Fiction
Akhir Bahagia [1]

3 Jun 2014


“Sudah lama kita tidak bertemu. Kapan, ya, kita terakhir ketemu?”
Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Seketika itu juga jantungku seolah berhenti berdetak sekian detik, kemudian berdegup lebih kencang setelahnya.  Kamu dengan rambut panjangmu yang dicepol rapi ke belakang, mengenakan blus kerut dengan motif polkadot warna biru dan rok di atas lutut warna biru tua berdiri tepat di hadapanku.  Kamu begitu berbeda. Aku atur kembali napasku sambil kucerna lagi pertanyaan yang kau lontarkan tadi.
Kapan terakhir ketemu? Pura-pura lupa. Aku yakin seyakin-yakinnya kamu masih ingat kapan terakhir kali kita bertemu seperti halnya aku tidak akan pernah lupa hari itu.
“Lima tahun yang lalu, saat hujan turun deras sekali seperti barisan tentara pada upacara kemerdekaan, saat guntur bergemuruh seperti genderang mau perang, dan saat kilat menyambar-nyambar seperti blitz tukang foto wisuda.” Aku berusaha mengucapkannya setenang mungkin.
Kamu pun tertawa kecil sebelum akhirnya melanjutkan, “Kamu tidak pernah berubah, Yus. Daya imajinasimu masih tinggi.”
“Ya, tentu saja. Aku masih Yus yang sama….”

