Fiction
Ambisi Berbisa [3]

23 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Bukan hanya Andre yang mencurigai Lisa. Saluran desas-desus kantor terus lembur dua puluh empat jam penuh. Semua berbisik dan berspekulasi mengenai kedekatan Lisa dengan atasannya. Mengenai alasan sesungguhnya di balik promosi Lisa menggantikan Ignatius, kemudian menggantikan atasan Ignatius, dan akhirnya menjadi tangan kanan Reza.
Tapi, tentu saja semua hanya berani menduga-duga. Siapa, sih, yang berani terang-terangan  menuduh presdir mereka berselingkuh? Tidak ada yang bersedia kehilangan mata pencaharian mereka.

Hanya Andre yang, akhirnya, setelah kehilangan kesabaran, memutuskan bahwa ia harus mengonfrontasi istrinya. Dan, Lisa tidak mengelak. Ia hanya mengangguk dengan tenang ketika Andre dengan gusar membanting foto-fotonya berdua dengan Reza, hasil jepretan seorang kawan fotografer yang diminta Andre untuk membuntuti istrinya. Lisa sama sekali tidak membela diri. Foto demi foto, tuduhan demi tuduhan, teriakan demi teriakan, semua dihadapinya tanpa berkedip. Semua permohonan Andre agar Lisa mau mencoba memperbaiki pernikahan mereka, tidak digubris. Jawabannya pun sangat singkat  ketika Andre kehabisan akal menghadapi istrinya, bertanya mengapa Lisa mengambil pilihan itu, sampai bersedia mengorbankan perkawinannya, mengorbankan keluarganya.

“Karena Reza bisa memberiku apa yang kamu tidak bisa berikan.”
“Apa?! Apa lagi yang kamu mau, Lis?!” teriak Andre, hampir putus asa.
“Uang. Status. Kemudahan. Kehormatan.”
Andre terenyak, bagaikan baru menerima tamparan keras. Pasangan suami-istri itu diam selama beberapa saat, atmosfer di sekeliling mereka sarat dengan kesedihan, keputusasaan, dan kemarahan.
“Jadi apa mau kamu sekarang?” bisik Andre parau, meskipun ia sudah tahu apa jawaban istrinya.
“Cerai, Ndre. Aku minta cerai.”

**********
Lisa melirik jam tangannya --seuntai Tag Heuer yang elegan, hadiah dari Reza sewaktu ulang tahunnya tiga bulan yang lalu– dan bergegas berdiri menuju kamar kecil setelah menyambar tas peralatan kosmetiknya. Pukul sebelas kurang sepuluh. Sebentar lagi Andre sampai. Walaupun ia sudah akan bercerai dari suaminya, bukan berarti ia tidak ingin kelihatan cantik di depan pria itu, toh?

Tepat pukul sebelas, seseorang mengetuk pintunya.
“Permisi, Bu Lisa.” Wajah sekretarisnya penuh rasa ingin tahu. “Ada Pak Andre sedang menunggu di sini.”
“Langsung suruh masuk saja, An.” Lisa melambaikan tangannya.
Sosok tegap melangkah melewati Anna, membuat hati Lisa sedikit berdebar lebih cepat.  Andre memang tidak setampan atau sekaya Reza, tetapi kalau kedua pria itu harus bertanding gulat misalnya, Andre pasti akan menang dengan mudah, tanpa harus meneteskan sebutir keringat pun. Salah satu hal yang ia kehilangan dari hubungannya dengan Andre adalah perasaan aman dan terlindungi saat berada di pelukan pria itu.
Lisa mengusir jauh-jauh pikiran itu dari otaknya. Ini yang sudah kamu pilih, Lisa, omelnya dalam hati.

“Silakan duduk, Ndre.” Lisa mengamati calon mantan suaminya itu, “Kamu masih kelihatan sama saja.”

Tawa hambar dan tatapan Andre –apakah itu tatapan kebencian, kekesalan, atau kesedihan? –membuat Lisa sontak terdiam.

