True Story
Perjuangan Ashni Sastrosubroto Meraih Kemenangan Perangi Kanker

9 Sep 2016


Foto: Dok. Pribadi
 
Di usia 20 tahun dokter memastikan bahwa usia Ashni Sastrosubroto (30) tidak lebih dari tiga minggu lagi. Tanpa gejala yang jelas, tahu-tahu sel ganas kanker darah (leukemia) telah menggerogoti dan melemahkan seluruh sistem dan fungsi tubuhnya, membuat semangat hidupnya ikut turun drastis. Hingga wanita lulusan Master Desain dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menemukan titik balik hidup, yang membantunya lolos dari jerat maut kanker. Kepada femina, ia mengisahkan perjuangannya.
 
TANDA SAMAR
Tidak ada tanda-tanda penyakit dahsyat akan menyerang tubuhnya. Sebagai mahasiswi kala itu, Ashni menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tak menyangka kehidupannya akan berubah drastis, tepat di hari ulang tahun sang ayah, Ashwin Sastrosubroto.

Demam yang telah mendekam di badannya sejak dua hari sebelumnya, belum juga turun. Meski suhunya hanya 37 derajat Celsius, tubuhnya terasa sangat lemas. Wajahnya juga pucat. “Padahal, kami sedang sibuk menyiapkan syukuran kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahun Bapak bersama keluarga besar,” kenang Ashni, yang saat itu masih duduk sebagai mahasiswi tingkat tiga di Jurusan Desain Komunikasi Visual, ITB. Curiga terkena demam berdarah, akhirnya keluarga membawa Ashni ke Unit Gawat Darurat RS Borromeous, Bandung.

Berhubung   saat itu, 17 Mei 2007,  hari libur nasional, keluarga Ashni hanya bisa bertemu dengan dokter jaga. Hasil tes darah membuat dokter memutuskan  Ashni dirawat inap untuk dijadwalkan bertemu dengan dokter spesialis hematologi keesokan harinya. Pertemuan yang kemudian mengubah hidupnya!

Kepada orang tuanya, dokter mengatakan bahwa Ashni menderita  leukemia stadium tinggi yang memerlukan pengobatan kemoterapi sesegera mungkin. Jika tidak, usianya hanya bertahan tiga minggu lagi. Baik dokter maupun orang tua Ashni berusaha merahasiakan kenyataan pahit itu darinya. Ashni hanya tahu, ia  mengalami infeksi darah.

Kanker bukan jenis penyakit yang bisa menunggu. Mengetahui keadaan yang begitu genting, keluarga Ashni langsung meminta second opinion ke National University Hospital di Singapura. Ashni yang belum paham tentang penyakit yang dapat  mengancam kelangsungan hidupnya itu justru tidak begitu memikirkannya. Selama dirawat di Singapura, tubuhnya tidak merasakan sakit. Hanya terasa sangat lemas.

“Tidak pernah terpikir  saya menderita kanker. Bagi saya, kanker hanya ada di sinetron-sinetron,” ujarnya  tersenyum,  mengingat kenaifannya saat itu. Di Singapura, Ashni mengikuti segala jenis observasi untuk mengetahui detail jenis penyakitnya. Namun, firasat tidak enak itu  muncul  saat seorang relawan yang biasa melakukan kunjungan untuk menguatkan pasien di RS, datang ke kamarnya. “Belum sempat ia bicara, saya langsung bertanya padanya, ‘Apakah saya terkena kanker?’ Petugas itu mengangguk perlahan,” ujar Ashni.

“Antara perasaan sedih yang dalam dan tidak percaya,” lanjut Ashni, dengan tatapan menerawang. Sulit baginya menerima kenyataan ini, terutama karena ia merasa bahwa tubuhnya sehat-sehat saja. Ia mencoba mencari tahu langsung tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter yang merawatnya.

