Fiction
Ivonne [1]

23 Jun 2011

Lima bulan yang lalu, merasa bahwa segala usahanya sia-sia,Alex mulai mendekati Sanny, anak marketing lain, yang lebih menarik, lebihhangat, lebih terbuka, dan lebih ’normal’.

Ivonne merapikan kertas-kertas di atas mejanya. Dia meletakkan tumpukan kertasitu di sebelah kiri meja. Diambilnya lagi tumpukan kertas itu, kemudiandiletakkannya lagi di sebelah kiri mejanya. Dia berhenti sebentar, dan untukketiga kalinya, dia mengambil tumpukan kertas itu, kemudian meletakkan lagi disebelah kiri mejanya.

Dia bangun dari kursinya, duduk lagi, bangun, duduk lagi, dan bangun untukketiga kalinya. Dia mengambil tasnya, menepuk punggung tangannya tiga kali,lalu keluar dari ruangan.

Kantor sudah sepi. Hanya tinggal dia sendiri yang belum pulang. Dia baruselesai membereskan meja kerjanya, sebuah pekerjaan yang melelahkan baginya.Dia harus memastikan, semua sudah benar-benar diletakkan pada tempatnya, harusmembuang kertas-kertas yang tidak diperlukan, dan harus membersihkan mejakerjanya. Semua itu harus diulangi sebanyak tiga kali.

Ivonne menghela napas. Tubuhnya penat. Jam kantor seharusnya berakhir pukullima sore. Tapi, karena dia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan plusmembereskan meja kerjanya, dia baru bisa meninggalkan kantor pada pukuldelapan.

”Selamat malam, Bu Ivonne,” sapa penjaga kantor, mengangguk dengan sopan.
Ivonne balas mengangguk, lalu berjalan menghampiri mobilnya. Dia menepukpunggung tangannya tiga kali, membuka kunci mobil tiga kali, lalu masuk. Diamenstarter mobilnya tiga kali, kemudian meluncur pelan membelah malam Jakarta.

Sampai di rumah, ’ritual tiga’, sebutannya untuk kebiasaan melakukan segalasesuatu sebanyak tiga kali, masih berlanjut. Dia harus mandi tiga kali, keramastiga kali, mengeringkan tubuhnya tiga kali, berpakaian tiga kali, mengunyahmakan malamnya tiga puluh tiga kali, mencuci piring tiga kali, naik keranjang  tiga kali, dan menyelimuti dirinya tiga kali. Dia sudah lelahsekali, tapi dia masih harus membaca tiga buku sebelum tidur. Waktu sudahmenunjukkan pukul sebelas....

*****

Mimpi itu datang lagi!
Ivonne terbangun. Napasnya tersengal. Peluh membasahi sekujur  tubuhnya.Dia menggapai jam weker di sebelahnya. Waktu baru menunjukkan pukul lima.Ivonne memejamkan mata. Berusaha mengusir bayangan silau lampu motor dan suaradecitan ban dalam mimpinya. Mimpi yang sama.

Mimpi buruk yang telah dialaminya selama sepuluh tahun, sejak kematian keduaorang tuanya....

Ivonne menggeleng keras. Dia bangun dan mengenakan sandal kamarnya, semua itudiulangi sebanyak tiga kali. Walaupun masih mengantuk, dia harus bangunpagi-pagi sekali. Dia harus mempersiapkan diri sebelum berangkat ke kantor.Menyalakan kompor untuk membuat sarapan, makan, mencuci piring bekas sarapan,menyapu lantai rumah, gosok gigi, mandi, berpakaian, menggelung ketatrambutnya, dan berdandan. Semua itu harus dilakukannya sebanyak tiga kali.
Ivonne menarik napas lega ketika dia selesai memulas lipstiknya untuk ketigakalinya. Terkadang dia merasa lelah dengan ‘ritual tiga’-nya. Terlalu menyitawaktu dan energinya. Akan tetapi, dia tidak berani melanggar. Dia tidak inginsesuatu yang buruk terjadi. Sesuatu yang buruk seperti kematian orang tuanya,yang menyebabkan dia kini sendirian, bukan bertiga lagi seperti dulu.

Mata Ivonne mengerjap, mengusir air mata yang hampir mengalir turun. Diamenepuk punggung tangannya tiga kali, lalu membuka pintu rumah.

Saat dia sudah berada di dalam mobilnya, waktu sudah menunjukkan pukul setengahdelapan. Dia harus bergegas! Kemarin, Pak Darmawan Sejati, bosnya sekaliguspamannya dari pihak ibu, mengumumkan bahwa akan datang seorang technicalengineering bernama Theofilus Lundenberg dari Chemical InternationalCooperation, kantor pusat di Australia. Rencananya, Theofilus Lundenberg akanmemperkenalkan produk kimia hasil penelitian terbaru. Pak Darmawan Sejati jugamenugaskan Ivonne agar menjadi asisten pribadi Theofilus Lundenberg selama diadi Jakarta.

