Fiction
Akhirnya Senja [2]

30 May 2012

<< cerita sebelumnya

Sabalah naik ke rumah menjelang subuh. Saat itu kokok ayam sudah melengking untuk keempat kalinya. Ia naik lewat gua yang dibuka pelan-pelan. Digerakkan tubuhnya sedikit-sedikit sampai bisa tersangkut. Lalu, dengan dua tangannya, mengayunkan tubuhnya sampai ke atas.

“Ini Cutbang (Abang),” bisiknya, pelan. Sangat pelan.

“Ya,” sahut Fatimah.

Sabalah segera memeluknya. Fatimah juga merangkul tubuh yang kurus kering itu.

“Cutbang akan pergi beberapa waktu!” bisik Sabalah.

Fatimah tak berkata apa-apa. Ia hanya mendekap kuat. Tak mengeluarkan air mata. Wanita sudah jarang mengeluarkan air mata untuk suami yang mau pergi. Wanita akan melepaskannya bila kegundahannya datang. Sedang air mata akan menjadi penanda mati. Lagi pula, wanita sedang meneguhkan kesetiaan agar suaminya pulang dengan selamat. Air mata hanya akan menambah beban hidup yang harus dilanjutkan.

“Tapi, saat senja, Cutbang akan berusaha pulang,” bisik Sabalah lagi, meyakinkan Fatimah. Sabalah tak akan berprasangka ketika Fatimah tak mengeluarkan air mata.

Sabalah mendekati anak mereka. Tapi, Fatimah tak melepaskan dekapannya beberapa saat. Fatimah tak berbisik sepatah kata pun, meski sekadar berucap, ”Cutdek (adik) akan merindukan Cutbang.” Dekapannya seolah memberi tahu tentang kerinduannya yang akan membayang di waktu-waktu yang akan datang.

Sabalah menciumi Samiun, ketika tangan Fatimah melepaskannya. Ia mencium pelan di dahi anaknya. Sangat pelan, bahkan kumisnya yang lebat sekalipun tak ditekan, karena takut Samiun akan terbuka matanya.
“Abu (ayah) sayang padamu, Nak!” katanya. “Tapi, Abu harus pergi sebentar. Cuma sebentar. Percayalah, Abu akan kembali dengan cepat!”

Sabalah menatap Fatimah dalam kelam itu. Sabalah saat itu dapat dengan jelas menatap alur muka Fatimah. Dengan tangan kanannya, Sabalah mencoba mengusap wajah Fatimah yang lelah. Jemarinya membelai alur wajah yang sudah keriput itu. Kemudian tangannya yang satu lagi membelai rambut Fatimah yang jarang diberikan sampo.

Fatimah, dalam gelap itu, berusaha meraih tubuh Sabalah. Ia mendekap lagi. Kali ini lama dan air matanya keluar dengan terpaksa. Sabalah merangkul Fatimah dengan kuat. Entah kenapa, malam itu Sabalah mendengar tangis yang tertahan.

“Maafkan Cutbang, karena Cutdek harus menanggung beban ini!” bisik Sabalah.

“Jangan hiraukan air mataku! Tapi, aku takut!” balas Fatimah.

“Cutbang tahu! Maafkan Cutbang. Tapi, Cutbang tak punya kekuatan!”

“Kita tak akan sanggup, Cutbang!”

“Tapi, Cutbang akan pulang. Cutbang akan kembali dengan cepat!”

“Cutdek tahu!”

“Cutbang cinta sama kamu dunia-akhirat!”

“Cutdek tahu!”

“Cutbang berpikir tentang Samiun!”

“Cutdek akan membelai anak kita, Cutbang!”

Sabalah mengusap air mata Fatimah yang menetes di wajahnya beberapa titik, dengan tangan kanannya. Dalam gelap ia berusaha menatap dalam. Ia membelai rambut Fatimah sekali lagi.

“Cutbang akan mengetuk gua sembilan kali! Cutdek bisa menanda ketukan itu, dan yakinilah Cutbang akan datang!”

Dengan pelan, Sabalah melepaskan dekapan Fatimah. Ia menunduk meraih dua papan gua untuk dibuka. Beberapa saat, ia turun pelan-pelan, menginjak kayu bakar yang tersusun tak teratur di bawah rumah. Tak terdengar sedikit pun ranting yang patah akibat injakan Sabalah, di atas kayu yang bertumpuk itu.

Fatimah lalu menutupnya kembali dengan rapat. Ia lalu menelungkup menatap lewat gua kecil yang tetap dibuka. Padahal, di bawah, bayang tubuh itu sungguh tak tampak. Tapi, Fatimah ingin mengantarkan perjalanannya.
Beberapa saat kemudian, Fatimah bangkit, lalu kembali merebahkan tubuhnya di ranjang. Memalingkan wajahnya ke kanan, berusaha menatap wajah Samiun yang sedang terlelap.

Tangannya tak lagi membelai rambut Samiun. Ia sangat takut bila anaknya itu terjaga, lalu melepaskan jeritannya ke udara. Langit akan pecah dan para tetangga akan kembali mengintip lewat celah dinding, dengan pintu rumah mereka yang selalu tertutup rapat, tanpa seorang pun yang akan menanyakan, ”Fatimah, ada apa di rumahmu?”
Fatimah hanya memandangnya. Menatap dalam gelap wajah anaknya. Sampai subuh. Ia sangat menghafal gerakan tubuh itu yang sesekali bolak-balik dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri.