LIMA TAHUN LALU, aku begitu bahagia menantikan hari itu: perayaan enam tahun hubungan kami. Mala, begitu aku biasa memanggil namanya. Kami dipertemukan di kelas menulis yang diadakan oleh himpunan kemahasiswaan fakultas. Sejak saat itu kami menjadi dekat, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk mengutarakan perasaanku.
Mala, dia perempuan yang tabah. Enam tahun itu dia begitu setia mendampingiku. Di saat-saat keterpurukanku, dia selalu ada bersamaku. Melihat sosok Mala yang selalu mencuri perhatian siapa saja, semestinya dia bisa pacaran dengan mahasiswa lain yang memiliki banyak kelebihan, tapi dia memilih menjadi kekasihku. Aku bukan pacar yang bisa tiap malam Minggu membawanya ke kafe atau restoran mewah, namun seperti yang kubilang, dia perempuan yang tabah. Dia tidak pernah mengeluh. Dia mau berdingin-dingin karena embusan angin malam duduk di lesehan menikmati wedang ronde ataupun nasi goreng pinggir jalan.
Hari itu selain merayakan hari jadi kami, ada perayaan yang lain. Tujuh tahun kuliah, akhirnya aku lulus juga. Mala menjadi pendamping wisudaku seperti yang dilakukannya enam tahun itu mendampingiku. Tadinya kupikir hampir mustahil. Aku sudah merasa putus asa dan ingin menyerah saja. Bersyukur aku memiliki Mala. Kekasihku itu seperti malaikat penyelamat bagiku. Dia tak bosan-bosannya memberikan semangat padaku dan meyakinkanku bahwa aku bisa menyelesaikan kuliahku. Tak jarang malam-malamnya  menemaniku mengetik skripsi, meskipun paginya dia harus bangun subuh untuk siaran. Mala sudah lulus tiga tahun sebelumnya. Kuliahnya tepat waktu. Kemudian dia bekerja sebagai penyiar sekaligus program director untuk sebuah radio.
Gerimis mulai turun. Kaca di dekat meja tempatku duduk mulai berembun. Mala belum datang. Aku cemas.
“Tunggu sebentar. Acara kantor baru kelar. Aku masih di jalan. Ini nebeng mobil teman, kok. Jadi enggak kehujanan.”
Sebuah SMS darinya. Syukurlah. Dia selalu memberi kabar secara detail. Katanya, agar aku tidak cemas.
Karena sama-sama ada keperluan sebelumnya, kami memutuskan untuk bertemu di restoran saja malam itu. Restoran itu adalah restoran yang biasanya sering kami lihat saja di warung nasi goreng seberang jalan. Dari luar terlihat bagus karena sekelilingnya berupa kaca tembus pandang dengan lampu-lampu yang temaram di dalamnya.
Begitu banyak kebahagiaan yang ingin aku bagikan dengannya malam itu. Sebuah cincin perak dalam tempatnya yang cantik ada di tanganku. Sore sebelumnya aku mengambil cincin pesananku itu di tempat perajinnya. Aku sendiri yang mendesain bentuknya. Ada ukiran nama Mala pada cincin itu. Aku tak sabar menunjukkannya. Hari itu aku mendapatkan honor pertamaku. Seminggu yang lalu cerpen pertamaku terpampang di koran. Ini bukan cerpen yang pertama yang kukirimkan, entah sudah berapa kali, aku sampai lupa menghitungnya.
Hujan  makin deras. Mala belum juga datang. Air hujan membentuk aliran-aliran tak teratur di sisi luar kaca dekat mejaku.  Derasnya hujan membuat alunan musik jazz yang diputar menjadi nyaris tak terdengar. Berkali-kali kulirik jam tanganku. Berkali-kali juga kulihat telepon genggamku, mengharapkan kabar darinya.
Aku lega. Seorang wanita berambut pendek di atas bahu berlari-lari kecil keluar dari mobil menuju pintu restoran menghindari hujan. Mala muncul di pintu dengan kaus hitam bergambar John Lennon yang agak kedodoran, celana jins biru, tas ransel hitam, dan sepatu kets ungunya. Gayanya  tiap hari. Dia paling malas memakai rok karena membuat aktivitasnya terbatas. Padahal, aku sudah bilang agar malam ini dia berdandan lebih cantik dari biasanya karena tempat makan dan perayaannya istimewa.  Tapi, aku tak terlalu mempermasalahkannya. Yang terpenting, Mala sudah datang. Dia cantik dengan penampilan seperti apa pun.
Mala duduk di hadapanku. Dia menyeka rambutnya yang tak pernah lebih panjang dari bahu dengan tangannya. Tak lama, pelayan restoran datang membawakan makanan pesananku.
“Aku enggak bisa, Yus.” Mala menggeleng ketika kusodorkan cincin perak itu padanya.
“Maksudnya?”
“Ini sudah cukup. Enggak bisa diteruskan lagi.”
“Aku enggak ngerti. Maksudnya gimana, Mala?” Aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Aku hanya berharap aku salah mendengar. Atau mungkin dia akan berubah pikiran dan meralat ucapannya.
“Kita selesai….” Tapi, ternyata tidak.
“Kenapa? Kamu tahu kan aku cinta kamu?”
“Cinta saja tidak cukup, Yus. Aku punya kakak perempuan yang sudah menikah. Dan cinta saja tak cukup untuk membeli susu untuk anaknya.”
“Naskah aku segera selesai, Mala. Novel aku akan segera terbit. Aku akan punya penghasilan, untuk membeli susu dan keperluan lain-lain nantinya.”
“Kapan? Kamu selalu bilang seperti itu, naskah hampir selesai, naskah hampir selesai, tapi tak pernah selesai-selesai. Oke, kalaupun naskahmu selesai, apa iya ada penerbit yang menerima? Terus kalau memang diterbitkan apa kamu akan menjamin buku kamu akan ada yang beli? Akan jadi best seller? Apa kamu bisa memastikan punya cukup penghasilan yang bisa diandalkan untuk membangun rumah tangga?”
“Belum pasti, tapi kumohon percayalah padaku. Sekarang aku sedang mencoba peruntungan lain. Kamu tahu kan, hari Minggu kemarin cerpenku akhirnya lolos masuk koran Minggu, semoga akan berlanjut ke cerpen-cerpenku yang lain. Orang-orang akan familiar dengan namaku. Mereka nantinya yang akan membeli novelku.”
“Maaf, Yus. Aku sudah tidak bisa. Selamat tinggal.”
Di meja restoran dengan suasana  yang temaram ini aku melihatnya terakhir kali berlari kecil menghindari hujan yang  makin deras saja menuju mobil temannya yang masih menunggu. Musik jazz yang dimainkan menjadi benar-benar tidak terdengar karena kalah oleh suara jatuhnya hujan. Kilat sesekali menyambar. Guntur bergemuruh membuat kaca di sampingku bergetar.
***
SALAH SATU KARYAWAN toko buku menghampiriku. Dia memberi tahuku,  masih banyak orang yang mengantre untuk sesi penandatanganan buku ini. Kau ambil buku dari dalam tas jinjingmu yang berwarna krem, kemudian kau sodorkan padaku. Kuraih buku itu.
“Untuk siapa? Nurmala Hakim?” Aku bersiap menuliskan namamu. Kamu menggeleng.
“Tuliskan namanya Aldi Prasetya. Suamiku sangat mengagumi tulisan-tulisanmu. Dia penggemar berat novelmu.”
Aku baru saja menandatangani novelku. Novel yang bercerita tentangmu, Mala. Bahkan dalam novel ini pun akhir ceritanya bahagia, happy ending, kamu akan kembali padaku. Kamu benar Mala, aku tidak pernah berubah, aku masih Yus yang sama, Yus yang tukang khayal.(f)

************
Suryawan WP


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?