True Story
Surya Sahetapy Memperjuangkan Kesetaraan

22 Apr 2016


Foto: Dok. Pribadi Surya Sahetapy
 
Panji Surya Putra (22) memulai kehidupannya dalam sunyi. Indra pendengarannya tidak mampu menangkap suara semesta, termasuk ucapan kasih sayang dari seluruh keluarga, yang menyambut kehadirannya di dunia dengan sukacita. Pada tahun kedua kehidupannya, putra ketiga Dewi Yull dan Ray Sahetapy ini divonis gangguan pendengaran kategori tuli berat. Derajat ketulian telinga kanannya 105 decibel dan telinga kirinya 115 decibel. Sementara derajat pendengaran normal adalah 0-20 decibel.
 
Didampingi Rully Anjar, juru bahasa isyarat dari Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat Indonesia, Surya menuturkan perjalanannya memperjuangkan kesetaraan hidup. Keterbatasan, ia anggap sebagai sebuah skenario unik dari Tuhan yang membuatnya lebih berdaya meningkatkan kualitas hidup generasi muda tuli melalui kegiatan advokasi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan hak hidup disabilitas.
 
Copy dan Paste
Sore itu, Surya dan Rully menemui femina di sebuah kedai teh di Kota Tangerang. Tangan kanan Surya melambai dan bibirnya menirukan kata halo untuk menyapa femina. Pemuda kelahiran 21 Desember 1993 itu tampak nyaman dan percaya diri berkomunikasi menggunakan BISINDO.
 
“Pada saat saya lahir, teknologi untuk tes tuli pada bayi baru lahir belum umum di Indonesia. Bapak dan Ibu baru menyadari saya tuli karena saya tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika mereka bersuara, hingga saya berusia 2 tahun,” tutur Rully, menginterpretasikan gerak tangan, bibir, dan ekspresi wajah Surya.
 
Rupanya, tuli bukan kondisi baru pada keluarga besar Surya. Ada gen yang menurun dalam silsilah keluarganya. Kakak pertama Surya, Gisca Putri Agustina (almh.), dan seorang kerabat dekat juga mengalaminya. Dari sang ibu, ia juga mengetahui bahwa demam tinggi yang menyerang saat masih bayi bisa jadi salah satu penyebab pendengarannya memburuk.
 
Berbekal pengalaman merawat Gisca, kedua orang tua Surya kemudian mengenalkannya pada alat bantu dengar agar Surya bisa mempelajari bahasa Indonesia secara lisan dan bersosialisasi dengan masyarakat. Agar lisan Surya lebih berkembang, sang ibu kemudian memasukkannya ke TK umum.
 
Di TK umum, banyak sekali hambatan yang Surya alami. Bukan hanya kesulitan mendengar, tapi juga kesulitan berbicara, menulis, dan bergaul dengan teman sebaya. Perkataan guru dan teman-temannya lebih banyak yang tidak ia pahami. Bagi Surya, mereka berbicara cepat sekali. Melihat itu, sang ibu jadi lebih giat meminta Surya melakukan latihan bicara.
 
“Contohnya, kata pulang. Yang keluar dari mulut saya hanya pula… pula... Ibu terus bertanya, ‘Mana  NG-nya? Mana NG-nya?’ Tapi, sekeras apa pun berusaha, saat itu saya tidak bisa mengucapkan kata pulang dengan utuh. Itu baru satu kata, lho. Bayangkan berapa banyak kata yang harus saya pelajari?” ungkap Surya dengan ekspresi wajah frustrasi. Jemarinya mengulang-ulang bahasa isyarat abjad N dan G. Ia mengaku, dalam pikirannya sempat terbangun stigma bahwa tuli yang tidak berbicara adalah tuli yang gagal. Stigma itu ternyata sudah turun-temurun di Indonesia.
           
Surya kemudian mengulang pendidikan TK di Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB). Pengulangan itu harus dilakukan karena kemampuannya dianggap belum cukup untuk mengikuti pendidikan SD. Lingkungan TKLB membuat Surya lebih mudah menyerap pelajaran dan bersosialisasi. Semua guru dan murid berbicara lebih lambat serta menggunakan bahasa isyarat.
 
