Fiction
1001 Hari di Hong Kong [6]

25 May 2012

<< cerita sebelumnya

Ngatinah, April 2004, di Wonosobo
Hari ini ada sesuatu yang berbeda.
Bulik (bibi) Katmi baru pulang dari Hong Kong awal tahun lalu. Ia tinggal di Hong Kong sudah dua tahun. Ia pulang ke desa dengan perubahan yang luar biasa. Kami semua pangling dan tidak mengenalinya. Ia makin cantik dengan celana jins yang banyak rantai dan paku-paku berkilat, serta memakai kaus ketat merah menyala. Rambutnya pun dicat berwarna, seperti warna seng berkarat. Ia membawa ponsel ke mana-mana, bahkan ponselnya bisa dipakai untuk memotretku. Aku terpana ketika melihat wajahku muncul di layar ponselnya. Ia juga memakai kamera yang langsung bisa dilihat hasilnya. Katanya, itu kamera digital. Aku tidak mengerti apa maksudnya, tetapi pokoknya ia serba wah!

Usia Bulik Katmi cuma selisih setahun denganku. Tetapi, aku harus memanggilnya bulik karena ia adalah adik ibu yang terkecil. Kami sangat akrab karena usia kami tidak terpaut jauh.

“Kamu masih kerja di tempatnya Pak Min, Nah?” tanyanya, ketika kami pergi ke kota. Ia mentraktirku makan bakso dan es dawet di pasar Wonosobo. Lalu, membelikan sebuah celana jins untukku. Setelah berkeliling pasar, kami duduk di hamparan rumput di taman kota.

“Wah, taman kota ini seperti Victoria Park di Hong Kong. Tapi, taman ini kecil sekali dibandingkan Victoria Park…,” ujarnya.

Aku tidak tahu seperti apa Victoria Park itu. Tapi, aku sangat suka taman kota di Wonosobo. Taman kota ini rindang sekali. Banyak pohon-pohon besar mengelilinginya dan ada sebuah kolam buatan di tengahnya. Rumput hijau terawat rapi. Dan, di sepanjang sisi taman ada beberapa kursi dari batu. Aku yakin, tidak ada tempat yang lebih menyenangkan, kecuali taman di kotaku sendiri.

“Kamu tidak bosan bekerja di sana? Tidak ingin kerja ke Hong Kong?” tanyanya lagi

“Kerja ke Hong Kong? Kerja apa? Ijazahku cuma SMU,” cetusku.

“Lebih baik kerja di Hong Kong daripada di tempat Pak Min. Gajinya lebih besar. Kerjanya macam-macam. Ada yang momong anak kecil, ada yang menjaga orang tua. Pokoknya, semua pekerjaan rumah tangga. Kalau kamu mau, nanti aku yang bicara pada ibumu. Nanti kita berangkat sama-sama ke Hong Kong.”

Gaji besar? Apakah bisa membeli pakaian baru untuk Ibu dan adik-adik di pasar Wonosobo? Apakah bisa mengganti atap rumah dari rumbia menjadi genteng? Bisakah membangun rumah dengan tembok dan lantai keramik, seperti rumah kepala desa? Apakah bisa untuk membeli sepeda motor, sehingga tidak perlu berjalan kaki untuk mencapai jalan raya?

“Apa aku bisa kerja di Hong Kong? Jauh sekali…. Seperti apa Hong Kong itu?” Aku masih tidak bisa membayangkan Hong Kong itu seperti apa. Memimpikannya pun aku tidak berani.

Lalu, Bulik Katmi bercerita tentang Hong Kong. Tentang gedung-gedung tinggi, tentang kereta api bawah tanah, tentang pakaian-pakaian bermerek, tentang ponsel, tentang Victoria Park, tentang banyak teman-teman lain yang ada di sana, tentang hari-hari yang selalu berbeda, juga tentang Rajiv….

“Rajiv?” tanyaku, keheranan.

“Kekasihku, Nah. Dia dari Pakistan. Tinggi besar, ganteng, hidungnya mancung, tatapan matanya dalam dan memabukkan. Ia juga bekerja di Hong Kong.”

“Lho, bukannya Mas Wawan…?” kalimatku menggantung. Aku bingung, karena setahuku Mas Wawan sedang mendekati Bulik Katmi.

Mas Wawan adalah pemuda yang cukup disegani di desa. Rumahnya hanya berjarak lima puluh langkah dari rumahku. Bapaknya pernah menjabat sebagai kepala desa. Keluarga mereka memiliki beberapa kolam pembibitan lele dumbo. Mas Wawan sendiri sangat menarik. Walaupun dia tidak terlalu tinggi, senyumnya sangat ramah. Dan, ada segaris kumis tipis di atas bibirnya.

Ketika aku masih dilanda kebingungan, ponsel Bulik Katmi berbunyi. Lalu, kudengar ia bicara dalam bahasa Inggris dan bahasa yang belum aku mengerti. Mungkin, bahasa Kanton. Aku hanya mendengar kata-kata terakhirnya, “Yes, Rajiv, Cathy misses you too….”

“Cathy? Siapa lagi?” tanyaku, sungguh tidak mengerti.

“Aku.”

“Hah?!” tawaku hampir menyembur keluar.

“Hush! Di Hong Kong panggil aku Cathy. Jangan Katmi.”

