Fiction
Adam [2]

26 May 2012



Sekadar iseng mau tahu, kulongok isinya. Kertas surat rupanya sudah disobek-sobek menjadi beberapa potong, dan karena iseng juga aku menyusunnya lagi seperti menyusun puzzle. Walaupun surat itu tak mencantumkan nama penulis, tapi aku hafal tulisan tangannya. Surat dari Adam untuk Sally.

Ketika melihat sekretaris Pak Suryo melintas, aku langsung mengejarnya,”Mbak Ida! Pak Suryo masih sibuk nggak?”

“Sudah pulang dari pukul 5 tadi. Memangnya ada janji ketemu?”

“Nggak sih, cuma urusan yang tadi belum beres.”

“Ehm, masalah anak itu ya, siapa namanya? Alan?”

“Adam,” ralatku.

“Sudahlah Bu Agnes, besok lagi saja. Sekarang mendingan pulang, istirahat supaya pikiran jadi jernih lagi. Mau pulang sama-sama? Kebetulan aku bawa mobil,” ajak Mbak Ida yang langsung kusetujui.

Betul juga, lebih baik pulang. Mandi air hangat sambil berendam. Berpikir dengan kepala suntuk begini tidak ada gunanya sama sekali. Besok apa pun yang terjadi, terjadilah.

Mandi air hangat memang manjur untuk menyegarkan pikiran. Ditemani segelas susu coklat, aku menghabiskan waktu di ranjang sambil memejamkan mata. Pikiranku menerawang. Apakah Adam itu menyebalkan? Jawabnya, ya. Apakah dia selalu membuat kekacauan? Ya. Setiap hari? Ehm…tidak juga. Ada hari-hari tertentu anak itu berlaku seperti pertapa, tidak suka diganggu. Apakah dia dibenci semua orang? Ya, termasuk aku. Gara-gara anak itu, karirku terancam. Apakah dia tidak memiliki sesuatu yang bisa membuat orang menyayanginya? Ehm, rasanya tidak ada. Semua dalam diri anak itu memang menyebalkan. Pantas saja, sering tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah. Mana ada orang yang tahan dekat-dekat dengannya? Aku menguap lalu memutuskan untuk mencoba tidur walaupun mataku masih betah terbuka.

Ketika subuh aku terbangun, dan mengingat-ingat apa yang kualami semalam. Mimpi atau bukan, ya? Aku seolah berada di ruang persidangan dengan Adam sebagai tertuduh utama. Pak Suryo memakai jubah hakim dan memegang palu. Sementara aku berdiri kebingungan, harus duduk di mana. Di ruangan itu ada dua meja yang kosong. Yang satu bertuliskan PEMBELA, dan yang satu bertuliskan SAKSI. Anehnya, di meja jaksa berkumpul banyak sekali orang.

Persidangan dimulai dengan cepat. Banyak orang berebut menudingkan jari ke arah tertuduh supaya dipenjara saja. Tertuduh hanya diam, tak bisa membela diri. Sementara para jaksa membacakan tuntutannya, ia hanya menangis. Airmatanya makin lama makin deras, membasahi lantai dan akhirnya memenuhi ruang sidang. Kasihan sekali. Kulihat di sekeliling, tak seorang pun yang membawa saputangan untuk diberikan pada tertuduh agar tak lagi menangis.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, tangan kananku menggenggam sehelai saputangan merah. Dan entah bagaimana juga, tahu-tahu aku menghampiri tertuduh, mengelap mukanya yang basah. Ajaib, airmatanya berhenti. Lantai tidak lagi basah, dan ruangan jadi kering. Ketika palu hakim akan diketuk, suara jam weker mengagetkanku. Saat itulah aku terbangun.

Sambil mandi dan menyiapkan bahan pelajaran untuk hari ini, aku terus sibuk mengartikan mimpi barusan. Kebetulankah? Atau bermakna khusus? Mendadak aku teringat nasib pekerjaanku yang di ujung tanduk, dan hatiku pun menciut.

Hari ini dua muridku tidak masuk kelas, Sally dan Adam. Perasaan bersalah yang makin besar membuatku tidak tenang mengajar. Ditambah lagi dengan kemungkinan aku mendapat sanksi keras karena peristiwa kemarin. Kalau hanya teguran atau peringatan, itu sih masih lebih baik. Tapi kalau aku sampai dipecat?

Setelah anak-anak kelas pagi pulang, aku langsung menghambur ke ruangan Kepala Sekolah dan menemui sekretaris Pak Suryo. “Mbak Ida, Bapak ada?”

