Trending Topic
Web Series: Media Kreativitas Tanpa Batas

26 Aug 2016


Foto: YouTube

Dibandingkan dengan  membuat film, proses pembuatan serial web cenderung lebih mudah dan simpel. Cukup peralatan sederhana, komputer untuk mengedit, dan akses internet, siapa pun bisa memproduksi serial web. Pasalnya, untuk membuat serial web tidak dibutuhkan resolusi gambar yang besar sekali sehingga tidak memerlukan kamera khusus, yang bisa menghasilkan gambar jernih sebesar layar bioskop.

Sebesar-besarnya media penayangan serial web adalah sebesar layar televisi. Di Indonesia pun masih jarang sekali orang menonton internet menggunakan televisi, kebanyakan masih melalui ponsel. Karena itu, tidak jarang para kreator serial web hanya memanfaatkan kamera smartphone untuk proses produksi.

“Saya membuat Bandung Survivor hanya menggunakan kamera DSLR dan smartphone. Dengan peralatan yang sederhana, otomatis bujet bisa dirampingkan,” cerita Prama Yodha (22), sang sutradara yang menghabiskan dana total Rp15 juta untuk proses pembuatan Bandung Survivor.

Menurut Dennis Adhiswara (33), CEO Layaria sekaligus produser dan pendiri Komunitas Web Series Indonesia, selain bermodal peralatan, hal yang wajib dimiliki seorang kreator serial web adalah minat terhadap satu topik dan keinginan mempelajarinya. “Kalau soal kreativitas, sih, sudah menjadi darahnya di industri seperti ini. Tidak mungkin terpisah,” ujar Dennis.

Bagi banyak sineas, serial web saat ini memiliki kelebihan dalam beberapa hal, terutama mengeksplorasi ruang ide. Apalagi tayangan serial web di Indonesia belum melalui tahap sensor sehingga kreativitas bisa seluas mungkin.

“Kita bisa menuangkan seluas-luasnya ide apa pun dan mengeksplorasi imajinasi. Misalnya, cerita zombi yang mungkin tidak akan ditemukan di televisi. Kreativitas kita sebagai sineas diuji. Tinggal bagaimana mengeksekusinya menjadi tayangan menarik,” ujar Prama.

Tentu perlu inovasi dan variasi baru dalam konten untuk membuat tayangan serial web yang menarik.  Kuncinya, ketahui keinginan mereka dan buat karya yang related dengan mereka. “Makin related tayangan yang kita buat,  makin banyak kita bisa menjangkau mereka. Tayangan yang memunculkan pertanyaan dan diskusi bagi penonton  itu akan menarik,” ujar Dennis.

Langkah selanjutnya, jangan berikan begitu saja konten yang mereka inginkan. Buatlah kejutan yang di luar ekspektasi mereka. “Tentu tidak mudah, butuh riset  tiap bulan, bahkan tiap hari. Sebab, video online sangatlah dinamis. Apa yang berlaku hari ini belum tentu esok masih ada,” ujar Dennis.

Berbeda dari film dan serial TV, sebuah film panjang yang telah tayang seminggu atau dua minggu di bioskop akan kembali ditarik dari peredaran. Belum lagi orang harus membayar untuk itu. Demikian pula dengan serial TV  lokal yang tidak bisa dilihat kembali setelah usai, market yang dijangkau pun hanya nasional. Menariknya, tak hanya menjadi media pembelajaran, nantinya serial web bisa menjadi sumber penghasilan bagi kreator. Misalnya, ketika kreator menggunakan YouTube sebagai ‘televisi’ untuk menayangkan serialnya. Jika channel miliknya sudah berekanan dengan Youtube, akan ada sharing profit sebesar satu dolar untuk  tiap 1.000 pengunjung.
 
“Mungkin keuntungan material tidak seberapa, keuntungan lain yang lebih berharga buat saya sebagai sutradara baru, yaitu  makin banyak orang melihat karya saya. Dari situ saya dapat membangun jaringan yang lebih luas, bahkan saya mendapat klien yang meminta saya membuatkan serial web untuk produk mereka,” ujar Prama, bangga.

Melalui proses sederhana, bukan berarti tidak ada tantangannya. Menurut Andri, kendala yang paling sering ditemukan sama seperti ketika membuat film, yaitu bujet. Namun, kini ada banyak cara untuk mengatasi bujet, selain mencari investor. Kreator serial web bisa melakukan kerja sama dengan sebuah merek produk dengan menjual ide mereka. Prosesnya menawarkan ide kepada sebuah brand dengan memasukkan produk brand dalam serial. “Pada akhirnya banyak sekali teman yang membuat serial web dimasuki sponsor. Sponsor kan berbeda dengan investor, mereka tidak akan tanya kapan uangnya akan kembali. Yang penting produk mereka bisa dipromosikan di serial web tersebut. Jadi, sama-sama diuntungkan,” ujar Andi.

Bebeda dari film yang memiliki lembaga sensor sendiri, tayangan berbasis internet sering kali dikhawatirkan bermuatan negatif. Pasalnya, hingga kini tayangan berbasis internet, termasuk serial web, belum melalui tahapan penyensoran oleh lembaga. Penyensoran pada serial web harus dilakukan sendiri oleh kreator.

“Ini adalah era on demand dan era kebebasan berkreasi di internet. Kami sangat menjunjung kebebasan berekspresi, tapi kami sebagai kreator juga ingin bertanggung jawab terhadap karya yang kami buat. Kami punya kesadaran penuh bahwa siapa pun yang menonton konten kami bisa saja mengambil informasi dari konten kami sehingga menentukan yang mereka lakukan di kemudian hari,” jelas Dennis.

“Di sini adalah pembuktian kami bahwa kami bisa menyensor diri kami sendiri. Kami juga mengajarkan penonton untuk bisa menyensor dirinya sendiri. Saya lebih percaya selfsensorship daripada yang dilembagakan. Kami menganggap bahwa sebagai bangsa yang maju, pasti kita sudah bisa menyaring sendiri apa yang ingin kita konsumsi,” ujar Dennis. (f)
 
Baca juga Web Series: Tontonan Serial Kekinian
 


Topic

#serialtv

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?