“Bu Lisa, telepon dari Mr Mackintosh di line satu,” suara renyah dan merdu memenuhi ruangan bercat kuning muda itu. Dengan sigap, Lisa Kartawidjaja menyambar gagang telepon yang terletak di samping kirinya.
“Sean! Apa kabar? Ada yang bisa kami bantu?”
Sebagai general manager di Widjojo Group, salah satu tugas Lisa adalah meladeni, menenangkan, dan memenangkan hati klien mereka. Klien yang ramah, klien yang genit, klien yang paling banyak tuntutan pun, Lisa tidak gentar menghadapi mereka. Malahan, makin sulit klien yang harus dihadapinya, Lisa makin bersemangat dan tertantang.
“Oke. Saya akan segera mengirim sekretaris untuk mengantar dokumen-dokumen yang kamu butuhkan. Jangan segan telepon saya kalau ada yang belum jelas, ya. Thanks, Sean!”
Lisa meletakkan gagang telepon sambil tersenyum lebar. Satu lagi klien besar yang berhasil ia rebut dari kompetitor mereka: produsen breakfast bar dari Australia. Sean Mackintosh adalah owner sekaligus CEO perusahaan tersebut, dan sudah hampir enam bulan Lisa mendekati Sean, mencoba membujuk mereka untuk menunjuk Widjojo Group sebagai distributor tunggal produk mereka di Indonesia.
Usahanya tidak sia-sia. Reza pasti akan puas.
Diliriknya jam digital di layar kiri bawah monitor komputernya. Hmm, sudah hampir pukul tiga lagi. Saking sibuknya, hari ini Lisa tidak sempat makan siang. Walhasil, sekarang perutnya demonstrasi, ribut menuntut jatah harian mereka.
Sebuah ketukan pelan di pintu membuatnya mengalihkan perhatiannya dari huru-hara yang sedang berlangsung di perutnya.
“Masuk.”
Oni, salah satu OB kantor mereka, masuk sambil membawa sebuah nampan berisikan berbagai jenis makanan. Air liur Lisa langsung terbit melihatnya.
“Wah, kayak magic aja. Kamu memang benar-benar penyelamat, On!” Lisa bangkit menyambut pria separuh baya itu. Di atas nampan, tertata rapi sebuah piring kecil berisi setengah lusin donat, semangkuk besar chicken & mango salad, dan semangkuk kecil frozen yoghurt. “Tahu saja saya nggak sempat keluar makan siang!”
“Pak Reza yang nyuruh, Bu,” Oni separuh membungkukkan badannya, hormat. “Ibu mau saya bikinkan teh atau kopi?”
Lisa menggeleng, matanya lapar ‘melahap’ segala jenis makanan yang dipamerkan di depannya.
Belum separuh Lisa menyantap salad-nya, ketika terdengar sebuah ketukan lain di pintu. Kali ini, sang pengetuk tidak menunggu dipersilakan masuk oleh sang empunya ruangan. Pintu terbuka dengan keras, dan Anto Manuhutu, Operational Manager Widjojo Group, melangkah masuk dengan percaya diri. Seolah-olah ia baru saja memasuki ruangannya sendiri. Tanpa merasa sungkan bahwa atasannya sedang sibuk berjuang menyumpal mulutnya dengan kepingan-kepingan selada raksasa. Dan, tanpa dipersilakan, ia mengempaskan tubuhnya di kursi tamu di depan meja Lisa.
“Lis, taruhan, kamu pasti belum dengar kabar terbaru.”
“Mau donat, To?” Lisa menyodorkan piring kecil itu kepadanya.
“Gosip yang mana? Tentang agensi Belgian chocolate kita yang mau direbut sama Cokindo?” Ia nyengir lebar ketika mata pria berambut cepak itu membulat, terkejut.
“Jangan ngeremehin aku, To. Bukan cuma sudah dengar, aku sudah mengambil beberapa langkah ke depan. Aku sudah bikin janji untuk ketemu dengan presdir mereka buat dinner nanti malam.” Lisa mengedipkan mata.
Anto menyilangkan kedua tangannya, mengamati Lisa dengan mata terpicing.
“Hebat juga jaringan mata-matamu, Lis. Salut aku. Nggak heran kamu jadi GM.” Kali ini giliran Anto yang mengedipkan mata. “Nggak heran si Reza nggak bisa hidup tanpa anak emasnya.”