“Lagi rapat di Kanwil,” jawab yang ditanya sambil terus mengetik di komputer.

“Pulangnya jam berapa?”

“Ehm..sampai sore rapatnya. Mungkin tidak balik ke sekolah.”

“Oh, terimakasih ya.”

Esok harinya jawaban yang sama kuterima lagi.

“Rapatnya berapa hari sih?”

“Sampai Jumat ini.”

“Pak Suryo tidak menitipkan apa-apa buat saya, Mbak? Surat misalnya?”

“Surat? Nggak tuh..kalau memang penting sekali, telepon saja ke HP.”

“Mbak yakin, tidak ada surat sama sekali yang harus disampaikan kepada saya?”

“Tidak ada, Sayang….”

Tanpa sadar aku menghembuskan napas lega. Tapi kelegaan itu umurnya tak lama. Hari Sabtu, tiga hari setelah kejadian itu, aku dipanggil menghadap Kepala Sekolah. Dalam ruangan aku melihat Pak Suryo sedang menimang-nimang sepucuk surat. Sekuat tenaga aku menahan perasaan.

Jadi, memang ini akhirnya…. Susah payah aku melamar kerja di sini, bukan kondite baik yang aku dapatkan malah surat pemecatan karena sakit perut yang konyol. Tak bisa kubayangkan kata-kata yang tertulis di dalamnya. x

“Menyambung pembicaraan kita tempo hari, tindakan apa yang sudah Anda ambil sehubungan dengan kejadian kemarin?”

“Ehm…saya sudah menghubungi bagian konseling dan guru BP untuk berdiskusi tentang masalah ini, tapi belum tuntas. Saya juga sudah memerintahkan orangtua Adam untuk datang, tapi sampai hari ini mereka tidak menemui saya. Adam sendiri tidak masuk sekolah sejak peristiwa itu, Pak. Saya sudah mencoba menghubungi lewat telepon rumahnya, tapi tidak diangkat.”

“Kalau begitu, langsung saja Anda berikan surat panggilan terakhir ini untuk orangtua Adam, Bu Agnes. Anda antarkan sendiri saja ke rumahnya,” Pak Suryo mengangsurkan surat yang sedari tadi ditimang-timangnya.

“Hah? Jadi…ini….ini surat untuk Adam?” ekspresi kekagetanku tak bisa ditutupi.

“Memang Anda pikir surat apa?” Pak Suryo balik bertanya. Syukur Tuhan, syukur! Aku pikir surat yang diberikannya adalah surat ‘kematianku’.

“Apakah dengan surat ini juga berarti Adam sudah dikeluarkan, Pak?”

“Rapat guru Senin depan akan memutuskan hal itu. Tapi Anda tidak perlu memusingkannya, Anda sendiri sudah sangat jengkel dengan kelakuannya kan?”

Ya, aku memang jengkel dengan kelakuan Adam. Amat sangat jengkel. Kadang kalau emosiku sudah terlalu mendidih, ingin rasanya melumat kepala anak itu dan melihat apa saja isi otaknya. Tapi untuk mengeluarkannya dari sekolah, rasanya aku tidak tega. Kasihan, mungkin itu alasan yang lebih tepat.

Aku merapikan rambut sebelum memencet bel pintu. Dari dalam rumah yang tidak terlalu besar itu terdengar langkah kaki yang diseret. Seraut wajah wanita tua menyembul sedikit dari balik kaca.

”Cari siapa?” tanyanya judes.

“Saya Agnes, guru sekolah Adam. Saya ingin bertemu orangtuanya karena masalah yang Adam alami di sekolah. Saya sudah meminta mereka datang ke sekolah kemarin, tapi orangtua Adam tidak datang. Maaf, Ibu ini…”

“Neneknya,” jawab wanita itu tanpa berniat membuka pintu lebih lebar, apalagi mempersilakan masuk.

“Maaf, kita bisa bicara di dalam? Saya rasa Adam mempunyai masalah yang cukup membutuhkan bantuan,” aku memasang senyum sedikit memohon, berlagak tidak tahu mukanya sudah seasam cuka. Setelah yakin aku tidak bertampang mirip penjual barang keliling, wanita tua itu mau juga melebarkan pintu.

Begitu masuk, suasana sumpek langsung terasa. Rumah itu penuh sesak dengan barang yang ditumpuk begitu saja. Aku mencari-cari potret keluarga di tembok, tapi tak kutemukan.

