True Story
Yudith Arwendha Arselan, Mengabdikan Diri di Kawasan Kumuh, Menghadirkan Senyum Di Wajah Anak-Anak

18 Feb 2017


Foto: Hermawan

 
Yudith Arwendha Arselan (44) tak membayangkan akan meninggalkan kemapanan karier dan hidup yang glamor untuk mengabdikan diri di kawasan kumuh, di utara Jakarta yang sarat dengan berbagai masalah sosial dan kriminalitas itu. Tak hanya ditentang keluarga, keinginan tulusnya untuk menolong diartikan sebagai ancaman bagi warga setempat. Kepada femina, ia menuturkan jatuh-bangunnya membangun rumah kedua bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera di Cilincing, Jakarta Utara.
 
KERASNYA KEHIDUPAN
Kamis sore itu, dari sebuah rumah di Jalan Cilincing Bakti, Jakarta Utara, terdengar riuh rendah suara belasan anak yang antusias mengikuti kelas bimbingan belajar (bimbel). Di sanalah, sejak Februari 2009, Yayasan House Of Mercy (HOME) memberikan bimbingan belajar gratis untuk anak-anak usia SD hingga SMA lewat tenaga guru sukarelawan, juga bantuan biaya sekolah dan kelas pendidikan anak usia dini (PAUD) dan TK.

“Orang tua mereka umumnya bekerja sebagai kuli, buruh, pemulung, nelayan, pedagang keliling, tukang becak, sopir, pengupas kerang, hingga preman dan pekerja seks. Ada juga yang menganggur,” terang Yudith tentang latar belakang anak-anak asuhnya, yang kini berjumlah lebih dari 500 orang.

Bagi Yudith, anak-anak yang belajar di HOME bukanlah semata murid bimbel yang datang dan pergi. Selama wawancara, ia menyebut mereka ‘anak-anak saya’. Ikatan emosional itu terjalin erat, salah satunya karena banyak dari mereka yang menjadikan Yudith, yang kerap disapa dengan panggilan Bunda, sebagai tempat curhat. Dari sanalah, ia mengenal lebih dekat betapa kerasnya kehidupan anak-anaknya itu.

Menyaksikan anak-anak asuhnya menjadi korban kekerasan domestik dan bullying oleh teman, saudara, hingga orang tua mereka sendiri, sudah tak asing bagi Yudith, yang kini bertanggung jawab sebagai Pembina HOME. “Bukannya diajari untuk berdamai dan saling memaafkan oleh orang tuanya, anak asuh saya yang masih usia SD justru diperkenalkan dengan konsep membunuh lawan saat berselisih,” cerita Yudith, yang bergabung bersama HOME sebulan sejak yayasan itu berdiri.

Tekanan ekonomi turut menciptakan berbagai persoalan sosial yang dihadapi anak-anak asuh Yudith. Ia menyediakan hati dan waktunya untuk mendengar  tiap keluhan anak-anaknya. Banyak anak yang semangat melanjutkan pendidikan, tapi mendapat tekanan dari orang tua untuk mencari uang sendiri. Pernah pula anak asuhnya datang mengadu sambil tersedu, karena sudah dua hari tak makan, tak punya uang untuk membeli pakaian dalam, hendak dinikahkan paksa, atau bahkan dijual ke kompleks pelacuran tak jauh dari rumahnya.

            Namun, yang paling membuatnya trenyuh dan berduka adalah ketika dua anak asuhnya mengalami pelecehan seksual oleh ayah dan pamannya sendiri. Yudith pun turun tangan merengkuh mereka, memberikan pendampingan dan penghiburan. Selama sekitar 6 bulan, anak tersebut tinggal di HOME bersamanya.

Saking traumanya, bahkan tanpa sadar ia memilih untuk mengenakan celana panjang saat tidur, padahal ia tidur bersama saya,” kenang Yudith, yang tak bisa membendung tangis kala membicarakan anak-anak asuhnya.

Yudith mensyukuri pilihannya untuk mengembangkan HOME, dari wadah sosial yang mulanya hanya memberikan layanan pendidikan gratis, menjadi keluarga dan rumah kedua bagi anak-anak asuhnya. Ia mengaku lebih tenang bila anak-anak asuhnya banyak menghabiskan waktu di HOME usai kelas, daripada mereka berkeliaran di jalanan, di lingkungan yang begitu dekat dengan kriminalitas, kekerasan, hingga pelacuran.

            “Yang mereka butuhkan sebenarnya hanyalah telinga dan pelukan, yang tak selalu bisa mereka dapatkan dari orang tua mereka,” ujar Yudith, yang sehari-hari menetap di HOME bersama dua orang staf purnawaktu lainnya, David dan Alex.

           Sementara itu, Yudith tak memungkiri bahwa faktor keamanan yang rawan di lingkungan sekitar HOME sering membuatnya khawatir terhadap keselamatan diri sendiri. Apalagi, saat masih sering bolak-balik dari Cilincing ke rumah keluarganya di Ciputat, ia tak jarang pulang larut malam, menjadi satu-satunya wanita dan dikelilingi preman di dalam metromini yang berangkat dari Tanjung Priok.