Kemampuan Surya meningkat pesat. Nilai rapor pun baik, ia berhasil lulus TKLB dalam 2 tahun dan melanjutkan ke Sekolah Luar Biasa bagian B (SLB/B), setingkat SD. Ia berhasil menyelesaikan SLB/B dalam waktu 6 tahun, sementara rata-rata siswa tuli menyelesaikan pendidikan dasar selama 8 tahun.
 
Meski begitu, ia tetap merasa ada sesuatu yang kurang dengan sistem pendidikan yang ia jalani. “Ibarat komputer, otak saya seperti hanya menjalankan copy dan paste. Apa yang diajarkan guru, murid ulangi dan lakukan. Saya dan teman-teman di SLB tidak dididik untuk berpikir kritis. Bagaimana kami bisa mandiri?” keluh Surya, sinar matanya menyiratkan tanya.
 
Saat SMP, ia kembali masuk ke sekolah umum. Orang tuanya berharap lingkungan umum dapat meningkatkan kepercayaan diri untuk berbaur dengan teman-teman normal. Awalnya, Surya pun merasa percaya diri akan bisa beradaptasi dengan lingkungan normal karena ia sudah banyak belajar lisan di TKLB dan SLB/B. Namun ternyata, itu belum cukup.
 
Ia melewati hari-hari pertamanya dengan diam karena merasa terasing dan tidak bisa mengikuti obrolan teman-temannya yang terlalu cepat. Seorang guru menjelaskan kendala yang Surya alami kepada teman-temannya. Surya menceritakan alat yang menempel di daun telinganya berfungsi untuk membantu pendengarannya. Teman-temannya terkejut, kemudian semua malah terdiam.
 
Surya juga tidak dapat mengerti pelajaran yang diberikan di kelas. Para guru sering kali lupa pada kondisi Surya yang perlu membaca bibir untuk bisa mengerti pelajaran yang dijelaskan. Meski sudah duduk di barisan terdepan, guru menjelaskan pelajaran sambil menunduk karena membaca buku atau sambil menghadap papan tulis sehingga menyulitkan Surya untuk membaca gerak bibir mereka.
 
Pelajaran bahasa Inggris menjadi tantangan terberat. Ada sesi listening percakapan bahasa Inggris yang menjadi salah satu syarat kelulusan. “Bagaimana saya bisa mendengarkan percakapan yang sudah direkam dan tanpa teks? Lembar jawaban saya isi asal-asalan saja,” ungkap Surya, mengenang masa berat itu dengan tertawa. Saat itu, ia merasa sangat tertekan dan depresi hingga sering pingsan. Ia tidak bisa membayangkan arah hidupnya.
 
Menolak Menyerah
Pilihannya hanya dua, menyerah dan tertinggal dalam segala hal atau berjuang untuk maju. Akhirnya, ia memilih mengorbankan waktu bermain bersama teman-teman sebayanya. “Saya jarang sekali ikut kumpul bareng teman. Bukan karena malas atau sombong, tapi karena saya enggak nyambung. Mereka ngobrol cepat sekali. Saya sering pura-pura ngerti obrolan mereka,” ungkap Surya, mengenang masa itu.
 
Tiap pulang sekolah, guru menjadi sosok yang dituju Surya. Ia meminta para guru menjelaskan kembali pelajaran di kelas dalam tempo lebih lambat dan duduk berhadapan agar gerak bibir mereka jelas terbaca. Dengan cara itu, ia berhasil lulus SMP tepat waktu. Pengalaman itu membuka mata Surya. Para guru di sekolah sebenarnya sangat peduli padanya. Sayangnya, sistem pendidikan guru dan kurikulum pendidikan di Indonesia kurang membekali mereka cara mendidik anak berkebutuhan khusus. 
 
Merasa hak pendidikannya tidak terpenuhi, Surya mulai merasa bahwa sistem dan kurikulum pendidikan di Indonesia hanya ramah untuk siswa reguler, bukan untuk siswa berkebutuhan khusus. Surya memutuskan melanjutkan pendidikan tingkat SMA dengan sistem homeschooling. Sistem tersebut memungkinkan guru menggunakan metode pengajaran face-to-face dengan murid sehingga Surya bisa membaca gerak bibir guru dan memahami dengan baik pelajaran yang disampaikan.
 
Surya juga memperhatikan cara kakaknya, Gisca, berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dengan teman-teman tuli komunitas Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN). Bahasa yang dikenal dengan BISINDO ini terlihat natural, sekaligus asing di mata Surya. Ia tidak terbiasa menggunakan bahasa itu. Stigma tuli yang tidak berbicara adalah tuli yang gagal masih terperangkap di kepalanya. Hal itu kembali membuatnya frustrasi dan bingung.

