Trending Topic
Tren Preloved Online Shop: Ketika Barang Bekas Naik Kelas

8 Nov 2016


Foto: Fotosearch

Dulu, barang second memiliki reputasi sebagai sesuatu yang tak menarik lagi, karena bekas dipakai orang lain. Kalaupun ada barang second yang diperjualbelikan, biasanya terbatas hanya di dunia otomotif atau properti. Kini, jual beli barang second telah berkembang dan merambah ke dunia fashion. Meski berstatus ‘bekas’, sebuah barang, terutama yang bermerek premium, tetap memiliki nilai tinggi selama dirawat dan dikemas dengan baik. Industri preloved shop online yang kini menjamur pun makin mendongkrak reputasi barang second.
 
Mengikuti Selebritas
Sekitar tiga dekade lalu, memiliki rumah, mobil, atau motor bekas kepunyaan orang lain adalah hal yang biasa. Hal ini berbeda dengan barang fashion yang saat itu cenderung mengutamakan gengsi. Orang yang membeli produk fashion bekas dianggap tidak berkelas. Kalaupun ada jual-beli barang-barang fashion bekas seperti pakaian, tas, maupun sepatu, biasanya terjadi di pasar-pasar dan toko-toko kecil dengan proses transaksi yang dilakukan secara diam-diam. Pelakunya pun kebanyakan dari golongan menengah ke bawah yang ingin tampil trendi dengan bujet murah.

Di masa sekarang, industri jual-beli barang second hand telah bergeser memasuki dunia fashion dan merambah kalangan menengah atas. Di mata Syahmedi Dean, pengamat mode dan gaya hidup, fenomena ini juga dipengaruhi oleh teknologi informasi dan media online saat ini yang makin memudahkan masyarakat untuk mengakses tren fashion maupun gaya hidup terkini.
 
Dari situlah muncul sebuah kebutuhan untuk selalu tampil up-to-date mengikuti gaya hidup dan tren fashion terbaru. “Di Jakarta, masyarakat kelas menengahnya berprinsip: ‘rezeki tak akan ke mana’. Bagi mereka, uang bisa dicari. Tapi, soal gengsi, tetap harus diikuti, apa pun caranya,” ujar pria yang biasa disapa Dean ini. Menurutnya, prinsip semacam itu diterapkan oleh mayoritas masyarakat kota besar.
 
Keinginan untuk selalu tampil trendi itulah yang menyebabkan barang-barang fashion bermerek high-end selalu diminati, meski bekas. Dalam industri fashion, para pelaku marketing selalu memiliki cara untuk memasarkan produknya, termasuk barang bekas. Istilah preloved yang muncul pun, di mata Dean, adalah bagian dari strategi marketing. “Preloved itu sebenarnya sama saja dengan barang bekas. Hanya, istilah itu lebih halus dan berkelas. Dalam dunia fashion, selalu lahir kreativitas baru. Istilah preloved adalah bagian dari kreativitas itu,” jelas Dean.  
 
Bagus Takwin, dosen, penulis, dan peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, berpendapat, terjadinya pergeseran industri jual-beli barang preloved ini salah satunya disebabkan oleh kebiasaan selebritas yang berbelanja barang fashion second hand untuk menunjang penampilan mereka. Beberapa selebritas tak malu mengakui kebiasaan mereka itu secara terbuka. “Manusia punya kecenderungan mengikuti suatu hal yang dianggapnya menarik. Apalagi, bila yang melakukannya itu adalah sosok idola atau public figure,” jelas Bagus.
 
Di kalangan selebritas Hollywood, salah satu nama yang terkenal sering berbelanja barang preloved adalah Julia Roberts. Di balik penampilan glamor saat berpose di karpet merah, Julia ternyata kerap berbelanja pakaian bekas untuk anak-anaknya di sebuah toko barang bekas yang berlokasi di New Mexico. “Saya selalu terkesan pada pakaian second yang berdesain keren, tapi dijual dengan harga murah,” ujar Julia. Di Indonesia, tren bisnis preloved shop juga diikuti beberapa selebritas, seperti Nia Ramadhani, Andien, Dewi Rezer, dan Mario Lawalata.

‘Ulah” selebritas ini yang menurut Bagus menyebabkan pergeseran. Dulu, hanya segelintir orang yang mau mengaku bahwa pakaian yang dikenakan adalah barang bekas. Kini, dengan  makin banyaknya public figure yang terbuka mengaku senang berbelanja pakaian bekas, masyarakat pun mengikutinya.
“Hal ini membuat masyarakat berpikir, ‘Selebritas saja tak segan memakai barang bekas, mengapa saya harus malu?’ Berbelanja barang preloved pun menjadi semacam tren yang harus diikuti,” tegas Bagus.
 