Menurut dokter, Ashni mengidap kanker jenis acute lymphoblastic leukemia (ALL) yang biasa menjangkiti anak-anak. Terapi pengobatan yang dijalaninya pun menggunakan prosedur pengobatan untuk anak, meski usianya saat itu sudah dewasa. Selama menjalani perawatan di Singapura pun ia ditangani oleh dokter spesialis anak, Dokter Allen Yeoh. Menurut Dokter Allen, prosedur pengobatan ini akan lebih aman diterapkan untuk penderita di rentang usianya.
 
MENEMUKAN TITIK BALIK
Awal mengetahui vonis, Ashni masih semangat menjalani pengobatan. Ia yakin dirinya dapat sembuh. Apalagi ia merasa bahwa ternyata kanker tidak menyakitkan. “Itu pikiran awal saya sebelum mengenal kemoterapi,” ujarnya, tertawa.

Kemoterapi masih menjadi terapi utama untuk membunuh sel-sel kanker. Melalui pengobatan ini, peluang sembuh bagi penderita kanker naik hingga 90 persen. Hanya, saat itu Ashni  belum paham seperti apa dampak yang ditimbulkan oleh kemoterapi. Rambutnya mulai rontok hebat, kulitnya menghitam seperti terbakar, terkadang sampai mengelupas. Sedihnya lagi, untuk penderita leukemia ALL seperti dirinya, kemoterapi nyaris dilakukan  tiap hari!

Selama itu Ashni harus menjalani berbagai jenis kemoterapi. Mulai dari kemoterapi oral   (konsumsi pil, kapsul, atau cairan), kemoterapi injeksi yang diberikan melalui suntikan pada otot atau lapisan lemak, hingga kemoterapi intravenous, yaitu memasukkan obat ke dalam pembuluh darah melalui infus.

Deraan kemoterapi yang bertubi-tubi ini membuat bobot tubuhnya turun drastis, bahkan sempat menyentuh angka 28 kilogram! Ashni sampai harus duduk di atas kursi roda karena tak lagi bisa menopang tubuhnya. Perut dan pipi saya membuncit, tapi bagian tubuh yang lain kering kerontang. Jelas bukan penampilan yang diidamkan oleh gadis di awal usia 20-an,” tutur Ashni.

Situasi ini diam-diam membuat mental Ashni turun, ia nyaris putus asa. Pernah suatu kali ia berpikir untuk mati saja dengan menyudahi kemo di tengah-tengah proses yang sedang berjalan. “Kemo itu sangat menyakitkan,  tiap hari selama 24 jam badan saya seperti terbakar dan ditusuk-tusuk,” cerita Ashni, sedikit bergidik.  

Menurunnya mental Ashni membuat ia sering hilang kontrol. Ia pernah menghantamkan kepalanya ke tembok, berharap menemukan rasa sakit di bagian kepala untuk melupakan rasa sakit di bagian tubuh yang lain. “Saya sampai dibawa ke dokter kejiwaan,” ujar Ashni.

Kondisi makin buruk saat hubungannya dengan kekasih yang telah berjalan lima tahun harus kandas di tengah jalan. Sang kekasih berselingkuh dengan wanita lain. “Alasannya, dia tidak mau menjadi ayah dari anak-anak yang nantinya menderita kanker. Padahal, leukemia bukan penyakit turunan. Dia hanya pria dungu yang cari-cari alasan untuk berselingkuh. Saya bersyukur kami pisah sebelum melangkah lebih serius,” ceritanya, menertawakan kenyataan sedih yang justru melepaskannya dari kesengsaraan lebih jauh.

Selama masa pengobatan Ashni berkali-kali berhadapan dengan maut. Ia pernah mengalami koma satu hari akibat lemahnya sistem pertahanan tubuhnya. Berbagai penyakit bertubi-tubi menyerang di tubuhnya yang lemah, mulai dari batuk, diare, hingga flu. Meski penyakit tersebut umum diderita orang,  bagi mereka yang menjalani kemoterapi, penyakit tersebut sangat mengancam nyawa! “Saat itu saya dimasukkan ke ICU untuk beberapa hari,” lanjutnya.

