Fiction
Alissa [1]

28 May 2012



Kami bertemu secara kebetulan pagi itu: saya dan Alissa. Di pintu flat kami yang sempit. Hujan turun rintik-rintik.

“Ow. Shit,” katanya menghela napas.

Saya tertawa dalam hati. Di negeri ini, hujan bisa turun kapan saja, sesuka hati. Bahkan, semenit setelah matahari bersinar terang benderang, ia bisa turun dengan lebatnya. Tanpa tanda-tanda. Saya mulai terbiasa dengan hal itu dan siap menenteng payung yang besar dan bergagang kokoh ke mana pun saya pergi.

“Saya mesti lari lagi ke lantai empat!” keluhnya.

“Anda mau ke mana?”

“Waitrose.”

“Hei. Ayolah. Kita bisa pakai payung ini berdua.”

Ia melongo dan tertawa.

“Kita?”

Tawaran berbagi payung dari orang yang baru Anda kenal, memang jarang terjadi. Saya pun tidak biasa melakukan hal itu. Tapi, berhubung jarak flat kami dan Waitrose hanya lima menit berjalan kaki, dan saya pun sedang menuju ke supermarket itu, apa salahnya?

“Ya. Kenapa tidak.”

“Aha. Terima kasih. Terima kasih.”

Dan kami berjalan bersisian.

“Kita baru kali ini berjumpa, bukan? Kamu penghuni baru di flat?”

“Ya. Ya. Kami baru tinggal di sini lima bulan….”

“Oh, sudah lama juga. Di lantai berapa?”

“Dua.”

“By the way, saya Alissa.”

“Saya Noor.”

Flat kami berlantai empat. Letaknya di timur kota London. Suami saya, Titus, sedang ditempatkan di kota ini untuk jangka waktu dua tahun. Titus seorang arsitek dan sebuah proyek mengundangnya ke sini.

Malam itu saya sedang merebus spaghetti. Dalam kesendirian, lamat-lamat saya dengar lagi bunyi-bunyi itu. Saya sudah mendengarnya beberapa kali. Bunyi yang sama: agak jauh rasanya, tapi cukup jelas gemanya. Sesuatu seperti… hmmm... kursi berderit-derit. Lalu tembok yang ditinju. Lalu orang bercakap-cakap dengan suara keras, cukup jelas iramanya, tapi sulit saya cerna kata-katanya. Saya dan Titus pernah mendiskusikan hal ini. Titus menebak, suara itu di lantai empat.

Hmmm. Lantai Alissa. Ada dua pintu seingat saya di sana. Berarti ada dua unit. Kalau nanti saya bertemu Alissa lagi, akan saya tanya padanya.

Saya bertemu lagi dengan Alissa di pagi hari. Waktu itu saya sedang jogging dan ia berjalan dari arah berlawanan.

“Alissa,” tegur saya dari jarak tiga puluh senti darinya.

“Oh. Eh. Pagi, Noor,” katanya seperti tersadar dari lamunan panjang.

“Hai,” saya tersenyum. “Belanja apa?”"

“Oh…,” dipandangnya plastik yang ia bawa. “Susu. Untuk kopi. Saya selalu minum kopi di pagi hari. Kamu?”

“Saya lebih suka teh daripada kopi. Kapan-kapan kita bisa minum teh sama-sama kalau kamu tidak sibuk.”

Alissa menatap saya. Saya bisa membaca keragu-raguannya. Lalu….

“Saya tidak pernah sibuk.”

“Ayolah, mampir,” kata saya ketika kami tiba di pintu flat. “Temani saya sarapan.”

“Mmm,” ia tersenyum sedikit.

“Ayolah. Saya punya muffin. Punya croissant. Saya bisa buatkan kamu scrambled eggs, kalau mau.…”

“Are you sure?” tanyanya lagi.

Saya mengangguk.

“Saya ambil cookies dan akan segera ke tempatmu. Lantai dua, ya.”

“Ya. Sebelah kanan lift.”

Sejak pagi itu, Alissa sering mampir berkunjung ke tempat saya. Saya sungguh gembira mendapatkan teman baru. Terlebih lagi, kami mempunyai beberapa kegemaran yang serupa. Sama-sama suka memotret. Sama-sama senang masak. Sama-sama membaca cerita detektif.

Hal lain yang membuat saya gembira adalah Alissa punya banyak cerita. Ia sudah berkelana ke mana-mana: India, Nepal, Brazil, Ghana, China, Montreal. Seluruh belahan bumi. Saya selalu terkesima mendengar pengalamannya di masing-masing negeri. Yang paling menakjubkan adalah bagaimana ia memaparkan apa yang ia makan di tiap sisi dunia.

“India. Nomor satu India, Noor. Itu favorit saya.”

“Mereka makan kari, bukan? Dengan santan dan cabai pedas?”

“Hmmm. Itu hanya satu pilihan. Tapi, coba kamu bayangkan nikmatnya memakan roti nan sambil mencelupkannya beberapa kali pada bumbu kari? Dan sedikit daging? Hmmm….” Ia memejamkan mata.

Saya menatapnya tak berkedip. Enak betul roti dan kari itu. Enak betul jadi Alissa.

“Kamu sudah pernah ke mana di dunia ini?” tanyanya.

Rasanya wajah saya merah seketika. London adalah kota pertama yang pernah saya injak, di luar tanah air.

“Saya baru kali ini meninggalkan negeri saya.”

“Ah, ah,” ia tersenyum menggoda. “Bagaimana mungkin?”

“Begitulah. Saya anak sulung. Ayah saya meninggal ketika usia saya tiga tahun. Selebihnya, saya hidup dengan ibu dan adik saya. Saya tak pernah meninggalkan mereka, jika tidak penting sekali. Baru setelah saya menikah dengan Titus.”

“Oh…,” katanya.

Barangkali sulit ia pahami, hubungan antara ‘status saya sebagai anak sulung’ dengan ‘tidak ke luar negeri’. Saya pun bingung menjelaskannya. Tapi, itu sungguh terjadi: keterikatan saya yang teramat besar dengan ibu dan adik-adik saya, membuat saya gelisah kalau mereka tak ada.

“Kamu selalu pergi sendirian, Alissa? Dengan teman? Atau dengan ibu?”

“Dengan teman. Ibu saya meninggal ketika saya remaja. Lima belas-enam belas... sekitar usia itu.

Alissa pun pernah bercerita bahwa ia sudah menjalani berbagai profesi. Guru musik. Juru rawat. Dan terakhir, sebagai penyiar radio. Ia bisa bernyanyi dan bermain piano. Asal tahu saja, itu cita-cita saya sejak taman kanak-kanak. Bernyanyi sambil memainkan piano. Tapi, bakat musik tak ada dalam darah saya. Main piano saya tak sabar. Menyanyi? Mmm, tidak. Suara saya tak lebih merdu dari derit pintu.

“Waktu saya jadi penyiar radio, saya sempat memegang dua jenis musik. Klasik dan jazz. Asal kamu tahu, saya buta musik klasik. Tak bisa membedakan mana Mozart mana Beethoven. Ketika satu lagu selesai terputar, saya bacakan semua komentar tentang Mozart dari artikel di majalah. Lengkap dengan bumbu-bumbu sekadarnya. Lima menit kemudian, ada telepon ke studio, memberi tahu: komposisi tadi karya Beethoven. Malunya!”



Penulis: Susi Hutapea




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?