“Kita langsung saja, Lisa. Aku tidak punya banyak waktu. Surat gugatan cerai sudah didaftarkan di pengadilan. Nanti kamu juga akan terima satu berkasnya. Tinggal tunggu surat panggilan untuk datang sidang.”

Ia mengeluarkan setumpuk kertas dari map transparan yang dipegangnya. “Ini surat untuk mentransfer hak kepemilikan rumah di Kelapa Gading. Seperti yang kita sudah setujui, rumah itu akan ditransfer ke namaku, dan nanti aku akan membayar bagianmu dengan cara mencicil. Lalu ini ada formulir untuk menutup rekening bank bersama kita. Tolong kamu tulis juga nomor rekening barumu, nanti saldonya akan ditransfer langsung ke situ. Bagian yang kamu harus tanda tangani sudah ditandai oleh pengacaraku. Kamu baca dulu yang teliti.” 

Andre berhenti berbicara. Matanya terangkat, menatap Lisa, dan kali ini ia bisa membaca dengan jelas apa yang tersinar di bola mata pria itu, kepedihan.

“Lisa. Aku akan tanya sekali lagi, untuk terakhir kalinya. Walaupun aku tahu jawabanmu akan tetap sama,” Andre menarik napas panjang. “Kamu yakin, Lis? Kamu yakin kamu mau mengorbankan semua yang sudah kita capai. Semua yang sudah kita bangun bersama... untuk … untuk pria itu?” Nada suara Andre penuh kepahitan. “Kamu akan kehilangan segalanya, Lis. Kehilangan Meisy dan Martin. Apa kamu tidak kasihan, anak-anakmu akan tumbuh besar tanpa ibunya? Apa kamu tidak akan menyesal?”

Perlahan, namun mantap, Lisa menggelengkan kepalanya. “Aku yakin, Ndre. Dan tidak ada yang perlu disesali.” Ia tersenyum. “Anggap saja sepuluh tahun yang kita lalui bersama itu sebagai babak lama hidup kita. Sekarang waktunya untuk memulai babak yang baru, lembaran baru.”
Andre tidak menjawab, matanya mempelajari Lisa dengan tajam, seolah ingin menghafal dan mematenkan wajah wanita itu di otaknya.

“Aku yakin, kamu pasti akan ketemu wanita lain untuk menggantikan tempatku,” lanjut Lisa.

“Seseorang yang lebih pantas menjadi istrimu daripada aku. Yang punya cita-cita dan pandangan hidup yang sama denganmu. Seseorang yang akan menyayangi Meisy dan Martin seperti anak kandungnya sendiri.”

Suara Lisa sedikit tercekat di tenggorokannya, membayangkan Andre dengan wanita lain. Ingat, ini pilihanmu, Lisa! Fokus! “Dan, lagi pula, tempatku tinggal sekarang juga tidak begitu jauh dari rumahmu. Jadi,  kapan pun aku mau bertemu Meisy dan Martin, gampang saja, ‘kan?”

Tawa sinis pria itu memenuhi ruangan. “Bukan masalah kamu mau bertemu mereka atau tidak, Lisa. Yang harus kamu pertanyakan itu, apakah mereka mau bertemu kamu?”

Belum sempat Lisa menjawab, Andre sudah meneruskan perkataannya. “Oke, kalau kamu sudah yakin. Kalau begitu, tolong tanda tangan.”

Andre duduk dengan diam, tidak mengucapkan satu patah kata pun saat Lisa membubuhkan tanda tangannya di setiap lembar berkas itu. Begitu Lisa selesai,  Andre langsung berdiri dan mengulurkan tangannya, hendak menjabat tangan Lisa.

“Astaga, formal amat, sih, Ndre,” ucap Lisa, ringan. “Kayak sama orang lain saja.”