Beruntung selama melalui masa-masa sulit tersebut  Ashni dikelilingi orang-orang terdekat yang dengan penuh kasih sayang terus mendukungnya. Dukungan terbesar datang dari keluarga dan teman-teman survivor kanker dari beberapa yayasan kanker. Berkat dukungan itu perlahan Ashni kembali memupuk semangatnya.

Keinginannya untuk sembuh  makin berkobar ketika ia melihat teman-teman  seangkatannya di perkuliahan telah diwisuda. “Saat itulah titik balik saya. Saya merasa iri. Saya ingin menjadi sarjana seperti mereka dan melakukan sesuatu untuk orang tua,” ujarnya, masih berapi-api.
Total dua tahun ia cuti dari perkuliahan untuk menjalani pengobatan. Setahun penuh ia lalui di Singapura, dan sisanya berobat jalan dengan melakukan kontrol rutin ke Singapura tiap 3-4 bulan sekali.

Sebenarnya, setelah 8 bulan pengobatan, sel kanker Ashni sudah dinyatakan hilang. Namun, ia harus tetap menyelesaikan kemoterapinya untuk menghindari tumbuh kembalinya sel kanker, atau relaps. “Antara senang dan sadar bahwa perjalanan saya mungkin masih panjang,” ungkap Ashni.

Ia masih ingat,  saat itu, Desember 2009, seperti yang sudah-sudah, Ashni menjalani pengobatan kemoterapinya. Segalanya berlangsung dalam tahapan dan rutinitas yang sama, sampai kemudian dokter yang merawatnya datang menghampirinya. “Saya dinyatakan sembuh 100% dari kanker,” ungkap Ashni, bahagia.

Mendengar itu, tubuh Ashni tiba-tiba terasa ringan sekali. Seperti daun di musim semi yang jatuh bebas tertiup angin dari rantingnya. “Bulu kuduk saya berdiri. Beban berat yang saya pikul selama dua tahun seperti terangkat begitu saja. Saya menghela napas panjang, berpikir, inikah akhir dari perjuangan saya melawan kanker? Saya menang!” ceritanya, bangga.

Saking bahagianya, Ashni berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya di rumah sakit NUH untuk mengabarkan berita bahagia ini kepada semua dokter dan perawat yang sudah seperti keluarga baginya selama dua tahun terakhir. Ucapan selamat pun mengalir, menambah sukacitanya.

Di antara luapan kebahagiaan itu, Ashni masih sempat menguatkan rekan-rekannya yang masih harus berjuang melawan kanker. “Kanker bukan akhir segalanya. Kanker hanya sebuah penyakit yang sudah memiliki obatnya. Jadi, jangan pernah menyerah,” ucap Ashni, menggebu-gebu.
             
LEBIH KUAT LAGI
Lolos dari kanker, Ashni seolah mendapatkan kehidupannya kembali. Perjuangannya memerangi kanker telah mengubah caranya dalam memandang kehidupan. Ia mengaku menjadi sosok yang lebih menghargai hidup. Ia segera menyelesaikan kuliahnya yang sempat tertunda, lulus, dan bekerja di beberapa perusahaan sebelum akhirnya mengambil jalur wiraswasta.

Bersama kedua temannya, Ashni mendirikan bisnis kuliner dengan membuka sebuah restoran di Kemang, Jakarta Selatan. Bisnis ini pula yang mengantarkannya menjadi Wakil Sekretaris Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Bandung. Di sela-sela kegiatan bisnisnya, Ashni aktif menjadi relawan di beberapa yayasan kanker.

“Saya ingin menyemangati para pasien, sama seperti dokter dan petugas sosial yang menyemangati saya waktu itu. Pengalaman yang dibagi oleh survivor kanker adalah sebuah bukti nyata bahwa kanker dapat disembuhkan,” ujarnya, penuh semangat.

Agar lebih efisien menyebarkan kisah hidupnya melawan kanker, Ashni juga membuat buku berjudul Kamu Sekuat Aku yang mengisahkan perjalanan hidup Ashni dan penjelasan mengenai pengobatan kanker yang dilaluinya. Bukunya ini mendapat respons positif dari masyarakat.

