True Story
Perjuangan dan Harapan untuk Jose Edward dalam Menghadapi Atrofi Otot

1 Apr 2017


Makin Terpuruk

Merasa tidak yakin dengan hasil diagnosis dokter yang memvonis Jose dengan cerebral palsy, pada bulan Juni 2013, saya dan suami berencana untuk membawa Jose menjalani pemeriksaan yang lebih baik di Singapura. Namun, lagi-lagi kami harus menghadapi skenario hidup yang tidak menyenangkan.
Tahun itu suami ditipu temannya sendiri. Harta, properti, dan semua tabungan kami ludes dibawa lari. Rumah kami juga ikut menjadi korban. Saya semakin terpuruk. Ya Tuhan cobaan apalagi yang harus saya lalui. Akhirnya keinginan untuk membawa Jose berobat ke luar negeri tertunda. Dalam benak, saya tetap berpikiran positif bahwa suatu saat kondisi Jose akan membaik.

Natal 2014 membuka mata saya tentang kondisi Jose sebenarnya. Pada tanggal 24 Desember pagi, saat kami hendak menghadiri perayaan Natal, pengasuh Jose mengatakan bahwa badan Jose agak hangat. Saat itu Jose terkena flu, pilek, dan batuk. Saya mengira itu gejala pilek biasa. Dia terlihat tertidur tapi dalam kondisi sangat lemas, tak berdaya.

Merasa khawatir, saya lantas menelepon seorang dokter yang pernah menangani Jose dan melaporkan keadaaannya. Dia meminta agar Jose dibawa ke UGD untuk ditolong. Sepanjang perjalanan, napas Jose tidak teratur. Saya hanya bisa menangis dan berdoa agar Tuhan memberikan keajaibannya untuk Jose. Kamu akan sembuh, Nak. Kamu pasti sembuh, kata saya dalam hati.

Aliran udara dari tabung oksigen yang diberikan tim medis sempat membuat kondisi Jose membaik. Melihat ini, saya yang malam itu mendapat tanggung jawab membawa seragam petugas paduan suara di kebaktian Natal, memutuskan untuk meninggalkan Jose sejenak. Kebaktian Natal itu pecah oleh tangis saya saat menceritakan kondisi Jose pada teman-teman. Pelukan mereka dan doa mereka menjadi penghiburan bagi saya malam itu.

Pada hari Natal itu, kami mengharap keajaiban Tuhan datang kepada Jose. Dan memang, dua hari setelah dibawa ke UGD itu, Jose sudah bisa disuapi. Namun, setelah itu dia tidur lama sekali dan tidak terbangun. Kondisinya terus melemah. Dokter Pranada Surya Airlangga, SpAn KIC, Kepala ICU RS Mitra Keluarga, Surabaya, yang menangani Jose mengatakan bahwa putra saya dapat bertahan hidup jika menggunakan ventilator.

Kata-katanya ini membuat saya kaget dan gelisah. Apakah seserius itu kondisinya? Beberapa kali saya tanya kepada dokter apakah itu menjadi satu-satunya jalan. Dengan tegas Dokter mengatakan bahwa tidak ada jalan lain. Jika tidak dipasangi ventilator, paru-paru Jose tidak akan bisa berkembang dengan baik.

Saya tak berani bertanya lebih jauh lagi. Wajah saya sudah pucat membayangkan prosesnya. Tidak tega rasanya membayangkan Jose kecil kami harus dipasang alat ventilator. Dokter menyarankan agar Jose diperiksakan ke Singapura untuk mendapat pemeriksaan yang lebih lengkap dan intensif. Juga untuk membuka misteri apa yang sebenarnya dialami Jose. Namun, kondisi keuangan keluarga tidak mengizinkan. Sudah banyak harta yang habis karena penipuan yang dilakukan teman suami. Dan pengobatan Jose juga tidak murah.

Untuk membawa Jose ke Singapura harus memesan tiket pesawat khusus, yaitu dengan membayar sekitar 6 kursi pesawat. Selain untuk tempat duduk saya dan suami, sisa empat tempat duduk lainnya untuk meletakkan Jose dalam posisi tidur. Kenyataannya, dengan kondisinya yang sangat lemah itu, Jose tidak bisa dibawa dengan pesawat komersial biasa. Sebab, ketinggian pesawat terlalu tinggi untuk bisa diantisipasi tubuh Jose. Satu-satunya jalan hanya menumpang pesawat jet ambulance dengan ongkos US$ 23.000, atau sekitar Rp300 juta, yang sudah dilengkapi dokter dan perawat. Saya dan suami kebingungan. Dari mana uang sebesar itu?
 


Topic

#truestory, #kisahsejati

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?