Trending Topic
Wanita-Wanita dalam Sejarah Islam

7 Jun 2016



Tak berlebihan jika para pembimbing umrah mengatakan bahwa ibadah sa’i justru lebih berat daripada tawaf. Selain mindset bahwa sa’i tidaklah menjadi tolok ukur sah atau tidaknya ibadah umrah kita, berjalan sejauh kurang lebih 3 km melintasi jalur Bukit Safa-Marwah sebanyak 7 kali tentu bukan hal yang mudah.

Saat ini jalan jalur Bukit Safa-Marwah sudah dilapisi keramik dan terlindung dari panas matahari di balik bangunan kokoh berpendingin udara yang menyatu dengan area Masjidil Haram. Jika haus, silakan meneguk kesegaran air zamzam yang tersedia dalam dispenser-dispenser yang banyak tersedia di sepanjang jalur Bukit Safa-Marwah.

Tentu kondisi itu berbeda dengan yang dihadapi Hajar, ibunda Nabi Ismail dan istri Nabi Ibrahim, ketika pontang-panting mencari air di tengah bukit tandus dan gersang untuk anaknya yang kehausan. Melalui ketegaran dan kegigihan Hajar, hadirlah mukjizat air zamzam yang penuh manfaat. Menyadari hal ini, membesarkan hati saya bahwa sejak sebelum Islam turun pun wanita telah memiliki peran besar dalam pembentukan sejarahnya. Begitu besarnya hingga jutaan muslim pun mengenang perjalanannya menemukan mukjizat itu  tiap tahunnya.

Bicara mengenai wanita dalam sejarah Islam tak akan lengkap tanpa menyinggung nama Khadijah binti Khuwaylid, istri pertama Rasulullah Muhammad SAW. Tak heran jika di tengah-tengah jadwal ibadah umrah maupun haji, mayoritas tour & travel akan membawa jemaahnya berziarah ke makam Siti Khadijah di kompleks pemakaman Ma’la di Mekah, meski mungkin hanya sekadar melewati kompleks pemakamannya dan berdoa dari atas bus.
           
Menurut Zuhairi Misrawi, Direktur Masyarakat Muslim Moderat Indonesia, peran wanita dalam sejarah Islam memang sangat sentral. Dan jejak pertamanya ada pada Khadijah. Wanita ini merupakan salah satu saudagar terkaya, tokoh masyarakat, dan putri dari salah satu klan terhormat di Arab Saudi pada masa itu. “Dengan kedudukannya dalam masyarakat, Khadijah memiliki pengaruh besar terhadap datangnya Islam karena sangat mendukung perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam membangun komunitas baru yang disebut dengan komunitas muslim,” ujar lulusan jurusan filsafat, Universitar Al-Azhar, Kairo, Mesir, ini.
           
Dari Khadijah, Nabi Muhammad SAW belajar tentang merkantilisme. Teori ekonomi tersebut menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan bahwa besarnya jumlah perdagangan global sangat penting. “Dari Khadijah pula, Nabi Muhammad belajar mengenai agama-agama lain dan keragaman. Karena, sebelum menikahi  Rasul, Khadijah adalah seorang kristiani,” papar Zuhairi.
           
Nama wanita lain yang juga berpengaruh dalam sejarah Islam adalah Aisyah Binti Abu Bakar. Istri kedua Nabi Muhammad SAW setelah Khadijah meninggal ini tidak hanya memiliki peran domestik. Ia juga merupakan cendekiawan Islam generasi pertama yang memiliki keunggulan dalam ilmu fikih, kesehatan, dan syair Arab.

Menurut sejarawan Sunni, wanita yang dijuluki Ummul Mukminin --ibu dari orang-orang yang percaya dan berserah-- itu merupakan satu-satunya wanita yang pernah meriwayatkan 2.210 hadis Rasulullah SAW sepanjang hidupnya. Dalam buku-buku hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dituliskan, banyak sekali  hadis tentang wanita yang diriwayatkan Aisyah. Bagaimana romantisisme Nabi Muhammad SAW sebagai suami menggambarkan bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan istrinya. Yang menarik dari Aisyah adalah ia juga ikut berperang ke medan perang.