Ia berjalan mengelilingi mejanya dan mengalungkan kedua lengannya ke leher Andre. Dan merasakan hatinya kembali berdebar keras saat wangi familiar parfum Fahrenheit memenuhi rongga hidungnya, dan sepasang lengan kokoh memeluknya kembali. Ia pernah minta Reza untuk mengganti parfumnya, menggunakan Fahrenheit, tetapi Reza menolak, tidak mau Monik curiga.
Andrelah yang pertama melepaskan diri dari pelukan Lisa. “Aku jalan dulu, Lis. Jaga dirimu baik-baik.”

“Kamu juga, Ndre.” Lisa melangkah keluar, mengikuti pria itu, ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Oh ya, Martin sudah mendingan?”
“Lihat saja sendiri.” Senyuman Andre merekah, dan Lisa mengikuti pandangan matanya. Anna, sekretarisnya, dan Lulu, sekretaris Reza, sedang berdiri mengerumuni seorang suster yang sedang menggendong seorang anak kecil.
“Martin!” Lisa berseru senang. Ia bergegas menghampiri mereka, tangannya terulur, hendak menggendong anak itu. Tetapi, bukannya menyambut gembira uluran tangan ibunya, Martin malah meronta, merengek, dan mencoba menggapai tangan Andre. Menjauhi Lisa.
“Sini, Sayang.” Andre meraih anak itu dan menggendongnya, menenangkannya, sementara Lisa berdiri terpaku, mukanya merah padam. Andre mengangkat kepala dan mengangguk singkat ke arah Lisa. “Yuk, Lis.”

Lisa hanya berdiri diam, memandangi punggung Andre yang berjalan menjauh.

**********
“Tadi siang Andre datang.”
Lisa mengangkat kepalanya sedikit, menatap Reza dan tersenyum menggoda. “Itu pertanyaan atau pernyataan?” Ia menggeliat sedikit, sengaja bergerak sedemikian rupa sehingga tubuh mereka, hanya berbalutkan selimut tipis, saling membelai. “Emang kenapa, kamu cemburu?”
Reza mengerang dan merengkuh Lisa ke dalam pelukannya lebih erat, membuat senyum Lisa  makin melebar. “Mau apa dia?”
“Mau mohon biar aku balik,” sahut Lisa, sambil memasang ekspresi muka polos. Ia terbahak ketika Reza seketika menoleh dan menatap Lisa tajam. “Bercanda, Sayang. Tadi kami ngeberesin masalah transfer aset gono-gini.” Nada Lisa melunak. “Sekalian Andre membawa Martin untuk ketemu aku. Si kecil lagi sakit.” Ia tidak mengatakan bahwa anaknya, darah dagingnya sendiri, menolak untuk digendongnya. Seolah-olah Lisa orang asing yang baru ketemu di jalan, bukan ibunya sendiri.

“Hmm,” Reza sudah tidak konsentrasi mendengarkan, tangannya sibuk menggelitik pinggang Lisa. “Kamu suka kangen dengan anak-anakmu nggak, Lis?”
Lisa menampik tangan Reza dengan manja. “Kadang-kadang. Tapi percaya, deh,” tangannya naik membelai lembut pipi Reza, “waktu yang aku habiskan bareng kamu membuatku lupa segalanya, kok.”

“Masa, sih?” Reza mengecup pipi Lisa. “Padahal, anak-anakmu begitu lucu. Si Meisy itu, benar-benar duplikat kamu. Sedangkan Martin.…”
Tanpa bola kristal pun, Lisa sudah tahu, ke mana arah percakapan Reza. “Bukan, Rez,  Martin bukan milik kamu,” potongnya, selembut mungkin. “Kan aku sudah pernah bilang, mata Martin sangat mirip dengan Andre.” Kalimat Lisa terhenti, nama mantan suaminya membuat hatinya terasa agak perih. Buru-buru diinjaknya perasaan tidak enak itu. “Kenapa? Kamu lagi kebayang ingin punya anak sendiri, atau apa?”