Ivonne teringat nada penuh cemooh yang dilontarkan Novelitasaat mengetahui bahwa Ivonne yang ditunjuk menjadi personal assistant TheofilusLundenberg.

“Kenapa si gadis aneh itu, sih, yang dipilih jadi asisten pribadi Mr. TheofilusLundenberg?
Malu-maluin kantor kita saja! Mending juga Ita saja, deh, yang jadi asisten Mr.Theo. Pasti akan lebih memuaskan...!” seru Ita, disambung dengan cekikikancentilnya. Ita berkata-kata dengan volume suara yang tidak dipelankan. Kentarasekali kalau dia ingin Ivonne mendengar apa yang dia katakan.

Ivonne menghela napas. Dia tahu, dia dipandang sebagai gadis aneh. Gadis yangselalu melakukan segala sesuatu tiga kali. Gadis yang terlalu perfectionist–dengan kecenderungan yang mengerikan. Gadis yang selalu dingin dan kaku,terhadap wanita dan, terutama, terhadap lelaki.

Dia sebenarnya juga tidak mau menjadi gadis aneh. Dia ingin berhenti melakukan’ritual tiga’-nya, dia ingin menjalin relasi yang hangat dengan orang lain, diajuga ingin lebih santai. Sama seperti orang normal lainnya. Tapi... dia takut.

Dia takut, kalau tidak melakukan ’ritual tiga’, maka sesuatu yang buruk akanterjadi. Dia takut, kalau tidak selalu memeriksa apa yang dilakukan, makakesalahan kecil akan berakibat fatal.
Dia juga takut untuk ’dekat’ dengan orang lain. Dia takut ’kedekatan’ merekaakan membahayakan hidup si lelaki. Seperti kedekatan dengan kedua orang tuanyayang menyebabkan mereka meninggal. Dia bahkan takut hanya dengan membayangkansemua itu.

Ivonne berjalan mantap ke arah mejanya. Banyak yang harus dia persiapkan untukmenyambut kedatangan Mr. Theofilus Lundenberg. Dia duduk tiga kali, menepukpunggung tangannya tiga kali, kemudian mulai melakukan tugasnya.

”Ivonne, tolong jemput Mr. Lundenberg di bandara.” Pak Darmawan menghampirimeja kerjanya.
“Sebelumnya, tolong kamu persiapkan bahan untuk meeting intern siang ini. Ohya, nanti perlihatkan juga bahan meeting-nya kepada Mr. Lundenberg, kalau-kalaumasih ada yang perlu dia tambahkan.”

“Baik, Pak Darmawan Sejati,” jawab Ivonne, mengangguk. Dia memang membiasakandiri untuk memanggil orang lain dengan nama lengkapnya. Ini adalah salah satuusahanya untuk tidak mengakrabkan diri dengan orang lain. Dia mulai mengerjakantugas yang diberikan Pak Darmawan dan setelah semuanya siap, dia menghubungi PakAndi, sopir kantor, dan bergegas menuju bandara.

*****

Bandara selalu ramai. Tidak pernah sepi. Ivonne berjinjit agar dapat lebihjelas memperhatikan penumpang yang berhamburan keluar. Pak Andi berdiri disebelahnya sambil mengangkat tinggi-tinggi papan bertuliskan ’PT Kimia Utama’.Ivonne menerka-nerka dalam hatinya. Seperti apa rupa Mr. Lundenberg.

Pak Darmawan bilang, Mr. Theofilus Lundenberg adalah seorang pekerja yangperfectionist. Dia selalu serius dengan pekerjaannya. Dia selalu melakukansegala sesuatu dengan cermat dan penuh perhitungan.

Ivonne merapikan setelan biru tuanya tiga kali dan memeriksa gelung rambutnyatiga kali. Dia harus terlihat profesional dan serius untuk menyambut tamukehormatan PT Kimia Utama.
Seorang lelaki mendekati Ivonne. Dia mengenakan polo-shirt warna kuning.

”PT Kimia Utama?” tanyanya, sambil tersenyum ramah.

Ivonne mengangguk, tampak ragu. ”Mr. Theofilus Lundenberg?”

Lelaki itu mengangguk. Dia mengulurkan tangannya. ”Panggil saja saya Theo,”ujarnya, dengan bahasa Indonesia yang sempurna.

Ivonne tidak terkejut. Pak Darmawan sudah memberi tahu bahwa walaupun TheofilusLundenberg lahir di Australia, nenek dari pihak ibunya adalah wanita Indonesiaasli. Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu yang sering digunakannya sehari-hari.

cerita selanjutnya >>


Penulis: Irene Tjiunata



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?