“Saat ini buku pertama sedang dalam proses difilmkan, dan buku ketiga sedang dalam penulisan,” ujar Ashni, yang ingin terus menelurkan karya yang dapat dikenang dan bermanfaat bagi banyak orang.

Di luar dugaan, pada tahun 2012  Ashni mendapatkan beasiswa S-2 dari program Beasiswa Unggulan DIKTI di ITB Jurusan Desain. Setelah lulus, ia menjadi dosen di Telkom University, Bandung. Ia juga aktif menjadi anggota Global Shaper Community-World Economic Forum,  organisasi yang mampu menjembatani impiannya untuk berkarya lebih luas lagi.

Kehidupan personalnya pun diwarnai kebahagiaan. Kini Ashni telah menikah dengan Taufiqurrahman, temannya semasa kuliah dulu. Kisah cintanya bagai skenario di film-film romantis. Hubungan mereka sempat terganjal status Ashni sebagai survivor kanker yang dipertanyakan oleh keluarga pria yang akrab disapa Opik itu. Namun, Opik tak pernah ragu untuk menikahi Ashni.

“Dia sangat vokal, terus memperjuangkan hubungan kami dan membawanya ke jenjang yang lebih serius,” ujar Ashni, yang akhirnya menikah dengan Opik pada 19 Mei 2012. Setahun setelah menikah, rumah tangga keduanya  makin semarak dengan lahirnya putra pertama mereka, Sadewa Sastrosubroto.

Rupanya, Tuhan belum berhenti mengujinya. Empat bulan setelah melahirkan, Ashni kembali dilarikan ke UGD RS Borromeus, Bandung. Malam itu napasnya sesak luar biasa. Dokter memvonisnya, Ashni menderita peripartum cardiomyopathy (PPCM),   gagal jantung setelah melahirkan.

“Saat itu kemampuan jantung saya hanya 20%. Untuk berbicara saja saya kesulitan. Sedih rasanya harus bersahabat kembali dengan obat dan rumah sakit. Tapi, saya berusaha tegar. Saya percaya, perlahan tapi pasti kondisi fisik saya akan membaik, ” ujarnya, penuh harap.

Hingga kini, belum diketahui pasti apa yang menjadi penyebab dari penyakitnya. Namun, pada kasus Ashni besar kemungkinan penyakit ini muncul sebagai efek samping dari kemoterapi yang melemahkan jantung. Alhasil, otot jantungnya kurang begitu kuat saat menjalani proses melahirkan. “Sekarang kemampuan jantung saya sudah naik menjadi 57%,” ujar Ashni, yang harus mengonsumsi obat jantung  tiap hari.

Mau tak mau, penyakit ini memang membuatnya harus membatasi kegiatan agar tidak terlalu capek. Tapi, kondisi ini tidak menjadi alasan pembenaran baginya untuk bersantai-santai atau manja. Ia tidak ingin kalah oleh masalah. Pengalamannya menghadapi kanker menjadi bekal terbaik menjalani cobaan kedua ini. Bahkan, membuatnya lebih kuat lagi.  

Dulu, kanker membuatnya sering menangisi diri sendiri dan menjadi orang paling malang sedunia. “Padahal, kondisi saya punya jalan keluar,” ungkapnya. Masih banyak rencana yang ingin diwujudkannya dalam hidup. Ia ingin menginspirasi dan menjangkau lebih banyak orang, yang berada di posisi yang dulu dirasakannya.

Dalam perjalanannya itu, ia banyak menyaksikan penderita lupus atau AIDS yang perjuangannya tak kalah hebat. Namun, semua rasa sakit itu justru membuat mereka menjadi sosok yang lebih kuat. “Kanker hanyalah satu dari berbagai cobaan yang bisa kita lewati. Jangan mengasihani diri sendiri. Terus semangat untuk sembuh,” pesan Ashni, yang bercita-cita melanjutkan pendidikan S-3.(f)


Topic

#kisahsejati

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?