang guru bahasa Inggris. Tetapi, saat ini aku hanya mengajar les privat saja. Lagi pula, tak sopan membuat seorang tamu dari jauh harus sebentar-sebentar membuka buku."
    Ya, ampun! Aku tidak sadar kalau sampai sekarang aku masih memegang kamus elektronik, buku panduan percakapan untuk turis, dan peta gratis yang kuambil di stasiun tadi. Dengan malu cepat-cepat kujejalkan semuanya ke dalam tasku. Hideaki tertawa.
    "Apakah kau buru-buru?"
    "Apa?"
    "Apakah kau hendak cepat-cepat sampai ke alamat itu?"
    "Mmm... tidak juga."
    "Kalau begitu akan kukayuh sepedaku lebih pelan. Alamat yang kau cari terletak tidak jauh dari Asanogawa. Sungai Asano. Aku ingin memperlihatkan salah satu sungai kebanggaan penduduk Kanazawa kepadamu."
    Hideaki membelokkan sepedanya. Tak lama, telingaku pun mendengar suara gemercik air, dan mataku lantas menangkap pemandangan menakjubkan berupa air sungai yang tenang dan jernih. Begitu jernih, dasar sungainya sampai kelihatan. Kilau matahari yang terpantul di air serupa kemilau ribuan berlian. Hideaki meminggirkan sepedanya. Aku turun dan menghampiri pinggiran sungai. Wangi kesegaran air dan harum rumput liar seketika memanjakan hidungku.
    "Indah sekali. Sangat berbeda dengan sungai di kotaku yang hitam dan bau."
    "Sungai-sungai di Jepang pun pernah sangat kotor dan bau," jelas Hideaki. "Memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk mengembalikan kemurniannya seperti semula. Jika tidak ada kesadaran sendiri dari masyarakat untuk menjaga sungai yang memberi mereka kehidupan, maka tidak akan pernah ada perubahan."
    Aku mengangguk membenarkan ucapannya. Kami saling tak bersuara untuk beberapa waktu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
    "Kau sudah makan?" tanya Hideaki. "Aku tahu warung ramen yang enak di sekitar sini. Atau kau mau berkeliling dulu? Ada banyak sekali tempat untuk dikunjungi di Kanazawa. Kuil, taman, museum, teater, pusat kerajinan tangan. Tinggal pilih yang mana yang hendak kau lihat lebih dulu. Aku akan dengan senang hati mengantarmu."
    Aku menggeleng.
    "Tidak. Terima kasih. Aku ingin pergi ke alamat tersebut."
    Hideaki menghela napas.
    "Baiklah. Ayo, naik ke atas sepeda."
    Aku merasakan ada keberatan pada nada suaranya. Tapi, kukira itu bukanlah apa-apa sehingga aku mengabaikannya.