Kebingungan itu mendorong Surya untuk mencari informasi mengenai tuli di seluruh dunia. Lagi-lagi ia merasa kesal, sulit sekali menemukan informasi mengenai tunarungu yang lengkap dalam bahasa Indonesia. Hampir semua informasi menggunakan bahasa Inggris yang belum ia pahami, baik di buku maupun internet. Ia pun memberanikan diri untuk lebih dekat dengan komunitas dan organisasi tuli.
 
Bersama Yayasan Keluarga Tunarungu Sehat Jiwa Raga (SEHJIRA), Surya melibatkan diri dalam program motivasi untuk anak-anak tuli di beberapa desa tuli di Indonesia. Salah satu  yang cukup berkesan adalah saat ia mengunjungi Kampung Bisu Tuli, Desa Kolok, Bali Utara.
 
“Saya berinteraksi dengan anak-anak tuli selama satu minggu. Di situ saya tertekan karena melihat banyak sekali teman-teman penyandang tuli yang tidak bisa sekolah dan bahkan sulit berkomunikasi dengan orang tua sendiri,” ungkap Surya.
 
Surya menyebut masa itu sebagai titik balik dalam hidupnya. Informasi mengenai hak-hak hidup disabilitas mengalir deras dari teman-teman penyandang  tuli di komunitas dan organisasi. Matanya terbelalak dengan fakta-fakta yang menyebutkan bahwa di Amerika Serikat, tidak sedikit penyandang tuli yang bisa meraih gelar S-2, bahkan S-3. Mereka bahkan mendapat pekerjaan yang setara dengan para pekerja normal. Sangat berbeda dengan dirinya dan teman-teman penyandang tuli di Indonesia. Untuk mendapatkan akses komunikasi bahasa Indonesia dan pendidikan saja sulit sekali.
 
Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang diwajibkan pemerintah untuk semua murid SLB justru menghambat proses komunikasi anak-anak tuli. SIBI dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan anak-anak tuli di Indonesia karena kosakata dan tata bahasanya mengadopsi American Sign Language. Pembuatannya pun dilakukan oleh orang berpendengaran normal dan tidak melibatkan komunitas tuli. Ditambah lagi, jumlah gjuru bahasa isyarat masih sangat terbatas di Indonesia.
 
Isu tersebut mendorong Surya untuk aktif di GERKATIN, sebuah yayasan yang mengampanyekan BISINDO. Keterlibatan itu  praktis membuatnya harus mempelajari konsep bahasa isyarat yang sebelumnya ia anggap bahasa asing. Anehnya, ‘bahasa asing’ itu justru membuat ia merasa bisa lebih bebas dan spontan mengekspresikan pemikirannya dan perasaannya.
 
Selalu Ada Harapan
BISINDO meningkatkan kepercayaan diri Surya. Ia tidak bisa lagi menahan diri untuk tetap diam. Informasi mengenai cara berkomunikasi menggunakan bahasa alami tunarungu itu ia bagikan di berbagai seminar di SLB dan universitas. Sebagai generasi muda, ia juga tak ketinggalan memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarluaskan informasi.
 
Sejak tahun 2012, ia aktif menulis tentang pengalaman-pengalamannya di blog pribadi, suryasahetapy.com. Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Youtube pun ia optimalkan penggunaannya. Tidak sekadar berbagi foto, Surya juga membuat video pendek yang menampilkan dirinya sedang berkomunikasi dengan BISINDO. Melalui video itu, ia berharap masyarakat, khususnya generasi muda, lebih tertarik untuk mempelajari bahasa isyarat.
           
Konsistensi Surya mulai menunjukkan hasil. Oleh organisasi disabilitas kepemudaan Young Voices Indonesia, ia dipercaya untuk mewakili Indonesia dalam beberapa kesempatan. Salah satunya, kompetisi Global IT for Youth with Disabilities di Bangkok, Thailand,  Oktober 2013. Di kompetisi itu  ia berhasil mendapatkan juara tiga untuk kategori e-Tools setelah berhasil memodifikasi artikel bertema go green dalam waktu 45 menit.
 