Melewati sisi timur Masjid Nabawi di Madinah, Anda akan menemui sebuah kompleks pemakaman luas, yakni kompleks pemakaman Baqi. Di sanalah tempat peristirahatan terakhir Aisyah. Di sana pula dimakamkan anak-anak dan banyak sahabat Rasul. Jemaah haji maupun umrah yang meninggal di Madinah juga dimakamkan di tempat ini, dari mana pun ia berasal dan apa pun kebangsaannya. Tak heran jika banyak jemaah yang kemudian merindukan ingin menutup usia di Madinah.

Wanita ketiga yang juga memiliki sumbangsih penting dalam sejarah Islam adalah Fatimah binti Muhammad, putri bungsu Nabi Muhammad SAW dari Khadijah. Sama seperti Aisyah, Fatimah juga banyak menuliskan perkataan, nasihat, dan peristiwa-peristiwa penting yang dialami ayahnya. “Hadis-hadis yang diriwayatkan Fatimah banyak membantu kita memahami kedudukan wanita dalam Islam. Berbeda dari pemahaman orang awam selama ini, Islam sangat menjunjung tinggi derajat wanita. Bahkan, wanita didorong untuk memiliki peran aktif di ruang publik,” paparnya.

Kata Zuhairi, keistimewaan Fatimah pun tergambar lewat ucapan   Rasul, “’Saya akan masuk surga. Tapi, Fatimah akan lebih dulu masuk surga.’ Ia memang telah melihat ada sesuatu yang luar biasa dari diri Fatimah,” ujar Zuhairi.
 
Konstruksi Politik dan Budaya
Sejarah dan kiprah ketiga wanita istimewa ini menunjukkan bahwa wanita-wanita pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak jauh berbeda dengan wanita-wanita pada zaman modern ini. Mereka tidak hanya aktif di ruang domestik –mengurus suami dan rumah tangga, serta mendidik anak– tapi juga aktif di ruang-ruang publik.
           
Namun, setelah Islam berubah menjadi dinasti atau memasuki zaman khalifah, dari Dinasti Umayyah di Jazirah Arab dan sekitarnya (651 – 750 M), Dinasti Abbasiyah di Baghdad (750 – 1258 M), hingga Dinasti Utsmaniyah atau Ottoman di Turki (1299 – 1923), wanita seakan-akan ‘ditarik’ dari ruang publik dan kembali fokus pada peran domestik saja. “Ini adalah periode kemunduran dalam sejarah Islam. Karena kemudian kita tidak mendengar lagi sosok-sosok wanita yang menonjol,” ujar Zuhairi.

Kejatuhan Dinasti Ottoman pada tahun 1923 mendobrak itu semua. Bahkan, kejatuhan dinasti tersebut dimulai dengan gerakan-gerakan wanita dalam Islam. Sejak saat itu, bermunculan beberapa nama wanita yang berpengaruh dan memiliki peran aktif di dunia politik, ekonomi, pemberdayaan wanita, dan bidang-bidang lainnya.

Beberapa contohnya datang dari Mesir, yaitu Heba Raouf Ezzat (dosen politik yang aktif mengedukasi masyarakat mengenai persamaan gender dan pemberdayaan wanita), Nawal El Shadawi (penulis, aktivis, ahli fisika, dan psikiater), dan Aisyah Abdurrahman (tokoh tafsir Alquran dan sastra). Sementara itu, dari Maroko ada Fatema Marnesi, seorang penulis, aktivis feminisme, dan sosiolog).

Zuhairi berujar, yang menyebabkan peran wanita setelah zaman Rasul termarjinalkan adalah faktor politik dan faktor keagamaan yang dikonstruksi sedemikian rupa menjadi sangat patriarkat, tidak berpihak kepada wanita. “Hal ini sebetulnya kondisi di Arab sebelum Islam ada. Budaya Arab ketika itu menempatkan  wanita dalam ranah domestik dan tidak mengizinkan wanita memiliki peran signifikan di ruang publik,” ungkapnya.

