Aku menarik napas dalam-dalam, sandiwaraku tadi cukup baik. Senyumku mengembang sepanjang acara. Tak ada gurat kekecewaan, apalagi ketidaksetujuan akan pernikahan itu. Aku berdiri sempurna di tengah–tengah kerumunan undangan. Sesekali tertawa kecil, sesekali menyapa para undangan dengan hangat. Bahkan, saat pengantin pria menghampiriku, aku dengan santai bicara dengannya. Tak ada luka itu, entah bersembunyi di mana.
Malam ini, semua selesai. Aku bersedia ’berpesta’ dengannya, dengan imbalan beberapa juta rupiah. Menangis menyesali segalanya, tak ada gunanya. Kepalaku telah mengangguk setuju kala ia ajukan tawaran itu. Cinta adalah anugerah bagiku, namun anugerah itu kali ini pada akhirnya menyakitiku.
“Terima kasih untuk penampilanmu yang sangat mengagumkan dan cantik. Kau berlakon sempurna tadi,” suara baritonnya membuyarkan renunganku.
Aku tersenyum tipis. “Bukankah kita sudah menyetujui akan menyelesaikan ’pesta’ ini dengan sempurna, hingga kita berdua tidak akan melupakan malam ini?” jawabku, sedikit sinis.
Dia mencoba membantu merapikan sisa peralatan riasku. Kutampik lembut tangannya, tapi dia malah menarikku dalam pelukannya. Dia cium lembut keningku. Selembut saat pertama ia minta izin menciumku.
“Terima kasih atas semuanya. Kalau hari ini semuanya akhirnya harus terjadi, bukan karena Bli Gus mau, tapi Bli Gus harus,” dia mengulang kalimat itu lagi. Kalimat yang terlalu sering kudengar belakangan ini.
Perutku mual. Bukan saja karena kecupannya, yang pasti akan membuatku makin sulit melupakan malam ini, tapi karena kalimat itu. Yah, semuanya memang seharusnya begini. Dia sudah mengatur semuanya, dan seperti inilah baginya yang terbaik.
“Uangnya kapan Bli Gus mau transfer?” tanyaku, sambil melepaskan diri darinya. Sedikit takut–takut aku melihat ke arah pintu, cemas kalau-kalau seseorang melihat apa yang kami lakukan barusan.
“Besok. Kamu cek besok, ya. Semoga uang itu cukup,” harapnya, terlihat tulus.
Aku tersenyum sinis, tiba–tiba luka itu muncul. Sadarkah lelaki ini bahwa tak akan pernah ada nilai yang cukup untuk membayar semua yang sudah dia lakukan? Tidak akan pernah ada jumlah nominal sempurna untuk penampilanku malam ini. Senyumku, suara ceriaku atau tawaku tak akan bisa ia bayar lunas. Jika saja kuikuti kata sahabat–sahabatku untuk tak melanjutkan tawarannya, tak akan ada malam ini. Malam ini pasti aku telah terlelap, meski sebelumnya ritual menangis tetap kulakukan.
Tapi, aku tetaplah aku, Ni Made Sekar Andini. Perempuan dari kasta sudra yang terlalu mencintai Ida Bagus Gede Mataram Diwangkara. Aku berusaha tidak mendengar saran dua sahabatku agar menolak pekerjaan malam ini. Tapi, aku mau bersamanya sekali ini di upacaranya. Melihatnya sepuasnya, sambil bersiap melupakannya kemudian.
Berhari-hari sebelum pesta malam itu.
Aku seorang mahasiswa magang pada sebuah koran ibu kota yang membuka kantor cabang di Bali. Tapi, aku juga melakoni pekerjaan sampingan sebagai MC. Berkat pekerjaan sampingan itu, kini tabunganku tak pernah kosong. Bahkan, beberapa perusahaan akhirnya mengontrakku untuk jadi MC tetap di setiap acara mereka. Aku juga telah berhasil membeli sebuah mobil mungil yang kini terparkir di garasi rumahku. Sedangkan pekerjaan sebagai karyawan magang ini, hanya untuk merampungkan tugas akhirku di kampus.