Gelak tawa Lisa membahana, memenuhi ruangan. “Heh, coba, ya, hati-hati kalau ngomong! Nasibmu ada di tanganku, tahu nggak? Belum pernah kan, dikasih SP gara-gara memfitnah atasan?”
Senyum tipis Anto seketika menghentikan tawa Lisa. Apakah ia mendeteksi sinisme di senyum pria itu?
“Mana mungkin, sih, hamba berani.” Anto mengulurkan tangan, mengambil donat lagi. “Ada kabar dari Aussie?”
“Sudah,” Lisa mengulum senyumnya. “Mereka sudah setuju pindah agensi produk mereka ke Widjojo. Aku, sih, tak terlalu heran. Rasanya si Sean itu naksir aku, makanya dia mau-mau saja dibujuk buat ninggalin distributor lama mereka.”
Anto menatap Lisa lekat-lekat, membuat yang ditatap jengah. “Sean punya selera tinggi juga ternyata,” kata Anto, sambil mengedipkan mata. “Nggak cuma si Reza yang kepincut sama daya magnetmu, Lis.”
Belum sempat Lisa menjawab, bunyi lembut pesawat telepon memecahkan suasana canggung yang memenuhi ruangan. Lisa melepaskan pandangannya dari mata Anto dan memencet tombol pesawat teleponnya. “Ada apa?”
“Dipanggil Pak Reza ke ruangan direksi, Bu.” Suara merdu sekretaris bosnya itu membuat seringai di muka Anto lebih lebar. “Bapak minta Ibu untuk membawa berkas proposal untuk Mackintosh Foods, update untuk Pacific Dairy, dan mock-up packaging untuk produk baru Sun Fa Noodles.”
“Oke, lima menit lagi, ya.”
Lisa bangkit berdiri sambil mulai membolak-balik tumpukan kertas dan map di mejanya. “Nanti kita lanjut lagi, To. Harus lapor bos dulu, nih.”
“Oke.” Pria itu bangkit berdiri. “Have fun, deh.”
Lisa mengunci pintu ruangannya dan berhenti di meja sekretarisnya sejenak. “Anna, saya dipanggil Pak Reza sebentar. Tolong kamu kirimkan berkas perjanjian untuk Mackintosh Foods ke kantor pusat mereka, ya.”
Mata Lisa tertumbuk pada sepotong frame foto yang terpajang di sebelah monitor komputer. “Itu foto baru, An? Wah, anakmu sekarang sudah besar, ya. Sudah hampir tiga tahun, ya? Lupa saya, siapa namanya? Tara? Atau Sara?”
Pipi sekretarisnya memerah, membuat Lisa merasa sedikit tidak enak hati. Selama hampir tiga tahun wanita itu bekerja untuk Lisa, rasanya baru kali ini ia terpikir untuk berbasa-basi menanyakan keluarga Anna.
“Klara, sudah hampir lima tahun, Bu. Tahun depan masuk kelas satu.”
“Oh, begitu. Cepat, ya.” Lisa terdiam sejenak, sekelumit perasaan perih tiba-tiba mulai menyusup masuk hatinya. “Oke. Kamu boleh pulang duluan, kalau meeting saya lama. Tidak perlu menunggu sampai saya selesai.”
Tanpa menunggu jawaban sekretarisnya, Lisa melangkah pergi. Melihat foto gadis kecil berkepang dua itu, membuatnya teringat pada gadis kecilnya sendiri, Meisy. Dan jagoan kecilnya, Martin. Kapan terakhir ia bertemu mereka? Tiga, empat minggu yang lalu? Itu pun hanya untuk sejam, atau dua jam maksimal. Mereka lebih memilih main games atau didongengi cerita oleh babysitter mereka, daripada menghabiskan waktu bersama dengan Lisa, ibu mereka sendiri. Wanita yang sudah mengandung mereka selama sembilan bulan, dan mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan mereka ke dunia yang kejam ini.
Lisa menghela napas panjang. Yah, toh, itu semua salahnya sendiri. Untuk apa dipikirkan, untuk apa disesali?
Langkahnya terhenti di depan pintu kayu mahogani berukir itu. Ia menganggukkan kepala ke arah Lulu, sekretaris Reza, dan mengetuk pintu.
Penulis: Cynthia Marceline