    HIDEAKI membawaku meninggalkan bagian modern kota, memasuki dunia serupa lorong waktu. Jalan-jalan yang berkelak-kelok dan kecil, yang lebarnya hanya cukup untuk satu mobil, diapit rumah-rumah tradisional yang terbuat dari kayu, mengingatkanku pada masa kecilku dulu.
    "Seperti Glodok," ujarku memecah keheningan.
    "Gurodoku?"
    Aku tertawa. Bahasa Jepang memang tidak mengenal huruf L, sehingga pengucapan Hideaki terasa janggal di telingaku. Ia pun pasti terselip lidah untuk mengucapkannya.
    "Bagian dari kota tua di Jakarta. Sewaktu kecil aku tinggal di sana. Sama seperti di sini, masih banyak bangunan kuno, peninggalan zaman kolonial Belanda."
    "Begitu. Kapan-kapan aku harus ke sana melihatnya."
    "Aku akan menjadi pemandumu." Aku tersenyum.
    Tak lama, kami sampai di depan sebuah rumah di dalam sebuah gang yang sempit. Namun, penataan yang apik membuat lingkungan sekitarnya tidak terkesan sumpek. Aku masih tidak beranjak dari dudukku di boncengan sepeda. Dengan gamang aku menatap rumah tersebut.
    "Jika kau tidak yakin, kita pergi sekarang," ujar Hideaki pelan, nyaris berbisik.
    "Kau tahu?" aku menatap tajam Hideaki.
    "Aku hanya menebak." Ia menggeleng. "Tetapi aku harap tebakanku salah."
    “Jelaskan padaku.”
    "Aoyama Yuuji. Laki-laki yang hendak kau temui, bukan?"
    Aku mengangguk.
    Hideaki menghela napas.
    "Tiga tahun yang lalu, aku mengantar seorang wanita dari Tokyo kemari. Ia datang dengan kereta, dan kami bertemu persis di tempat kau berdiri tadi. Ia menjalin hubungan jarak jauh dengan Yuuji. Tokyo dan Kanazawa sebetulnya cukup dekat, tetapi mereka jarang bertemu. Wanita itu sengaja datang tanpa memberi tahu lebih dulu untuk memberinya kejutan."
    "Tetapi," Hideaki melanjutkan. "Yuuji sudah punya kekasih lain, dan ketahuan. Kurasa selanjutnya tak perlu kuceritakan lagi. Wanita itu langsung pulang ke Tokyo hari itu juga."
    Ingatanku melayang kembali ke kejadian dua tahun yang lalu, ketika aku berjumpa dengan seorang pria Jepang saat liburan di Bali. Wajahnya yang tampan sepintas mirip aktor Takashi Sorimachi. Pagi tak sengaja bersenggolan di Pantai Kuta, siang saling terantuk saat berbarengan hendak berebut taksi, dan malam menyadari bahwa kami ternyata menginap di hotel yang sama. Kebetulan yang sangat aneh. Peristiwa yang hanya bisa terjadi di film, tetapi terjadi padaku.
    Hanya dalam hitungan hari, kami lalu menjadi sepasang kekasih. Dan ketika kami telah kembali ke rumah masing-masing, kami masih tetap melanjutkan hubungan di dunia maya. Namun, hubungan jarak jauh memang lebih rapuh. Chatting dan e-mail yang belakangan kukirim, meski selalu dijawab dan dibalas, memiliki irama yang tidak berapi-api seperti di awal. Sampai akhirnya, kenyataan yang kutakuti itu datang melalui e-mail.
    "Yuuji akan menikah," ujar Hideaki dengan nada muram.
    Aku tersenyum tipis.
    "Ya. Aku tahu."
    "Kau tahu?"
    Aku mengangguk.
    "Skenarionya sama seperti wanita yang kau ceritakan itu, Hideaki. Aku menjalin hubungan jarak jauh dengan Yuuji, lalu aku datang tanpa pemberitahuan lebih dulu untuk memberinya kejutan. Namun, ada yang berbeda. Jika wanita itu datang dengan masih berstatus sebagai kekasih Yuuji, sedangkan aku, telah putus darinya.”
          “Aku datang untuk melihat Yuuji terakhir kalinya sebelum ia menikah." Aku tertawa sedih. "Sebab aku tak yakin aku akan sanggup melihatnya dengan pakaian pengantin. Jadi kupikir, lebih baik aku datang sekarang saja, meskipun sebenarnya ia mengundangku untuk datang ke pernikahannya. Terkadang aku merasa aneh dengan orang itu. Sebab, meskipun kami telah putus, ia terus memaksaku datang, bahkan sampai berjanji akan membiayai seluruh biaya perjalanan dan penginapanku di Jepang."
    "Tapi, mungkin  lebih baik aku pulang saja.” Aku membatalkan niatku untuk mengetuk pintu rumah di hadapanku. “Kedatanganku hanya akan jadi pengganggu.”
    "Kau akan ke mana?"
    "Hmm… belum tahu, karena aku datang ke Kanazawa pun tanpa rencana. Kau tahu di mana penginapan yang murah, Hideaki? Uangku terbatas, nih." Aku tersenyum, malu-malu.
    "Mengapa tidak menginap di rumahku saja? Ibuku akan senang sekali. Beliau tidak punya anak perempuan,” kata Hideaki, tertawa.
    Aku terbengong.

    Awan putih menyelimuti langit biru saat aku berdiri di depan Tsuzumi-mon, gerbang pertamaku untuk pulang ke tanah air. Meski aku telah memperpanjang cutiku dari tiga hari menjadi lima, rasanya tidak akan pernah ada kata cukup. Aku menoleh pada Hideaki. Hideaki tersenyum. Aku membalas senyumnya. Aku percaya tak ada yang namanya kebetulan. Jika aku tak pernah bertemu dengan Yuuji, tak akan ada Kanazawa, tak akan ada Hideaki.
    Entah kapan aku akan bisa kembali kemari. Namun, aku tak akan pernah melupakan lembutnya semilir angin Kanazawa yang telah membelai hidupku.(f)

******Hendy Kamal*****



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?