“Ada perlu apa?” tanya nenek Adam setelah kami duduk berhadapan. Rupanya dia penganut paham tembak langsung.

“Bisa saya bertemu dengan orangtua Adam sekarang?”

“Papanya sedang pergi. Kerja.”

“Oh, mamanya saja kalau begitu.”

“Dia tidak di sini!” nenek Adam mendengus dengan mulut mencibir. Aku mengerutkan kening menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Di dapur banyak pekerjaan, jadi cepat saja Ibu Guru bilang ada perlu apa datang ke sini. Kalau cuma ingin bertemu orangtua Adam, kan sudah saya bilang tidak ada!” cetusnya tanpa tedeng aling-aling.

Aku meremas ujung amplop surat yang terasa menonjol di tas kecilku, dan siap melaporkan tentang berbagai kenakalan yang dilakukan cucunya di sekolah. Sekaligus membawa hadiah surat panggilan yang tidak main-main.

“Saya…begini, saya ingin berkenalan lebih dekat dengan keluarga Adam. Dia murid baru di kelas saya, jadi saya pikir saya ingin mengenalnya lebih dekat. Saya juga sering mengunjungi murid-murid yang lain, kebetulan hari ini giliran Adam. Mama Adam sedang ke mana?” aku sedikit berputar-putar mencari celah.

“Buat apa aku tahu ke mana perginya wanita itu! Dia sudah tidak tinggal di sini lagi!” jawabnya ketus.

“Wah, bagaimana ya? Saya harus menyampaikan surat panggilan dari sekolah untuk orangtua Adam. Mungkin Nenek tahu di mana saya bisa menghubunginya? Kok Adam tidak bilang ya kalau punya rumah baru,” kataku dengan nada bingung.

“Ibu Guru ini bagaimana sih? Aku bilang tidak tahu ya tidak tahu! Sudah lama dia tidak tinggal di sini, kabur dengan laki-laki lain. Caci maki pun meluncur dari mulut wanita tua itu. Kini aku baru tahu darimana Adam belajar makian seperti itu. Belum sempat aku bertanya lagi, nenek Adam menyambung lagi.

“Salah Anton juga, pilih istri model begitu! Dari dulu aku sudah bilang, cari penyakit kalau dapat istri yang tukang dandan kayak dia. Aku sudah bosan memperingatkan bakal terjadi apa-apa, nah kenyataannya begini kan? Perempuan itu minggat setelah tertangkap basah nyeleweng di rumah ini,” muka masam di depanku berubah bersemangat waktu menceritakan keburukan menantunya. Gayanya bercerita seperti tukang gosip yang membawa berita hangat.

“Jadi sekarang mereka bercerai?”

“Tidak tahulah apa namanya. Bodohnya Anton terlalu cinta pada Linda, sudah dikhianati tetap saja tidak mau pisah! Mungkin Anton sudah diguna-guna…Sebulan sekali wanita brengsek itu datang ke sini. Bukan untuk ketemu anak-anak, tapi cuma mengambil jatah uang dari Anton.”

“Lalu bagaimana dengan anak-anak? Pasti mereka kehilangan sekali….”

“Ah, kehilangan bagaimana? Ibu Guru tahu, Adam dan adiknya sejak lahir tidak pernah diurus. Anak menangis minta susu, dia malah pasang musik kencang-kencang di kuping. Ganti popok saja dia tidak mau. Perempuan itu cuma pintar mengurus badan, rambut, bedak, dan kuku. Cuma itu saja bisanya! Oh, ada lagi kebisaannya, main bentak dan main pukul. Kalau ditegur pelan-pelan, segala macam benda pasti dibanting sampai berantakan. Adat perempuan itu memang luar biasa jeleknya! Kasihan Adam, padahal ia sayang sekali pada mamanya. Pernah sekali waktu ia menabung untuk membelikan cat kuku untuk mamanya, tapi boro-boro dipakai, dilihat saja tidak,” lagi-lagi Nenek mencibir. Kelihatannya ia ingin semua orang tahu keburukan apa saja yang dibuat menantunya.

“Ah, tadi Ibu Guru bilang kalau Adam punya masalah. Kenapa lagi dia di sekolah? Berantem ya?”

“Begitulah. Seorang teman perempuan dipukulnya tapi Adam tidak mau cerita kenapa ia berbuat begitu.”