Kupikir, aku harus mengubah hari-hariku.

Wenny Yeung, Maret 2005
Kupikir, kurasa, mulai banyak hari-hari yang berubah.
Tapi, perubahan itu bukan pada diriku. Aku tidak tahu pasti apa yang berubah. Hanya, naluriku mengatakan bahwa telah terjadi suatu perubahan.

Apakah perubahan itu terjadi pada diri Yau Man?

Ah… kuperhatikan lebih teliti, Yau Man tidak terlalu berubah. Ia masih saja sibuk mengejar deadline, tetapi masih tidak lupa meneleponku, paling tidak sehari sekali. Ia juga tetap tidak banyak bicara.

Hei… aku mulai menyadari apa yang berubah!

Yau Man memang tetap tidak banyak bicara, tetapi sekarang dalam pembicaraannya selalu terselip nama Tina.

“Wenny, nanti kujemput untuk makan malam di rumah, ya. Mama kangen padamu. Oh, ya, kata Tina, ia akan masak tim yie (ikan kukus) kesukaanmu.”

“Hei, semalam kamu cantik sekali. Kamu pantas memakai blouse warna pink seperti itu. Wajahmu kelihatan makin berseri. Tidak seperti Tina… Ha… ha… ha… dia memakai warna pink ketika pergi ke pasar hari Minggu kemarin. Aduh, sangat tidak pantas!”

Yau Man memang tidak pernah memuji Tina secara khusus. Tapi, kata-katanya yang terdengar datar itu selalu menunjukkan bahwa ia juga memerhatikan gadis itu. Ia tahu Tina akan memasak apa untuk makan malam, bahkan memerhatikan pakaian Tina.

Huh!

Dadaku seolah terbakar. Tapi, aku tidak bisa marah dan menuduh macam-macam. Karena, Tina memang cekatan. Sejak ada Tina, mama Yau Man tidak pernah rewel dan cerewet lagi. Mama cukup duduk manis di atas kursi rodanya, dan Tina sudah mela-kukan semuanya, tanpa perlu disuruh. Mama lebih banyak tersenyum dan jarang mengeluarkan suara ‘uh… uh…’ dengan nada tinggi. Nah, bukankah itu juga perubahan?

Selain itu, Tina sendiri kulihat juga banyak berubah. Ia makin pandai mematut diri! Walaupun pakaiannya tidak seperti seorang model, seperti aku, jika ia keluar untuk berhari Minggu, ia sudah memakai celana jins bermerek cukup populer. Ia juga mulai memulas blush on, eye shadow, dan lipstik. Membuat keindahan mata bulatnya makin menonjol karena maskara membuat bulu matanya lentik, seperti memayungi kelopak matanya. Ia juga tidak perlu menggunakan eye liner untuk mempertajam garis matanya. Karena, matanya sudah bulat dan indah. Ia seperti seekor anak itik buruk rupa yang berubah menjadi angsa jelita.

Ah... apakah tidak boleh seorang gadis mematut diri? Tentu saja boleh…. Tapi, di rumah itu ada Yau Man, tunanganku! Batinku berseru dengan sengit, tak mampu mencegah rasa cemburu yang membakar hatiku.

Aku menghabiskan setiap akhir pekan di rumah Yau Man. Dan, setiap kali pula, aku melihat Tina tampak semakin cantik. Bukan saja penampilannya, tetapi keramahannya juga mampu menarik perhatian semua orang di rumah itu. Ia selalu menyapa setiap orang. Bukan sekadar senyum di bibirnya, tapi juga di matanya yang bulat bercahaya itu.

Seisi rumah selalu memuji masakan Tina. Keponakan-kepo-nakan Yau Man pun suka bermain dengannya. Calon mertuaku pun sekarang selalu memberikan ‘uh… uh…’ dengan senyum lebar. Bahkan, burung-burung peliharaan Yau Man sibuk mengepak-ngepakkan sayap mereka, bila Tina datang memberikan biji-biji jagung.

Yau Man juga memperbolehkan Tina memakai komputer. Kerap kali Tina berfungsi sebagai sekretaris Yau Man, menyeleksi e-mail-e-mail yang masuk. Bahkan, untuk e-mail-e-mail yang bersifat umum, Yau Man mengizinkan Tina membalasnya.

“Bahasa Inggrisnya makin bagus. Tidak ada salahnya ia melatih bahasa Inggrisnya dengan membalas e-mail-e-mail-ku. Ia juga punya bakat menulis artikel. Beberapa artikelnya sudah pernah kumuat dan pembaca memberikan respons yang bagus. Amazing! Unbelievable!” begitu jawab Yau Man, ketika kutanya.

Aku sebenarnya senang karena ia tidak lagi terlihat kampungan. Bukannya aku tidak suka ia mengalami kemajuan dalam berbahasa Inggris, mengerti teknologi komputer, berkomunikasi mengunakan e-mail, atau bahkan menjadi seorang penulis sekalipun. Tapi, masalahnya, aku merasa Yau Man telah memberikan perhatian yang berlebihan untuknya.

Ugh! Mataku terasa mengembun. Tapi, hati dan kepalaku seperti terbakar. Kupikir, aku memang harus cepat berubah untuk hari-hari berikutnya.



Penulis: Lan Fang
Pemenang Sayembara Mengarang Cerber femina 2005


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?