Tatapan serius kekasihnya itu membuat mulut Lisa menganga lebar. “Apa? Kamu main-main kan, Rez?” Mata Lisa melotot. “Mana mungkin aku hamil lagi … apalagi setelah seisi kantor tahu aku dan Andre sudah akan bercerai. Bayangkan coba, gosip di kantor bakalan segencar apa. Belum lagi, bagaimana kalau Monik tahu nanti? Apa dia tidak akan curiga?”

Pidato gagap Lisa hanya disambut oleh tawa rendah Reza. “Tenang, Lis. Aku belum segila itu. Tapi boleh kan aku berkhayal? Mungkin nanti, suatu hari, kalau kita sudah tidak perlu menyembunyikan hubungan kita lagi.” Diremasnya tangan Lisa. Tetapi, ia menangkap ada nada sedih di suara pria itu. “Ah, sudah, ah. Kita bicarakan yang lain saja, yang lebih menarik. Oke?”
“Setuju. Daripada berbicara, aku punya usul lain yang lebih bagus,” Lisa membisikkan sesuatu ke telinga Reza. Gelak tawa pria itu membahana di sekeliling kamar, menyejukkan hati Lisa.

**********
“Ada lagi yang masih mau dibahas?” Lisa mengangkat kepalanya, melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Tujuh pasang mata menatapnya kembali, disertai dengan gelengan kepala. “Bagus, kalau begitu semua jelas.” Ditutupnya laptop-nya dan dianggukkannya kepalanya, tanda rapat bubar.  “Good work, everyone. Terima kasih.”

Enam pasang kaki beriringan keluar ruangan. Satu pasang kaki, dan satu pasang mata, tetap diam di kursinya, menatap Lisa dengan sorot mata yang tidak dapat dibaca. Lisa memusatkan perhatiannya ke berkas-berkas kertas di depannya, berpura-pura tidak tahu bahwa pria itu masih duduk di ujung meja, menunggunya berbicara.   

Sepuluh menit kemudian, ia memutuskan bahwa kesunyian semata tidak akan cukup ampuh untuk mengusir parasit sialan ini keluar ruangannya. Ia butuh cara lain yang lebih drastis.
“Eh, Anto!” seru Lisa kaget. “Saya tidak tahu kamu masih berada di situ. Kok, tidak bilang apa-apa dari tadi? Kenapa? Ada yang mau kamu bicarakan dengan saya?”
“Kabar itu benar, Lis?” Anto tidak merasa perlu berbasa-basi. “Ada kabar santer yang sedang beredar kencang di kantor. Dari sumber yang tepercaya, Katanya, kamu sudah resmi cerai dengan
Andre. Benar atau tidak?”

Darah Lisa mulai mendidih. Lancang benar orang ini!
“Memang kenapa?” sahut Lisa, dagunya terangkat angkuh. “Cerai atau tidak, kawin atau tidak, kumpul kebo atau tidak, terserah aku. Itu antara aku dan Andre. Apa kepentingan kamu?”
“Ayolah, Lis. Benar atau tidak?” desak Anto. “Kan aku anak buahmu, Lis. Masa  kalau ada klien yang bertanya ke aku, terus aku tidak bisa menjawab? Nanti disangka perusahaan kita tidak ada komunikasi, lho.”

“Alasan saja kau.” Lisa tersenyum. Ia mengangkat bahu. “Betul, To. Tepatnya, sebentar lagi kami akan resmi cerai. Nah, sudah kujawab kan  pertanyaanmu. Puas? Ada lagi yang kamu ingin tahu? Warna favoritku, mungkin? Makanan kesukaanku?”
“Kenapa?” Anto berdiri, mengelilingi meja meeting, menghampiri Lisa. “Karena Reza? Karena kariermu? Kamu tidak perlu bohong, Lisa. Semua orang di kantor ini, mulai dari top management sampai OB, tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari hubungan kamu dengan si bos.” Anto menyeringai. “Kalau kamu berbohong, berarti sama saja dengan menghina tingkat intelektualku.”
“Itu hal pribadi. Dan aku ulangi lagi, sama sekali bukan urusanmu.” Lisa mengalihkan perhatiannya kembali ke berkas dokumen di hadapannya. “Kalau tidak ada lagi yang kamu mau bicarakan sehubungan dengan rapat barusan, sudah dulu, To. Masih banyak yang harus aku kerjakan.”