Padahal, bagaimana Islam memandang dan memosisikan wanita sebenarnya tercermin lewat teladan hidup Khadijah dan hadis-hadis yang diriwayatkan Aisyah serta Fatimah. Sayangnya, faktor politik menyebabkan tafsir-tafsir yang dituliskan Fatimah menghilang begitu saja. “Sehingga tidak ada dalil yang kuat untuk meluruskan kesalahpahaman dalam memaknai posisi wanita di dalam Islam yang membuat kita memiliki pandangan yang sempit dan kurang berpihak kepada wanita,” jelas Zuhairi.

Tafsir-tafsir Fatimah dimunculkan kembali oleh kaum Syiah di Iran. Mereka melihat bahwa Fatimah adalah sosok yang dizalimi oleh sejarah. Namun, upaya kaum Syiah untuk mengangkat hal ini pun sempat mendapat tentangan dari kaum Sunni karena dapat merekonstruksi pandangan atau pemahaman kita akan Islam,” jelas Zuhairi.

Masyarakat Iran terlihat jelas meneladani hadis-hadis yang diriwayatkan Fatimah dengan sangat kuat. Mereka memberikan ruang yang sangat besar bagi wanita untuk berkontribusi di berbagai sektor, mulai dari kedokteran, jurnalistik, hingga pemerintahan.

“Di sana juga banyak wanita yang menjadi ulama dan kiai. Bangsa Iran menganggap bahwa   jika diberikan tanggung jawab, wanita akan melaksanakan tanggung jawab itu sebaik mungkin, lebih baik daripada pria,” tutur Zuhairi, yang menggambarkan mulianya sosok Fatimah bagi bangsa Iran terlihat dari banyaknya wanita yang bernama Fatimah di sana.

Zaman Rasul adalah zaman keemasan bagi wanita dalam sejarah Islam. Figur-figur wanita ideal hadir di masa itu lewat sosok Khadijah, Aisyah, dan Fatimah. “Salah satu kesalahan terbesar dalam sejarah Islam adalah membiarkan kondisi politik dan budaya mengekang wanita untuk dapat berperan aktif di ruang publik,” paparnya.

Dari Khadijah kita belajar bahwa di tengah pengabdian dan dukungannya untuk suami, wanita juga perlu mandiri. Dari Khadijah pula kita belajar kerja sama dan sikap saling menghargai dalam rumah tangga. Sementara itu, dari Aisyah kita belajar kelembutan, keberanian, dan kecerdasan. Di balik ketegarannya, ada sikap istri yang penuh cinta dan manja, sangat sepadan dengan sifat romantis Rasul. Hubungan keduanya menunjukkan bahwa hubungan suami-istri seharusnya luwes, tidak kaku, dan berasaskan pada keadilan.

Dari putri Rasul yang ia juluki Fatimah Az-zahra, Fatimah yang berseri-seri, kita belajar mengenai ketulusan, pengabdian, ketekunan, dedikasi, dan cinta kasih. Keteladanan ketiga wanita ini seharusnya menginspirasi kita bahwa wanita harus banyak belajar dan meningkatkan kecerdasan, serta memiliki peran signifikan di ruang publik yang memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya.

“Seperti kata sebuah hadis, ‘Wanita adalah pilar sebuah bangsa. Jika pilarnya kuat, maka bangsanya akan kuat. Apabila wanitanya lemah, maka bangsa itu pun akan lemah,’” tutur Zuhairi. Sayangnya, selama ini hadis ini dimaknai terlalu sempit, bahwa makna kekuatan wanita hanya terletak pada keindahan akhlak dan kebaikan moral. Padahal, kekuatan wanita yang dimaksud dalam hadis ini adalah kualitas dari wanita yang juga mencakup kecerdasan, kemandirian, serta kontribusinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan bidang yang mereka kuasai. (f)
 


EKA JANUWATI
 


Topic

#puasadanlebaran

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?