Di bawah, udara senja bertambah menusuk tubuh. Gemerisik dedaunan terdengar pelan oleh angin yang mengipas. Rumah tetangga terasa mati. Tak ada bisikan yang terdengar. Lampu, bah­kan bayang-bayang cahaya pun, dari rumah sekitar, tak ada sama sekali.

Sabalah keluar dengan membawa serta sehelai sarung yang dililit pada tubuhnya. Itu akan digunakan untuk menahan dingin yang selalu datang ketika hari sudah terlalu senja.

Pagi-pagi, setelah sembahyang subuh, Fatimah menyapu halaman depan dari ceceran daun dari pohon cokelat. Ada 34 batang di sekeliling rumahnya yang membuat posisi rumah itu seperti terbungkus pepohonan. Dedaunan yang lebat, memungkinkan orang-orang bersembunyi di baliknya.

Fatimah terus menyapu. Ketika hampir selesai, ia sempat menoleh memerhatikan rumahnya. Ternyata, sudah banyak yang berubah. Beberapa kali Fatimah menyusuri tapak sepatu para tamu yang datang semalam. Tak tampak. Sama sekali tak meninggalkan jejak. Ia bahkan sempat berjalan sampai ke pintu pagar untuk melihat, barangkali ia dapat menemukan bekas tapak sepatu. Tapi, tak ada yang tersisa.

“Mungkinkah ada orang yang datang pagi-pagi untuk menghapusnya?” tanyanya, dalam hati.

Dari pintu pagar, ia menatap rumahnya itu. Rumah panggung dengan tiang yang sudah tua. Tapi, masih kokoh. Tiangnya sebagian sudah berwarna putih. Tidak lagi berwarna cokelat, layaknya warna kayu aslinya. Kaki tiang tampak kehitam-hitaman, karena Sabalah selalu membilas oli bekas di sana, agar rayap tak menggigitnya hingga patah-patah.

Serambi kecil sebelah utara masih bisa digunakan, tempat dulu ia dan Sabalah bercengkerama, sambil menikmati mentari sore yang bersujud ke sela bukit. Beberapa waktu setelah mereka menikah, di serambi itu, Fatimah juga kerap mengeringkan rambutnya setelah dikeramas. Sabalah sering mendekat dan mendekapnya dari belakang, sambil menikmati wewangian rambut Fatimah.

Sabalah kemudian menjadikan serambi sebagai tempat untuk menambal jaringnya yang robek. Sehabis pulang melaut, ada saja peralatan melaut yang rusak. Di sana pula Sabalah memperbaiki alat pancingnya.

Di gampong itu tak semua kapal memakai mesin. Nelayan-nelayan kecil hanya memiliki jalo (kapal berukuran 3 meter dan hanya ada pengayuh). Tak ada mesin. Sabalah menggunakan jalo untuk melaut. Dengan jaring kecil dan kawe rantang (alat pancing bermata kail banyak), ia melabuh hanya sampai tiga mil dari darat. Tidak lebih dari jarak itu.

Ketika pulang, Sabalah membawa pulang beberapa ekor ikan, setelah beberapa lainnya dijual untuk menutupi biaya sehari-hari. Seperti biasa, jalo ditambatkan di alur yang menjulur ke dekat rumah, yang bersambungan dari pintu-pintu tambak penduduk. Alur itu bersambung ke sungai yang mengalir melewati gampong.

Karena jalo bisa ditambat begitu dekat, Sabalah sangat mudah membawa pulang jaring dan alat pancing ke rumah. Semua diperbaiki di serambi rumah sebelah utara.

Ada dua kursi bambu yang sedikit terukir di serambi itu. Sudah tua. Terlihat sudah rapuh dan beberapa bagian tampak sudah diikat dengan tali plastik, karena ikatan dari rotan sudah banyak yang putus. Kursi itu dihadiahkan orang tua Fatimah, ketika mereka baru menikah.

Sementara serambi kecil sebelah barat terdapat sebuah beurandang (lumbung) padi berukuran kecil. Melingkar dari anyaman kulit bambu. Berdiameter satu meter. Tapi, sudah tak berisi. Di bawah beurandang, terletak sebuah kandang ayam kecil yang tidak begitu bersih, dengan tumpukan kayu bakar di kanan-kirinya.

Di antara dua serambi kecil itu, terletak ruangan tengah dan kamar tidur dengan tumpukan kayu bakar di bawahnya. Tinggi tiang hanya satu meter. Sehingga, bila mereka mau ke bawah, harus menunduk dan berjalan dengan pelan, bila tak ingin kepalanya terantuk.

Sebelah utara rumah terdapat kompleks kuburan keluarga. Di sanalah semua kerabat dikuburkan. Mulai dari abusyik (kakek), masyik (nenek), abua (abang dari ayah), mawa (istri abua), cutma (saudara sepupu yang lebih tua), dikuburkan di sana. Kuburan itu tak berhias. Tak berkeramik. Hanya sedikit penanda yang dibuat dari semen dengan dua batu khusus sebagai batu nisan.

Tak ada kuburan yang berhias di sini. Semua biasa saja. Hanya sebagai penanda untuk kuburan si A atau si B. Teungku-teungku (ulama) di sana berbeda pendapat tentang kuburan. Menghias kuburan, ada yang mengatakan makruh hukumnya. Sebagian malah ada yang menganggapnya haram.



Penulis: Sulaiman Tripa
Pemenang Ketiga Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?