Lisa baru bisa mengembuskan napas lega ketika didengarnya bunyi pintu tertutup. Perasaannya agak tidak enak setelah dicecar Anto barusan. Tapi, ah, sebodo amat. Ini hidupnya, toh? Peduli setan dengan orang-orang yang ingin tahu itu. Ia tidak perlu memikirkan ataupun menggubris mereka. 

**********
Sudah hampir tiga minggu berlalu setelah kedatangan Andre dan Martin ke kantor. Surat panggilan pengadilan sudah diterima, tapi sampai detik ini, Lisa tidak pernah mendengar kabar apa pun dari mantan suaminya itu, maupun anak-anaknya. Ia pernah mencoba mengangkat telepon untuk menghubungi anak-anaknya, tetapi sekali lagi, ia memutuskan lebih baik ia tidak usah menelepon mereka sama sekali.

Untuk apa? Daripada menelepon dan sakit hati karena mereka tidak tertarik untuk berbicara dengannya.

Ini keputusanmu, Lisa. Ingat itu! Suara kecil itu menguatkan kembali resolusinya yang hampir runtuh. Ibunya selalu bilang, bahwa kehidupan itu penuh dengan segala jenis pilihan. Pilihan yang baik, pilihan yang buruk. Apa pun yang kita pilih di masa sekarang, menentukan jalan hidup yang akan kita lalui di masa depan.

Inilah yang ia sudah pilih. Reza dan kariernya. Andre, Meisy, dan Martin hanyalah bagian dari babak lama yang sudah ditutupnya, yang sudah dikuburnya dalam-dalam, tidak perlu diingat-ingat lagi. Yang penting sekarang, yang harus ia pikirkan adalah masa depannya sendiri.
Masa depannya dan Reza. Masa depan kariernya, dan jabatannya.

Sebuah ketukan mengganggu angan-angannya. Rencana-rencana besarnya. Tapi, tidak seperti biasa, sebelum Lisa sempat mengizinkan si pengetuk untuk masuk, pintu  terbuka dan wajah Anna menyembul di ambang pintu. Lisa mengangkat kepala. Entah kenapa, tiba-tiba ia menjadi jengkel. Sejak kapan sekretarisnya itu kurang ajar begini? Apakah ada yang sebegitu penting dan mendesak, sampai-sampai ia tidak bisa menunggu barang sepuluh detik saja?
Dilampiaskannya kekesalan itu kepada Anna. “Kenapa kamu langsung main buka pintu saja? Saya belum bilang kamu boleh masuk. Bagaimana kalau kamu mengganggu pas saya sedang berbicara di telepon, dengan klien yang penting?”

“Bu Lisa,” bisik Anna, wajahnya pucat pasi. “Ada Bu Monik di ruangan Pak Reza. Ibu dipanggil ke sana, sekarang.”

Deg! Ekspresi ketakutan sekretarisnya tiba-tiba membuat jantung Lisa mulai berdebar keras. Ia berusaha memasang tampang tetap tenang. “Oke, saya ke sana sekarang. Apakah Bu Monik dan Pak Reza bilang, mau diskusi soal apa? Mengenai klien yang mana?”
Anna hanya menggelengkan kepalanya, tangannya bermain-main gugup dengan lengan blus tangan panjangnya. “Tidak bilang, Bu. Saya cuma diminta untuk memanggil Ibu, sesegera mungkin.”



Penulis: Cynthia Marceline



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?