True Story
Hidup Vicky Antony Sugiarta dengan Autisme dan Pergulatannya Menyongsong Masa Depan

10 May 2017

 
MENJADI KORBAN BULLY
Begitulah, sewaktu Vicky kecil, seluruh waktu kami tercurah kepadanya. Rasanya saya bahkan tak punya waktu untuk diri sendiri. Deraan jenuh, capek, dan frustrasi tentunya pernah mendera. Kadang-kadang saya membatin, dosa dan salah saya apa? Apakah karena sewaktu hamil saya terlalu banyak makan hidangan laut? Entahlah. Terkadang saya juga berkhayal, andai Vicky bukan anak autis.

Saat Vicky kelas 1 SD, ada satu peristiwa yang menjadi titik balik dalam menerima kondisi Vicky apa adanya. Hari itu kebetulan saya tak menunggui Vicky di sekolah karena harus mengurus keperluan kakaknya. Namun, ada asisten rumah tangga (ART) yang mendampinginya. Saat istirahat, Vicky ngeloyor keluar sekolah tanpa setahu ART kami yang sedang ke toilet. Seisi sekolah pun gempar. Vicky hilang!

Saya langsung panik ketika mendengar Vicky hilang. Saya, pihak sekolah, dan keluarga mencari-cari sampai dua jam lamanya. Kalau belum ketemu, saya takkan pulang. Syukurlah, Vicky ditemukan oleh sopir kawan sekolahnya. Dari sekolahnya di daerah Kramat, Jakarta Pusat, Vicky ditemukan di Cempaka Putih. Saya langsung pingsan ketika mendapat telepon bahwa Vicky sudah ditemukan.

“Vicky mau ke Carrefour,” jawabnya, ketika kami tanya hendak ke mana dia. Saat itu, Carrefour di ITC Cempaka Mas memang baru dibuka. Vicky memang paham arah dan lokasi. Kalau saya lupa tempat memarkir mobil di mal, dia bisa mengarahkan saya dengan mudah. Peristiwa hilangnya Vicky inilah yang benar-benar menyadarkan saya. Tuhan seolah mengatakan kepada saya bahwa Dia masih memercayai saya untuk membesarkan Vicky. Jika Tuhan sudah tak percaya, tentu Vicky takkan dikembalikan kepada kami. Tuhan sudah mengaruniai kami anak. Apa pun kondisinya, harus diterima dengan baik.

Perkembangan hasil terapi Vicky yang sangat pesat membuat saya optimistis. Ketika usia Vicky enam tahun, saya masukkan dia ke sekolah dasar reguler yang memiliki kelas khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Di situlah Vicky belajar. Karena sudah sibuk bersekolah, jadwal terapi Vicky saya kurangi. Saya pikir, toh, perkembangan dia sudah bagus. Belakangan, saya menyesali keputusan ini.

Mungkin seharusnya saya lebih mengutamakan terapi, bukan sekolah dahulu. Pasalnya, perkembangan Vicky yang tadinya pesat, jadi menurun. Kalau awalnya Vicky sudah berani melakukan kontak mata dengan orang lain, sejak sekolah kemajuan ini seperti kembali ke titik nol. Meski begitu, saat usia SMP dan SMA, saya tetap bertekad menyekolahkan Vicky ke sekolah reguler. Saya ingin dia juga bisa bersosialisasi dengan anak-anak yang bukan ABK.

Saya tidak menuntut dia bisa bersaing di kelas. Nilai rapornya pun pas-pasan saja. Namun, tantangan terbesar di sekolah reguler adalah bullying. Hal ini pernah saya saksikan dengan mata kepala sendiri, dari jendela kelas Vicky. Suatu hari, seorang kawan sekelasnya menghampiri Vicky dan mengeplak kepalanya dari belakang. Padahal, Vicky sedang duduk diam.

Sejak saat itu saya memutuskan untuk menjadi ‘satpam’ Vicky. Siapa pun yang mengganggunya, apalagi menyakitinya secara fisik, harus berhadapan dengan saya. Saya juga mengajarkan Vicky untuk melawan bila diganggu, tapi dia tidak mau. Jangankan melawan, mengadu pun tidak pernah. Teman-teman perempuannya yang sering melapor kepada saya, kalau  Vicky diganggu oleh kawannya.

Tindakan bullying ini terus dihadapi oleh Vicky. Apalagi ketika Vicky bersekolah di STM. Saya bahkan pernah menarik kerah dan jambang kawan sekelasnya yang mengganggu Vicky. “Kalau kamu macam-macam lagi, saya lapor ke polisi!” ancam saya waktu itu. Respons keras saya ini sempat mendapat peringatan dari seorang kawan. “Angel, kamu seperti preman saja,” kata teman saya. Hanya setahun saja Vicky belajar di STM. Selain karena faktor bullying, pelajaran yang makin kompleks membuat Vicky kesulitan mengikuti.

Sebagai ganti sekolah, saya memasukkan Vicky ke kursus musik. Saya ingin sekali menemukan potensi unggul Vicky. Siapa tahu, musik adalah bidangnya. Dari kursus piano, drum, sampai gitar bass pernah diikuti Vicky. Selain musik, Vicky juga mengikuti kursus desain grafis khusus ABK. Di sinilah ia bertemu dua kawan yang kemudian bermain band dengannya. Band mereka bernama ‘101 Band’. Mereka bahkan pernah menjadi juara satu dalam kompetisi band sesama ABK. Saya sangat bersyukur, di tengah beberapa keterbatasan yang ia miliki, Tuhan memberikan bakat yang lain.
 


Topic

#kisahsejati, #autisme, #anakberkebutuhankhusus

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?