True Story
Arya Permana Melawan Obesitas

24 Sep 2016


Foto: Dok. Pribadi

 
Nyaris dua tahun Arya Permana ‘tercabut’ dari keriaan dunia kanak-kanaknya. Jangankan ikut bermain sepak bola dengan teman-temannya, untuk mengangkat tubuhnya sendiri pun Arya kesulitan. Di usianya yang ke-10, ia mengalami obesitas dengan bobot tubuh hampir mencapai 2 kuintal atau hampir 200 kg! Meskipun memiliki prestasi cemerlang di sekolah, Arya terpaksa menjalani kegiatan belajar dari kamarnya yang berukuran 3 x 4 meter persegi. Jauh dari lingkungan pergaulan dan teman-temannya. Keinginannya sangat sederhana, “Saya kepingin sekolah lagi!”
 
SATU MILIAR SEHARI
“Saya terkadang suka menangis karena tidak bisa ke sekolah dan bermain dengan teman-teman lagi,” ungkap Arya, yang sehari-hari hanya bisa berdiam diri di kamar. Apa boleh buat, bobot tubuhnya yang fantastis membuatnya sulit bergerak. Ia tak sanggup berjalan menuju sekolah yang berjarak hanya 40 meter saja dari rumahnya, di Kampung Pasir Pining, Karawang, Jawa Barat. Padahal, Arya sangat menyukai aktivitas sekolah, bahkan ia juga juara kelas.

Terlahir dengan berat badan normal 3,8 kg, ketika menginjak usia 5 tahun berat badan Arya berangsur-angsur naik. Menurut Ade Somantri (40), ayahnya, berat badan Arya mencapai 90 kg di usia 7 tahun, kemudian terus naik hingga 119 kg saat berusia 9 tahun. Tepat di usia 10 tahun, bobot tubuh Arya naik 72 kg,  hingga mencapai bobot 193 kg!

Sang ibunda, Rokayah (35), tak menyangka anaknya akan menjadi seperti sekarang, hidup terbungkus lemak yang berlebih. “Dulu saya selalu menuruti apa yang Arya minta. Tidak mengontrol nafsu makannya,” sesalnya, lirih. Ibu dua anak ini mengaku tidak tega jika harus menolak permintaan anak bungsunya tersebut.

Sebagai ibu yang melahirkan, Rokayah tak pernah merasa lelah mendampingi Arya. Dengan badan sebesar itu, Arya banyak bergantung pada orang untuk melakukan kebutuhan dasar, seperti buang air. “Berdiri saja dia susah, dan kalau terlalu lama katanya pegal,” kisah, Rokayah, yang harus selalu siap 24 jam untuk putranya itu.

Ade mengaku, sebelum Dinas Kesehatan menawarinya bantuan pada tahun 2015, ia sempat memeriksakan Arya ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, sebanyak dua kali. Namun, penghasilan sebagai seorang satpam sebuah yayasan di Karawang tidak mampu membiayai pengobatan. “Biaya transportasi dari Karawang ke Bandung saja sudah mahal, belum lagi biaya rumah sakitnya,” keluh Ade.

Kini, Ade dan Rokayah bisa bernapas lega. Cellica Nurrachadiana selaku Bupati Karawang yang mengetahui kondisi Arya, berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat utnuk menanggung biaya perawatan Arya. Usaha ini dilakukan untuk mencukupi kekurangan pembiayaan dari BPJS milik orang tua Arya. Juli lalu Arya pun diboyong ke RS Hasan Sadikin untuk perawatan lebih lanjut.

Hampir 2 tahun Arya harus bolak-balik Karawang-Bandung untuk menjalani terapi di RS Hasan Sadikin. Selama itu pula ia tidak sekolah dan terpisah dari pergaulan. Tekanan mental yang bercampur baur dengan emosi kanak-kanaknya membuat Arya uring-uringan. Kekesalannya ini memuncak saat ia diinapkan di RS Hasan Sadikin untuk menjalani pemeriksaan intensif. Arya membuat surat tuntutan kepada orang tuanya dan melapor ke tim dokter. Jika di hari pertama masuk sekolah, tanggal 18 Juli 2016, ia belum bisa sekolah, Arya menuntut kedua orang tuanya untuk membayarnya satu miliar rupiah sehari, sebagai kompensasi dari kerugiannya!

