Fiction
Akhirnya Senja [4]

30 May 2012

<< cerita sebelumnya

Siang itu, hari masih terik. Panasnya menyengat. Matahari perlahan mulai beranjak ke ufuk barat. Terasa pelan. Anak-anak sekolah masih terlihat sedang menuju rumah masing-masing. Dari depan rumah, Fatimah menatap anak-anak sekolah yang tampak jelas sedang berpeluh keringat. Mereka menelusuri jalan gampong yang penuh kerikil tajam.

Jalan gampong tepat berada sebelah barat rumah itu. Sebagian jalan yang menghubungkan dengan gampong di utara sudah dibeton sejak tahun 1988. Beton itu berukuran sekitar 40 sentimeter. Dua sisi sejajar berada di kiri dan kanan jalan. Kalau sebuah mobil, memang pas berjalan di atasnya. Sedangkan di sisi jalan, sudah dipenuhi semak, karena tak dibersihkan dengan meuseuraya, gotong royong.

Jalan dibangun cepat, karena Partai Blau di gampong ini menang pada tahun 1987. Kalau yang menang itu Partai Biru atau Gelap, malah tidak mendapat apa-apa, ketika secara nasional Partai Blau yang menjadi pemenang. Seperti beberapa gampong lain. Saat itu, semua orang seperti harus memilih Partai Blau itu. Kalau tidak, akibat yang akan diterima gampong akan parah.

Gampong yang tak bisa memenangkan Partai Blau, sudah ada kasak-kusuk keamanan. Setiap malam harus ronda dan para orang gampong yang menjadi penjaga sering direndam aparat keamanan di sungai, karena kedapatan sedang lelap. Di gampong-gampong yang memenangkan Partai Blau jarang terjadi seperti itu.

Banyak elite politik yang tidak memikirkan efek yang akan diterima orang gampong. Orang-orang yang sudah berhasil terpilih untuk duduk di dewan, akhirnya lupa kepada pemilih yang tetap morat-marit. Tak ada perubahan ketika ada atau tidak wakil mereka di sana.

Zaman ini, wakil diberi gaji yang besar dengan berbagai fasilitas mewah. Tak terlihat mereka sebagai pelayan, karena mereka selalu harus dilayani dengan baik.

Orang-orang yang vokal waktu berkampanye, sering meninggalkan orang gampong seorang diri, dan tidak ada yang mendampingi, ketika berbagai ’hantu Blau’ datang ke gampong, karena orang gampong tak memilih Partai Blau.

Saat itu, Partai Blau memang partai top. Gampong inilah yang kedapatan salah satu program pembangunan, karena memenangkan Partai Blau. Gampong yang telah melalui berbagai peristiwa pahit. Kini, kepahitan itu kembali datang, dan orang tua-orang tua di sini sudah tidak mau anak-anaknya terus menderita.

Anak-anak mereka yang sudah sekolah sampai ke jenjang sekolah menengah atas, ingin diberi berbagai pilihan oleh orang tuanya. Pada masa lalu ada yang masuk ke perguruan tinggi, ada juga yang menjadi polisi dan tentara, juga yang menjadi pegawai negeri.

Ketika pemberontakan terjadi, ada juga beberapa anak muda yang masuk menjadi tentara pemberontak.

Ketika panas menyengat, rumput-rumput sama sekali tak ber­gerak. Angin siang sedang beristirahat di kaki Bukit Cot Me. Bukit kecil itu berada di ujung selatan persawahan Masjid yang luas. Orang-orang yang baru pulang dari Bukit Tumatang, sibuk mengipas-ngipas diri di serambi rumah.

Dulu, selalu terlihat orang-orang yang sedang menghabiskan siang di bawah meunasah (surau) tinggi. Meunasah panggung. Tempat duduk panggung yang terbuat dari bambu yang tak dibelah di bawah meunasah, dipenuhi orang-orang yang beristirahat. Sebagian saling ngobrol. Duduk bersila. Satu-dua selalu terlihat keluar dari meunasah baru. Mereka baru saja selesai melaksanakan salat zuhur. Di halaman meunasah, tampak beberapa ekor kambing yang sedang merumput.

Meunasah panggung di gampong itu memiliki 20 tiang. Empat tiang utama menopang di masing-masing sisinya. Sehingga, secara keseluruhan berjumlah 16 tiang. Sedangkan empat tiang lagi menahan atap di dua tangga depan, terletak di sebelah barat ujung kanan dan kiri meunasah.

Dua buah tangga meunasah tersebut masing-masing memiliki 19 anak tangga. Antara satu anak tangga dengan yang lain memiliki jarak sekitar 40 sentimeter, dengan kemiringan tangga sekitar 30 derajat.

Meunasah tinggi sudah berusia 70 tahun. Beberapa papan lantai dengan tebal sekitar 5 sentimeter sudah tampak terkelupas. Tampak ukir­an tradisional yang terukir di dinding yang tingginya 45 sentimeter.