“Maklumi saja, Bu Guru. Namanya saja anak-anak, wajar kan kalau nakal sedikit, berantem sedikit? Adam memang kurang mendapat perhatian, tapi bagaimana lagi? Papanya tiap hari harus kerja, mamanya minggat, dan aku harus mengurus toko di rumahku sendiri. Asalkan mereka bisa sekolah di tempat yang bagus, makan enak dan punya mainan banyak, rasanya itu sudah cukup bagus,” nenek Adam menatap mataku dalam-dalam, seolah bilang bahwa aku tak berhak ikut campur dalam urusan keluarganya.

“Nenek tahu kenapa Adam sampai dikeluarkan dari beberapa sekolah?”

“Hah, memang sekolahnya saja yang brengsek! Mereka bilang Adam terlalu bodoh, terlalu nakal. Mereka bilang, seharusnya Adam masuk ke SLB. Penghinaan itu namanya! Mereka tidak lihat kalau di rumah Adam itu manis seperti bayi. Betul, lho! Sekolah Ibu tidak seperti itu kan?” tanyanya dengan nada sedikit mengancam.

“Oh tidak….Ehm, maaf Nek, tapi kalau saya boleh tahu… apakah Adam tahu tentang penyelewengan mamanya?”

“Oh tentu! Aku yang menceritakannya. Malah Adam sendiri pernah menangkap basah perbuatan mamanya, lima tahun yang lalu. Waktu itu kami pergi ke Bandung, ada famili yang menikah. Dan Anton mempercepat kepulangan sehari karena kuatir dengan Linda yang sedang mengandung tua, adik Adam. Begitu sampai di rumah…” Nenek Adam berhenti sebentar lalu meneruskan dengan kedua tangan saling meremas, ”Adam yang pertama turun dari mobil. Dia lari masuk ke dalam sambil membawa dua kotak kue oleh-oleh untuk mamanya. Tapi begitu Adam membuka pintu kamar, ia melihat adegan yang semestinya tidak boleh ia lihat. Laki-laki itu ada di sana, bersama dengan mamanya. Ia tidak menjerit atau berteriak, tapi ia hanya memandang mereka lalu keluar sambil meremas kue di tangannya, satu per satu hingga remuk semuanya. Kue itu berceceran sampai ke ruang ini.

Adam juga melihat ketika papanya menghajar laki-laki itu sampai babak belur, tapi ia hanya diam sambil duduk bersandar di tembok. Waktu itu suasananya kacau sekali, tidak ada yang ingat kalau anak itu tidak boleh menonton kesadisan yang tidak patut. Setelah dihajar, mereka lantas kabur dan hidup serumah sampai hari ini. Sudah aku bilang supaya menceraikan perempuan itu, tapi Anton tetap tidak mau. Kasihan anak-anak, katanya. Kasihan apa? Setiap hari dia ada di rumah ini juga tidak pernah menyentuh anak-anak, kok.”

“Apakah Adam menunjukkan perubahan sikap setelah kejadian itu, Nek?”

Dengan pasti Nenek menggeleng. “Tidak. Hari-hari berikutnya sampai sekarang ini, ia tetap bersikap biasa. Ya kalau nakal-nakal sedikit wajarlah, namanya juga anak-anak. Sebenarnya dia tidak bodoh, tapi malas belajarnya itu lho yang minta ampun! Aku juga heran kenapa sampai tiga kali tidak naik kelas, dipanggilkan guru les sudah, tapi ya tetap saja begitu. Jangan-jangan memang gurunya yang tidak becus mengajar… Bukan begitu, Bu Guru?” cemoohnya.

Aku berusaha mencerna kembali apa yang barusan aku dengar. Mengejutkan sekaligus membingungkan. Apakah latar belakang keluarga yang kacau menyebabkan Adam berperilaku aneh seperti itu?

Suara pintu terbuka membuat kami berpaling. Adam berdiri sambil mengucek mata, baru bangun tidur tampaknya. “Hei Adam, sini! Ini ada Ibu Guru, katanya mau jenguk kamu. Ayo sini!” Nenek melambaikan tangan menyuruh Adam mendekat. Aku mendengar ia dipanggil berkali-kali dengan ucapan kasar, dan sang Nenek hilang sabar. Dengan bengis ia menyeret Adam ke luar, memaksanya bertemu denganku.

“Itu Ibu Guru, mau ketemu sama kamu! Duduk!” bentaknya lalu menghilang ke dalam. Adam duduk dengan pantat hanya setengah menempel di sofa hijau yang sudah pudar warnanya. Matanya menatap curiga.



Penulis: Ruddy Raharjo


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?