Tak berhenti di situ, Surya tak membuang-buang waktu untuk terus mempelajari bahasa isyarat. Setelah mengikuti pelatihan Calon Guru Bahasa Isyarat di Universitas Indonesia, ia  makin gencar memberikan advokasi mengenai hak-hak hidup penyandang disabilitas kepada para difabel  dan masyarakat.
 
“Ketidaktahuan itu sangat berbahaya. Teman-teman penyandang disabilitas banyak yang belum menyadari hak-hak hidup mereka. Selain pendidikan, hak yang sering terlupakan adalah hak untuk memperoleh informasi kesehatan. Misalnya, belum ada juru bahasa isyarat di rumah sakit, sehingga kami sering kesulitan menangkap informasi dari mereka,” papar Surya, dengan mimik wajah serius.
 
Menyadari bahasa adalah kunci dari pemberdayaan tunarungu, Surya pun memberanikan diri mengambil dual program di perkuliahan, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Sampoerna dan English Language Teaching di Lone Star College, Amerika Serikat. Kali ini, ia memastikan hak pendidikannya terpenuhi dengan meminta kerja sama pihak kampus untuk menyediakan pencatat (note taker) dan juru bahasa isyarat.
 
Kesempatan advokasi pun jadi terbuka lebih luas. Bersama Laura Lesmana Wijaya, mahasiswi tuli Indonesia yang menyusun kamus bahasa isyarat Jakarta dan Yogyakarta, Surya menjadi pembicara di XVII World Congress of The World Federation of The Deaf di Istanbul, Turki, pada 28 Juli-1 Agustus 2015.
 
Mengangkat topik Obstacles and Opportunities in Deaf Youth Leadership Initiative in Indonesia, Surya dan Laura berharap pemerintah dan masyarakat bisa lebih menyadari bahwa penyandang disabilitas memiliki potensi yang sama besarnya dengan masyarakat normal, bila diberikan akses pendidikan dan informasi yang setara.   
 
Kongres tersebut juga menyadarkan Surya bahwa jika ingin membuat perubahan, ia harus mempelajari kebijakan publik.
 
Kesempatan itu akhirnya datang saat ia terpilih menjadi salah satu peserta Program Magang Kantor Gubernur DKI Jakarta. Esainya yang berfokus pada sistem anggaran pendidikan SLB di Jakarta ternyata menarik perhatian Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Surya menjadi satu-satunya tunarungu yang lulus seleksi dan ditempatkan sebagai staf  magang pengawalan transparansi anggaran.
 
Surya ternyata tidak bisa menghindari darah seni yang mengalir dalam tubuhnya. Atas dorongan sang ibu, ia menerima tawaran berperan dalam iklan dan film.
 
“Kata Ibu, film bisa jadi sarana advokasi karena film lebih mudah dipahami orang. Maka, saya pun melakukannya. Bukan untuk menjadi artis, tapi untuk membuktikan bahwa seorang tuli pun bisa mendapatkan pekerjaan seperti orang berpendengaran normal,” ungkap Surya, dengan mata berbinar.
Keterlibatan pertamanya dalam film dimulai dari film Sebuah Lagu untuk Tuhan (2015). Film dari novel berjudul sama karya Agnes Davonar ini mengisahkan persahabatan musikus Gilang (Steven William) dengan gadis tuli bernama Angel (Eriska Rein). Surya membantu Eriska untuk lebih memahami kehidupan penyandang  tuli. Di film terbarunya, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara, yang akan tayang pada Mei 2016, Surya akan beradu akting dengan aktris Laudya Cynthia Bella dan komika Ge Pamungkas. Atas advokasi Surya, kedua film itu ditayangkan dengan teks bahasa Indonesia agar penyandang tuli di Indonesia bisa ikut menikmati film tersebut.
 
Aktivitas itu dijalankan sepenuh hati demi mewujudkan cita-cita besarnya, Surya ingin generasi muda penyandang tuli mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari generasinya. “Tidak ada yang tidak mungkin selama kita berusaha. Saya masih banyak belajar, tapi saya yang cuek dan enggak percaya diri sudah lama sekali berganti,” tegas Surya.
 
Ia mengibaskan telapak tangan kanannya di samping telinga ke arah belakang beberapa kali, sebagai ekspresi bahwa salah satu masa sulitnya sudah lama berlalu. Semangat yang selalu bergemuruh di dalam dadanya itu ingin ia sebarkan kepada masyarakat. Selalu ada harapan untuk semua.
 


Topic

#suryasahetapy

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?