Hari itu, mobil yang kugunakan untuk liputan lapangan mogok. Padahal, janji wawancara tinggal sejam lagi, dan lokasinya masih jauh. Aku harus menunggu sepekan demi membuat janji dengan narasumber ini. Jika hari ini gagal, terbayang wajah sangar redaktur pelaksanaku. “Owww, tidak boleh,” kataku, membatin. Kutinggalkan sopir kantor untuk mengecek kondisi mobil. Aku berusaha mencari taksi, sampai tiba–tiba suara itu menyapaku.
“Hei, ngapain bengong di pinggir jalan?” tanyanya. Dia melambai–lambaikan tangannya di depannya. “Kamu Sekar Andini, ’kan?” tanyanya lagi.
“Ni Made Sekar Andini,” jelasku.
“Oh, kamu gadis Bali, toh. Maaf, habis biasanya kalau kamu ngemsi cuma dengan nama Sekar Andini saja, ’kan?”
“Heh? Apa kita pernah bertemu sebelum ini?”
Dia tertawa sesaat. “Kamu MC saat opening showroom saya bulan lalu. Kita tidak sempat bertemu saat itu. Tapi, saya mengikuti acara dari awal hingga akhir. Saya puas dengan kerja kamu, dan sudah saya katakan pada Pak Kadek untuk pakai kamu saja di event kami lainnya.”
Dia menggeser sedikit berdirinya mendekatiku. Ia berusaha agar aku melihat wajahnya, mungkin berharap aku sedikit membuka ingatanku tentangnya. Tapi sia–sia, tak sedikit pun aku menemukan sisa ingatan tentang pertemuan kami sebelum hari ini.
Lalu, refleks aku melihat ke arah sepuluh jari tangannya, bersih. Tidak ada benda bundar melingkar pada salah satu jarinya. Diam–diam hatiku bersorak. Secepat itu ketertarikan padanya datang.
“Heiii, bengong lagi. Kamu mau ke mana? Sopirmu sepertinya butuh waktu lama memperbaiki mobil kalian. Bagaimana kalau kamu ikut saya. Hari ini saya punya waktu untuk mengantar kamu.” Matanya berbinar, seperti anak kecil meminta ibunya untuk membelikan mainan baru.
“Ayolah, jangan pikir macam–macam, anggaplah sebagai salam perkenalan dari partner bisnis,” dia mengulang lagi tawarannya, meyakinkanku.
“Ehh, iya, anu, maksud saya, saya akan wawancara hari ini. Di daerah Kuta. Ya, ini wawancara penting, narasumbernya sulit saya temui.” Aku mengutuk diriku mengapa begitu gelagapan menjawabnya.
Dia tersenyum lagi. “Kalau begitu, ayolah, saya antar. Asalkan setelah wawancara, kamu traktir saya kopi, ya,” selorohnya.
Dan dia benar–benar menemaniku. Setelah aku merampungkan sesi wawancara, kami berjalan menyusuri pantai. Sesekali ia menarikku menjauh dari ombak. Ada desir yang tak biasa memenuhi dadaku. Bersamaan dengan itu, aku merasa ada ribuan kunang-kunang seolah menggelitiki perutku.
Ah, aku teringat lagi saat perkenalan tadi. Aku menyebut namaku dengan Ni Made di depannya, sedangkan dia ada embel–embel Ida Bagus menyertainya. Bentangan kasta itu. Bukankah aku pernah berjanji tidak akan bercinta dengan lelaki berkasta brahmana?
Hari–hari setelahnya aku makin tak bisa menghindari karismanya. Terlebih saat tanpa sengaja, ketika kami berjalan bersama, aku berjumpa dengan kakakku. Mereka berangkulan erat sekali. Mereka sahabat semasa SMA.
Setahun setelahnya, aku dikontrak eksklusif olehnya. Dia membuka showroom mobil baru, meski tidak sebesar yang sebelumnya. Kebersamaan kami terus bergulir, sampai aku menyelesaikan magangku di koran itu.
Saat aku sibuk menyusun skripsi, dia juga yang sibuk–sibuk mengantarku ke sana kemari. Membantu mengumpulkan bahan pelengkap skripsiku dan sebagainya. Ketika nilai A kudapat, dia tersenyum bangga. Saat aku melangkah di ballroom hotel dengan jubah dan toga wisudaku, dia menatapku tak berkedip, tentu tak lupa menjepret beberapa kali dengan kamera antiknya. Kami juga berfoto bersama setelahnya.
Penulis: Putu Pertiwi