Di gampong ini, sudah dibangun sebuah meunasah baru yang permanen. Berpagar indah. Punya dua pintu. Sekelilingnya sudah dibuat tangga dengan sedikit ukiran.

Meunasah itu tidak dirobohkan saat meunasah baru yang permanen sudah dibangun. Jadi, di gampong itu sudah memiliki dua meunasah yang saling berdekatan, yang berada dalam satu pagar.

Tak jauh, di sebelah barat meunasah, ada sebuah sungai yang mengalir. Tidak terlalu besar sungai itu. Sungai itu meliuk-liuk mengikuti alur gampong yang tidak rata. Air sungai sudah cokelat. Sama seperti air sumur Fatimah yang berada di depan rumah, yang di dalamnya mengipas-ngipas akar rumbia.

Hampir tak ditemui bebatuan di pinggir sungai. Sepanjang bantaran terlihat lumpur liat yang menjijikkan.

Melewati 24 April malam itu, masa terasa panjang bagi Fatimah, karena Sabalah tak mengetuk gua sembilan kali. Kamis dini hari itu, Sabalah tak mendekap Fatimah sama sekali. Seperti sudah seminggu ia lakukan, sejak 17 April, saat tamu tak diundang datang ke rumah mereka.

Jantung Fatimah berdegup kencang, gundah-gelisahnya menggunung, ketika beberapa waktu terlewati setelah ayam berkokok tiga kali di ujung gampong, tapi Sabalah tak juga mengetuk gua. Padahal, lengkingan ayam jantan itu sudah terdengar yang ketiga kalinya.

Mungkin, masa itu telah tiba, pikir Fatimah.

“Ah, aku tak boleh berpikir yang macam-macam,” Fatimah ber­usaha menepis berbagai pikiran.

Tiba-tiba ia teringat masa kecil, ketika orang tuanya mengingatkan Fatimah untuk tidak berjalan sendiri, karena di gampong ada halum bili (binatang dalam sebuah legenda) dan gegasi (manusia raksasa yang hidup di hutan) di mana-mana. Mereka sedang meng­hantui gampong.

“Tapi, mungkinkah Cutbang diambil halum bili atau gegasi?” tanya Fatimah, membatin.

Rasanya, malam itu yang datang bukan halum bili atau gegasi, tapi manusia. Ya, manusia! Pikirnya.

Sesekali, Fatimah menoleh ke samping kanan, menatap wajah Samiun dalam kelam. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan tamu-tamu terhadap Sabalah, yang malam itu datang tanpa memberi salam, bila akhirnya mereka mendapatkan Sabalah. Sangat jelas, mereka tidak datang dengan salam sepuluh jari, layaknya orang yang bertamu.

Mereka tak mungkin sebagai halum bili, pikirnya lagi.

Tamu tak diundang di gampong bisa datang kapan saja. Bisa datang siang ataupun malam. Tentu, dengan bentuk yang berbeda. Tapi, halum bili akan datang ketika terik sampai di ubun-ubun, saat tak ada seorang pun yang melihatnya. Cerita orang gampong, orang-orang yang datang sendirian ke sungai akan diterkam, lalu dikunyah-kunyah di kedalaman sungai.

Halum bili menunggu orang gampong di tepi sungai!

Mereka juga tak mungkin sebagai gegasi, pikir Fatimah lagi.

Gegasi itu berbadan besar, berambut tebal, bergigi baja, seperti kapak. Tapi, tamu tak diundang dan tanpa memberi salam malam itu, tak berukuran, seperti yang diceritakan orang gampong.

Gegasi itu juga hanya menunggu orang gampong di tepi hutan!

Ah, aku tak boleh berpkir macam-macam, Fatimah lagi-lagi membatin.

Fajar hampir menyingsing saat mata Fatimah tidak terkatup seperti malam sebelumnya, yang menunggu cutbang-nya mengetuk gua sembilan kali. Lampu templok ruangan tengah tak menebar bayang-bayang. Tak ada gemerisik daun cokelat di samping rumah. Beberapa kali Samiun membolak-balikkan badannya dalam lelap.

Fatimah dengan setia menunggu suaminya pulang ke rumah, lalu suaminya itu akan pergi lagi, setelah mendekapnya kuat-kuat.

“Aku akan pulang ke rumah selalu menemuimu,” kata Sabalah selalu, sebelum meninggalkan Fatimah.

Gumamnya kembali tersentak ketika kokok ayam kembali membahana di gampong. Lalu, subuh akan datang, menunggu fajar mulai menerangi jagat sedikit demi sedikit. Lalu, mentari pagi menebarkan cahayanya ke bumi.

Fatimah bangkit dari ranjang yang sudah tua. Ia menuju timba plastik yang berisi air di sudut dapur. Ia segera berwudu untuk melaksanakan sembahyang subuh. Di atas tikar sembahyang, Fatimah masih sempat menoleh ke kanan, Samiun masih lelap, sebelum akhirnya ia bertakbir.


Penulis: Sulaiman Tripa
Pemenang Ketiga Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?