Jaga Gengsi dengan Realistis
Pergaulan masyarakat di kota besar zaman sekarang memang makin tak bisa dipisahkan dari gengsi. Saat kaum urban dengan daya konsumtif tinggi sedang berkumpul bersama kelompoknya, bahasan tentang penampilan dan gaya hiduplah yang paling sering dibicarakan. “Mereka jarang membicarakan pencapaian hidup atau prestasi dalam pekerjaan. Brand fashion yang Anda kenakan, menjadi topik favorit mereka. Makin mahal harga produk yang dimiliki, makin tinggi gengsi yang didapat,” ujar Dean.  
 
Kondisi ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh sejumlah perusahaan e-commerce dengan menciptakan sebuah platform khusus preloved shopping, di antaranya adalah Carousell, Prelo, dan Reebonz. Preloved shop juga cukup berkembang di media sosial Instagram. Beberapa akun yang kerap dijadikan rujukan para penggila produk fashion branded adalah @hunt_street dan @acollectivemarket.

Di tempat-tempat itulah para penggemar barang fashion branded bertemu. Di satu sisi, mereka yang telah bosan bisa menjual barang branded miliknya, lalu mendapat keuntungan. Di sisi lain, mereka yang ingin mendongkrak penampilan melalui barang fashion bermerek, akan membelinya. “Maka, simbiosis yang saling menguntungkan pun terjadi,” cetus Dean.

Di platform tersebut, berbagai barang fashion branded bekas berkualitas bagus dijual dengan harga sangat murah. Di Prelo misalnya, jam tangan merek Emporio Armani dijual dengan harga Rp9,5 juta, dari harga asli Rp11 juta. Dompet merek Prada dijual seharga Rp6 jutaan, dari harga asli yang mencapai Rp16 jutaan. Di Reebonz, tas merek Chanel dijual dengan harga Rp18 jutaan, dari harga asli yang mencapai Rp30 jutaan. Ikat pinggang merek Bottega Veneta pun dijual seharga Rp6 jutaan, dari harga aslinya sebesar Rp7 jutaan.

Di akun Carousell ‘miiinks’ milik Nyoman Yanatri (30), jam tangan merek Fossil dengan harga Rp2 juta, dijual kembali seharga Rp450.000. Di akun Instagram @acollectivemarket, tas merek Fendi yang harga aslinya sekitar Rp20 jutaan, dijual kembali dengan harga lebih murah: Rp13,5 juta.

Menurut Dea Chandra Marella, Strategic Partnership Manager Prelo, preloved shopping sekarang menjadi lebih booming seiring berkembangnya tren online shopping.  “Banyak orang yang kini lebih memilih menjual atau membeli barang bekas melalui media online. Sebab, akses terhadap media sosial dan smartphone kini sudah makin mudah dan cepat. Plus, masyarakat di Indonesia cukup konsumtif,” ujar Dea. Hal inilah yang menyebabkan industri e-commerce  tumbuh subur.

Begitu pula dengan Carousell. Menurut Olivia Lautner, Associate Head Manager Carousell Indonesia, hingga saat ini sudah ada lebih dari 1 juta barang bekas  bermerek yang dijual di tempatnya. Jenis barangnya pun bermacam-macam, mulai dari pakaian, aksesori, sepatu, tas, gawai, hingga kosmetik.

Olivia mengungkapkan, istilah preloved muncul atas dasar kecenderungan orang Indonesia yang mudah jatuh cinta pada barang baru. “Inilah awal mulanya barang second menjadi tren. Flea market ataupun garage sale yang digelar untuk menggalang donasi maupun keperluan pribadi menjadi cikal bakal preloved culture di masyarakat,” jelas Olivia.

Memakai produk fashion bermerek premium memang ampuh menaikkan gengsi. Hal itu diakui oleh Nilta (40), pembeli aktif barang preloved, meski ia merasa mampu membeli tas branded baru seperti Chanel, Hermes, dan Louis Vuitton seharga puluhan juta rupiah.

“Saya suka karena belanja barang preloved selalu menguntungkan. Pernah, saya membeli sebuah tas seharga Rp40 juta, lebih murah dari harga baru yang mencapai Rp60 juta. Memakai barang mahal dan bermerek memang memberikan kepuasan tersendiri,” ujar wanita yang memiliki 5 buah tas branded preloved dengan kondisi prima ini. 

Saat ini, di mata Bagus, Indonesia memiliki populasi kelas menengah dengan gaya hidup konsumtif yang sedang tumbuh pesat. Plus kualitas pendidikan, akses informasi, dan status sosial mereka yang juga sedang bagus-bagusnya. Sayangnya, dilihat dari segi penghasilan, tak banyak orang yang mengalami peningkatan secara signifikan.

Karena itulah, mereka pun mencari alternatif untuk bisa mendongkrak gengsi, tapi sesuai kondisi kantong. Menurutnya, dengan adanya bisnis preloved shop, penggila gengsi punya kesempatan mendapat barang idaman dengan harga miring. “Mencapai gengsi itu tak akan pernah ada habisnya. Maka, preloved shopping sebenarnya menjadi solusi efektif bagi kaum berpenghasilan pas-pasan, tapi ingin tampil gaya. Mereka meraih gengsi justru dengan cara realistis,” cetus Bagus.
 