Kepikiran saja. Soalnya saya kepingin sekolah!” jawab Arya polos. Lucunya, surat tuntutan itu dibuat Arya dengan mendiktekannya kepada Ade, sang ayah. Mengenang masa itu, sambil tertawa Ade berkomentar, “Itu mah, saya juga bingung. Kalau enam hari di rumah sakit, berarti total 6 miliar.” Selama itu, Arya sering menangis dan meraung ingin pulang saja.
 
KEMBALI KE SEKOLAH
Tekad Arya kembali ke sekolah berhasil mengetuk hati pemerintah lokal. Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, Alma Lucyati, mengajukan permintaan kepada Dinas Pendidikan Jawa Barat untuk mendatangkan guru ke rumah Arya, sehingga ia pun tetap mendapatkan perawatan medis dan tetap terpenuhi hak-hak pendidikannya.

Permintaan ini disambut dengan tangan terbuka oleh guru-guru di SD Negeri Cipurwasari, tempat Arya bersekolah. Tiap hari, guru-guru secara bergantian datang ke rumah Arya agar bocah tersebut bisa tetap mengikuti pelajaran di sekolah, sama seperti teman-temannya. “Terkadang, sekitar 8-12 teman-temannya juga ikut belajar di rumah,” ucap Ade. Bahkan, ujian sekolah pun akhirnya harus ia jalani di rumah.

Melihat perkembangan Arya sekarang, Ade dan Rokayah merasa bahagia. Arya yang saat pertama dibawa ke rumah sakit sempat ngambek dan marah-marah memaksa pulang, akhirnya bisa menerima kondisinya. Menurut Ade, asalkan ia bisa memberikan alasan yang logis, Arya akan menurutinya. “Sekarang nafsu makannya sudah normal. Setelah berkonsultasi dengan tim dokter, saya juga berani bersikap tegas kalau Arya mulai merengek minta jajan atau tidur terlalu larut. Semua saya lakukan karena sayang sama Arya,” Rokayah menambahkan.

Tanggal 18 Juli mungkin akan menjadi hari yang akan dikenang Arya seumur hidupnya. Sebab, di hari pertama masuk ke sekolah itu, Arya bisa mewujudkan impiannya untuk kembali ke sekolah. Dengan kondisinya, jarak 40 meter itu mungkin terasa begitu jauh dan berat. Tetapi, Arya tetap menjalaninya, meski dengan langkah terseok.

Setelah empat bulan menjalani perawatan dari tim dokter RS Hasan Sadikin, kini beban Arya sudah berkurang sebanyak 8 kg, menjadi 183 kg. Saat diwawancara pagi hari sebelum berangkat sekolah, sembari mengikat tali sepatunya  Arya berkomentar, “Sekarang senang. Dulu sedih enggak sekolah.” Rupanya, ia juga merasa tubuhnya  makin membaik. “Dulu, jalan enam langkah rasanya sesak,” kenangnya.

Semua  temannya ikut menyambut bahagia kehadiran Arya. Mereka ikut berjalan bersama Arya, apakah itu pergi ke sekolah, atau pulangnya. “Ada yang bawain tas, lalu mengajak belajar bersama,” cerita Arya, girang. Keinginan untuk kembali menjalani masa kanak-kanaknya secara normal inilah yang memotivasi Arya untuk mengikuti seluruh anjuran dari tim dokter RS Hasan Sadikin yang merawatnya.

Melihat perkembangan putranya kini, Ade dan Rokayah hanya bisa bersyukur dan menangis haru. Kondisi emosional Arya pun kini lebih membaik. “Sekarang Arya marah paling lama 15 menit. Setelah diberi penjelasan juga cepat menuruti dan kembali ceria lagi,” ungkap sang ayah. (f)

Baca juga:


Topic

#obesitasanak

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?