True Story
Eustokia Airin Tidak Patah Semangat Meski Kehilangan Sebagian Besar Kemampuan Fisik

18 Mar 2017

 
MASIH ADA JALAN
Tahun 2005 menjadi titik balik kehidupan Airin. Hal ini terjadi saat ia mengikuti sebuah kebaktian di gereja. Saat itu, seorang penyandang tunanetra, Priskilla Jully, menceritakan pengalaman hidupnya bangkit dari keputusasaan. Priskilla menderita tunanetra sejak lahir, tapi tidak sibuk meratapi nasib. Daripada hanya memikirkan diri sendiri, ia malah mendirikan yayasan di Semarang yang membina 100 penyandang disabilitas.

“Apabila ada orang yang butuh bantuan, Priskilla langsung turun tangan. Saya benar-benar terinspirasi olehnya. Kalau dia bisa, saya juga pasti bisa,” tutur Airin. Semangatnya bangkit lagi. Ia mulai rajin membaca buku, majalah, dan Alkitab. Ia juga mulai berlatih memakai gadget untuk berkomunikasi. Karena jemarinya tak berfungsi, ia menekan keypad ponsel dengan tulang yang menonjol di pangkal ibu jari, dekat pergelangan tangan. Airin gembira karena bisa mengobrol dengan teman-teman lamanya lagi.

Setahun kemudian, setelah kedua orang tuanya memutuskan berpisah, mamanya memboyong Airin ke Jakarta. Mereka tinggal dari satu tempat kos ke tempat  kos lain. Kakak Airin, Andi, juga di Jakarta, tetapi mereka tinggal terpisah. Sementara adik Airin, Vitalia, sejak kecil sudah diasuh oleh keluarga tantenya. Di Jakarta, Airin ingin sekali bekerja, tetapi tak tahu harus bekerja apa. Syukurlah, pada tahun 2007, jalannya terbuka. Ia bertemu dengan Ratnawati Sutejo, pendiri Yayasan Precious One yang melatih dan membuka lapangan pekerjaan bagi para tunarungu.

Dari Ratna, Airin mendapat pekerjaan menerjemahkan buku bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Sebagai modal bekerja, Airin dibekali laptop yang harus dicicilnya sampai lunas. Hingga tahun 2015, Airin aktif bekerja sebagai penerjemah. Tak hanya dari Precious One, kesempatan juga datang dari tempat-tempat lain. Tak kalah dengan orang kantoran, kesibukannya ini bahkan pernah membuatnya begadang dari pagi sampai pagi lagi.

Selain sebagai penerjemah, Airin mulai merintis bisnis online sebagai dropshipper. Ia tak perlu menyetok dan mengirim produk. Ia hanya perlu membuat akun toko online di media sosial, mempromosikan barang dagangan dan mengumpulkan pesanan. Si produsen akan mengirim pesanan kepada pembeli sesuai data yang diterima dari Airin. Kini ia menambah bisnis dengan berjualan cokelat dan kue-kue secara online juga.

Dunia Airin  makin terbuka lebar ketika ia memasang koneksi internet yang lebih kencang. Berkat teknologi, ia bisa berkomunikasi dengan Skype, memiliki teman ngobrol dari luar negeri, memanfaatkan game online Second Life untuk belajar bahasa Inggris, bahkan mengikuti kelas online secara gratis dari Christian Institute on Disability di Amerika. Ia mempelajari psikologi dan teologi yang ilmunya dapat diterapkan untuk merawat orang berkebutuhan khusus.
Bekal ilmu yang dipelajarinya melalui online ini membukakan kesempatan pelayanan baru di gereja yang dijalaninya sejak tahun 2010. Airin menjadi mentor bagi 10 anak muda tunadaksa. Mereka bertemu tiap bulan untuk saling belajar dan berbagi pengalaman hidup. Airin juga sering memberikan kesaksian dalam acara-acara gereja. Bagi Airin, semua ini membuat hidupnya jauh lebih berwarna dan makin semangat. Pikir Airin, kalau ia down, bagaimana dengan anak-anak ini?

Proses panjang yang dilalui Airin perlahan-lahan membuatnya menerima diri sendiri seutuhnya. “Dulu saya malas keluar rumah karena risi  dijadikan tontonan. Jika kursi roda saya lewat, banyak kepala menoleh untuk memperhatikan saya. Mereka bengong memandangi saya, tetapi tak berani bertanya atau menyapa. Namun kini bila ada yang memandangi, saya cukup melempar senyum,” paparnya, tertawa.

Terkadang, ada yang berani bertanya, “Kamu kenapa? Stroke, ya?” Bukannya terganggu, kesempatan ini justru dipakainya untuk mengedukasi orang lain dengan menjelaskan apa yang terjadi  padanya. “Setidaknya, mereka akan mengingat saya jika kelak melakukan perbuatan berbahaya, seperti mengebut, menyetir sambil mengantuk atau naik motor tanpa helm. Jangan sampai ada orang yang bernasib seperti saya,” urai Airin, tersenyum.

Semua kegiatannya ini ikut memompa kepercayaan dirinya. Ia tidak mengurung diri, tapi membuka diri dalam lingkungan pergaulan yang positif, baik dengan teman di tempat kos, gereja, maupun sesama penyandang disabilitas yang aktif bekerja. Bahkan, salah seorang teman lamanya dari Jambi kembali menghubunginya, dan memberanikan diri untuk melamarnya! “Tentu saja, suatu hari nanti saya ingin menikah seperti orang-orang. Hanya, saat ini saya masih membuka diri untuk hubungan pertemanan. Yang jelas, siapa pun nanti jodoh saya, harus bisa menerima diri saya apa adanya,” ungkapnya, bijak.
Selain berdamai dengan diri sendiri, setelah 6 tahun hidup terpisah dan tidak berkomunikasi, Airin kembali melapangkan hatinya untuk memperbaiki hubungan pribadinya dengan papanya. Pada tahun 2012, saat papanya dirawat di rumah sakit karena diabetes, Airin datang menjenguk. “Saya sedih melihat tubuh Papa yang kurus dimakan penyakit,” ungkapnya. Di momen inilah hati keduanya terbuka, dan komunikasi pun terjalin kembali. “Papa tanya, apa saya tak kangen padanya. Saya katakan, saya kangeeen... sekali,” kenang Airin, dengan mata berkaca-kaca. Ia lega, pada tahun yang sama  bisa melepas kepergian papanya untuk menghadap Tuhan dalam damai dan hati ikhlas.

Kini Airin menjalani hidup yang tenang bersama mamanya. “PR saya adalah terus-menerus berlatih mengendalikan emosi. Kadang-kadang saya kehilangan kesabaran karena ingin melakukan sesuatu dengan cepat, tapi terhalang kondisi fisik,” ungkap Airin, yang bersama mamanya membiayai kehidupan mereka dengan bekerja keras. “Prinsip saya, pantang meminta, karena meminta hanya membuat saya merasa kerdil,” tekan Airin.
Ia merasa sangat bersyukur dikaruniai seorang mama yang baginya adalah seorang pejuang kasih. Wanita inilah yang dengan sabar merawat dan membantunya sehari-hari. “Biarlah saya jalani hidup ini selangkah demi selangkah, menebas rintangan satu demi satu,” tekad Airin, yang berencana untuk menjalani terapi cedera tulang belakang sebagai bagian dari usahanya untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemandiriannya.(f)
 
 
Eyi Puspita (Kontributor – Jakarta)


 


Topic

#truestory

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?