            Toh, lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti ini tak gentar untuk meninggalkan karier yang telah dibangunnya untuk secara sukarela mengabdikan diri di HOME, yang pertama kali didengarnya lewat media sosial.

            “Saat pertama kali datang, saya membawa sumbangan alat-alat tulis. Berikutnya, saya datang membawa makanan. Berikutnya lagi, saya membawa koper. Malam pertama saya pindah di sini, saya tidur di lantai, hanya beralaskan seprai, dengan tikus dan kecoa yang berseliweran di dekat kaki saya,” kenangnya.
 
MENAKLUKKAN PENOLAKAN
Diakui Yudith, hijrah ke HOME bukanlah hal mudah baginya. Ia berani meninggalkan karier menjanjikan di sebuah perusahaan promotor musik yang bergaji besar demi pindah ke daerah kumuh dan mengurusi anak-anak orang lain tanpa digaji. Jelas keputusan ini mendapat tentangan dari keluarganya. Dukungan itu hanya didapatkan dari sang ibu.

            “Mereka tak henti bertanya, masa depan macam apa yang saya cari di sini. Dulu, saya tak bisa menjawab pertanyaan itu. Seiring  makin dalamnya keterlibatan saya dan kedekatan saya dengan anak-anak, sekarang saya punya jawabannya: anak-anak inilah masa depan saya,” tegas Yudith.

Jawaban itu baru ia temukan setelah tiga tahun jatuh bangun menghidupi HOME. Tanpa adanya donatur tetap, mereka sering harus berutang di warung makan, bahkan pernah kesulitan membayar tagihan hingga listrik dicabut.  Selama itu, ia sering mengadu pada Tuhan, mempertanyakan mengapa niatnya untuk melayani malah membuatnya dimusuhi keluarga.

Baru setelah tiga tahun, keluarga bisa menerima keputusannya. “Mereka datang dan berkata, ‘Yudith, kami sangat bangga padamu.’ Saat itu air mata saya mengalir tak terbendung. Akhirnya jalan saya untuk melayani lebih terbuka dengan restu keluarga,” tutur Yudith, yang dulu biasa mengajar kelas bimbel dari pagi hingga malam.

            Tak hanya dari keluarga, Yudith juga tak luput dari penolakan dari lingkungan barunya yang mayoritas warganya beragama Islam. Dengan latar belakang keyakinan Kristen,  ketulusan Yudith dan kedua staf HOME lainnya sering disalahartikan sebagai usaha Kristenisasi. Sebaliknya, justru Yudithlah yang sering mengingatkan anak-anaknya yang muslim untuk salat. “Orang tua yang khawatir, saya sarankan untuk mencari tahu sendiri seperti apa kegiatan kami kepada anak-anaknya,” lanjut Yudith.

            Kelelahan emosional dari tekanan lingkungan, belum lagi kesulitan yang dihadapinya saat mengajari anak-anak tata krama terkadang membuatnya merasa gagal. Kalau sudah begini, ia hanya bisa mengadu dalam doa. “Tiap kali semangat saya turun, bayangan wajah anak-anak yang membutuhkan perhatian dan pendidikan selalu berhasil membuat saya kembali ke Cilincing,” ungkap Yudith.

Hanya merekalah yang menjadi sumber kebahagiaannya, apalagi jika ia bisa menyaksikan anak-anaknya sudah jadi ‘orang’. Kini, salah satu anak asuhnya telah lulus sekolah kebidanan dan bekerja di sebuah rumah sakit di Karawang, dan satu lagi tengah berkuliah di jurusan Bisnis Desain Fashion di Universitas Ciputra, Surabaya, semuanya dengan beasiswa penuh.

“Saya mengingatkan para orang tua, bahwa masa depan anak-anak mereka adalah milik mereka sendiri, dan mereka berhak memiliki kemerdekaan untuk memilih. Jika mereka sukses, orang tua juga yang bangga anak-anak mereka memiliki masa depan yang lebih baik,” ungkap Yudith. 

Tak hanya orang tua murid, preman-preman setempat pun sempat tak bisa menerima kehadiran HOME. Dulu, bila ada motor yang ditinggal parkir di depan rumah, sebentar saja bisa raib digondol maling. Sekarang, justru pria-pria bertato yang sering keluar-masuk penjara itu ikut menjaga keamanan HOME.

Dengan turut berbagi dan melibatkan mereka dalam aksi sosial HOME di lingkungan sekitar, misalnya kegiatan memungut sampah atau kunjungan ke lokasi banjir, Yudith berhasil menjadikan sebagian dari mereka sebagai sahabat. Bahkan, tak jarang ia boncengan naik motor dengan mereka.