Berprospek Cerah
Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, jual-beli produk fashion bekas  sudah lebih dulu berkembang. Hanya, industrinya lebih marak di toko konvensional dibandingkan online. Di Jepang, sejumlah nama toko second hand yang populer yaitu Junk Yard, Jumble Store, Pigstry, Used Clothing, dan Komehyou. Lokasi toko-toko tersebut tersebar di kawasan kota besar, seperti Tokyo, Nagoya, Osaka, Shibuya, dan Shinjuku.

Di AS, beberapa toko barang second yang terkenal yaitu Plato’s Closet, Just Like New Consignment, 2 Refind, dan Goodwill Retail Store. Toko-toko tersebut kerap menjadi ‘surga belanja’ bagi para penggila barang vintage. Barang yang disediakan tak hanya fashion, tapi juga produk lain seperti elektronik, buku, dan peralatan rumah tangga. Asosiasi Perdagangan AS tahun 2013 mencatat, ada sekitar 25.000 toko barang bekas yang tersebar di berbagai negara bagian di AS. Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring waktu.

“Toko-toko barang bekas di AS maupun Jepang selalu ramai pengunjung. Ini karena masyarakat di negara tersebut sudah menyadari pentingnya hidup hemat dan melakukan upaya ramah lingkungan,” ujar Bagus.
Karena itu, Bagus menyambut baik fenomena preloved shopping. Sebab, ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah  makin cermat menggunakan uang secara efektif. “Gengsi tetap tercapai, kebutuhan dasar pun tetap terpenuhi,” imbuhnya.

Tidak seperti di negara maju yang masyarakatnya lebih suka berbelanja barang bekas di toko konvensional, orang-orang di Indonesia justru lebih senang berbelanja di toko online atau sesekali di bazar. Padahal, tiap kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Makassar, Palembang, dan Bandung, memiliki pasar yang menjual produk fashion branded dengan harga miring.

Berdasarkan polling femina terhadap 100 pembaca, 43% membeli secara online baik lewat apps maupun media sosial, 38% mengaku intens berbelanja barang bekas di bazar, dan 19% membeli barang bekas di toko konvensional.
Infografis: Dok. Femina
 
Di mata Alyssa Rusli (30), pemilk preloved shop @acollectivemarket di Instagram, jumlah pengguna media sosial yang makin masif secara otomatis membuat preloved shop di media online kian diminati. “Mayoritas pelanggan saya mengaku lebih suka belanja online karena lebih praktis, cepat, dan hemat waktu. Kondisi jalanan yang macet juga membuat mereka malas ke luar rumah,” ujar Alyssa, yang mulai berbisnis barang bekas sejak tahun 2013.

Selain soal kepraktisan dan efektivitas waktu, Dean tak memungkiri bahwa berbelanja barang bekas di media online terbilang lebih ‘aman’, karena meminimalkan risiko tepergok orang lain. “Namanya juga membeli barang bekas, pasti muncul perasaan gengsi, walau sedikit. Namun, di media online, Anda bebas berbelanja barang bekas melalui akun pribadi yang bisa disamarkan,” ujar Dean.

Maka, berbelanja barang bekas di toko online pun menjadi pilihan Nurul. Menurutnya, barang-barang bekas yang dijual di toko online harganya relatif lebih murah daripada di toko konvensional. “Biasanya, toko konvensional perlu membayar biaya sewa lokasi. Ini menyebabkan harga jualnya lebih mahal. Di toko online, sudah harganya murah, kualitasnya juga tepercaya, kok,” ujar Nurul. Untuk memastikan toko online bereputasi baik, Nurul selalu mengecek kolom testimoni ataupun rekomendasi dari kenalan.

Dari segi penjual, bisnis barang bekas juga mendulang profit dalam jumlah menggiurkan, seperti yang dialami Marissa Tumbuan. “Selain keuntungan bersih penjualan tas, saya juga mendapat profit lebih saat membantu menjualkan tas titipan teman,” kata Marissa.

Mengingat populasi kelas menengah yang berkembang pesat lengkap dengan gaya hidup konsumtif, Bagus memprediksi industri preloved shop akan tetap marak dalam beberapa tahun ke depan. “Penghasilan kaum kelas menengah biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka tak bisa terlalu sering membiayai gaya hidup. Makanya, membeli barang bekas pun jadi solusi,” kata Bagus.

Hal itu diamini pula oleh Dean. Menurutnya, di negara dengan jenjang ekonomi yang berlapis-lapis seperti di Indonesia akan membuat barang bekas akan tetap diminati. “Media online tetap akan menjadi sarana paling ampuh untuk menjual maupun membeli barang bekas. Zaman sekarang, media online mampu menciptakan efek lebih signifikan daripada iklan fashion konvensional,” ujar Dean. (f)
 


Topic

#TrenShopping

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?