Cinta yang ditebar, cinta pula yang dituai. Yudith pun merasakan sendiri buah dari kasih sayangnya bagi anak-anak asuhnya ketika ia menerima kejutan di hari ulang tahunnya. “Saya dijemput anak-anak di rumah keluarga saya, lalu diajak pergi ke salon untuk memanjakan diri. Tiba di HOME, mereka sudah mempersiapkan pesta ulang tahun kejutan lengkap dengan kado dan kue,” cerita wanita kelahiran 9 Desember 1972 ini.
 
SATU KELUARGA BESAR
Ketika mengubah konsep HOME menjadi keluarga dan rumah kedua bagi anak-anak Cilincing, Yudith turut menekankan bahwa dalam keluarga, toleransi haruslah dimiliki. Ia senantiasa mengingatkan anak-anak asuhnya bahwa keluarga berarti saling memberi dukungan. Apa pun perbedaan yang mereka miliki, mereka tetap satu keluarga.

Suasana kekeluargaan memang demikian terasa di HOME, yang juga mengadakan kelas tari, olah vokal, character building, dan prakarya. Di tengah wawancara berlangsung, seorang anak datang menghampiri Yudith dan menggelayut manja di pelukannya. Dari bahasa tubuhnya terlihat bahwa ia sangat merindukan Yudith yang sudah dianggapnya seperti bundanya sendiri.

Beberapa pekan lalu, Yudith memang sempat vakum dari kegiatannya di HOME karena harus dirawat inap akibat penyakit hepatitis A. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh membuat anak-anak asuh Yudith sering terserang penyakit, sehingga ia dan para pengurus yang turut merawat mereka jadi ikut tertular. Sejak melayani di HOME, ia sebelumnya pernah dua kali terkena tifus dan satu kali terkena tuberkulosis.

Namun, di saat-saat seperti inilah, ia merasakan dukungan dan kasih sayang dari ‘keluarganya’ di Cilincing. “Ketika saya sakit, juga ketika ada anak saya yang sakit, sekalipun kami berbeda keyakinan, kami saling mendoakan sesuai agama kami masing-masing. Siapa pun bisa berdoa dengan cara apa pun, demikian pula dalam hal hidup dengan tolong-menolong, saling mendukung, dan bertoleransi sebagai satu keluarga,” ungkap Yudith, mengulang pesan yang senantiasa didengungkannya, pada anak-anak asuhnya.

Yudith memiliki alasan sendiri mengapa ia meyakini bahwa toleransi adalah kunci. Dibesarkan di lingkungan keluarga multiagama dari ayah yang beragama Islam dan ibu Kristen, anak ketiga dari empat bersaudara ini tak asing dengan keberagaman. Kedua orang tuanya taat menjalankan agama mereka masing-masing, tapi ayah Yudith tak ragu mengantar sang istri beribadah ke gereja. Yudith dan saudara-saudaranya pun diperkenalkan dengan Islam maupun Kristen sejak kecil oleh orang tua mereka, tanpa paksaan untuk memeluk agama mana pun.

Konsep inilah yang Yudith terapkan di HOME, sehingga anak-anak asuhnya tak canggung bergaul dengan sesamanya yang berbeda keyakinan. Ikatan emosional sebagai keluarga yang dibangunnya pun ibarat jembatan yang mendekatkan mereka, salah satunya dengan cara memberi kejutan dan hadiah ulang tahun bagi tiap anak asuhnya.

Di akhir pekan, HOME sudah seperti taman bermain yang ramai oleh anak-anak. Bermodal proyektor sumbangan donatur, di akhir pekan mereka sering menonton film bersama. Bila ada dana lebih, ia dan para pengurus akan mengajak anak-anak pergi rekreasi, jalan-jalan ke mal atau melancong ke Ancol, Kota Tua, hingga Taman Buah Mekarsari. Bila sedang berada di HOME, malam-malam akhir pekan menjadi waktu Yudith untuk menjadi telinga bagi curhatan anak asuhnya. “Mereka ini bisa mengantre di depan kamar, dan curhat sampai pukul 4 pagi!” katanya, tertawa.

Pilihan hidup Yudith menunjukkan bahwa, meski melajang, tak berarti ia tak membangun keluarga. Bagi Yudith, anak-anak asuhnya di HOME adalah hidupnya dan masa depannya, yang dititipkan Tuhan dengan cara-Nya. Ia tidak perlu pura-pura menyayangi mereka di depan umum, dan ia pun dapat merasakan kasih sayang mereka baginya.

Kehadiran anak-anak di HOME ini sekaligus menjadi pelipur lara bagi wanita yang di usia 34 tahun ini harus kehilangan ¾ dari kedua indung telurnya karena tumor. “Tuhan memang belum memberikan anak lewat rahim saya, tapi Tuhan telah menghadirkan anak-anak ini dalam hati saya. Kebahagiaan saya adalah melihat anak-anak saya bahagia. Itu sudah cukup buat saya,” ungkapnya, dengan mata berbinar.(f)
 

 


Topic

#kisahsejati

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?