Trending Topic
Tahun Darurat Kekerasan Seksual

4 May 2016


Foto: Fotosearch

Kekerasan terhadap anak yang  terjadi merata di seluruh Indonesia  adalah fakta yang membuat kita makin prihatin. Apalagi, tindakan kriminal ini bisa terjadi di mana saja, di rumah bahkan di ruang publik. Pelakunya pun banyak berasal dari lingkungan terdekat korban, orang yang mereka percayai, serta tokoh masyarakat, seperti teman sepermainan, orang tua, guru, kepala sekolah, ustaz, bahkan polisi.

Tahun lalu, dari 3.339 kasus  kekerasan anak yang diterima Komisi Nasional Perlindungan Anak, 58% di antaranya adalah kejahatan seksual, 30% kekerasan fisik, dan sisanya adalah kekerasan psikis atau penelantaran.

Dari sini terlihat bahwa kekerasan seksual terhadap anak lebih dominan dibanding kekerasan fisik  dan  psikologis. “Bayangkan,  tiap hari lebih dari 50 anak telah dirampas masa depannya melalui kekerasan seksual!” ujar psikolog forensik atau profiler Komisaris Besar Polisi Drs. Arif Nurcahyo, MA, Asesor SDM POLRI, prihatin.  

Sebenarnya  apa yang dimaksud dengan kekerasan atau pelecehan seksual? “Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan  terhadap seorang anak, di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak sebagai objek rangsangan seksual,” jelas Arif. Dalam hal ini termasuk pada bentuk pemerkosaan yang menyebabkan kematian.

Sedangkan menurut  Dr. Kristi Purwandari, M.Hum, pendiri Yayasan Pulih, ada dua jenis pelecehan seksual, yaitu yang bisa dimanipulasi secara fisik dan yang tidak ada manipulasi fisik, seperti hanya diraba-raba atau jadi  pembangkit gairah seksualnya.

Arif menambahkan, yang disebut pelecehan memang tidak harus terjadi penetrasi. Pelecehan bisa lewat media foto, atau melakukan aktivitas seksual tertentu disaksikan anak kecil, yang penting kehadiran anak tersebut menjadi sensasi seksualnya. “Tidak pandang  bulu, anak-anak yang menjadi korban bisa anak laki-laki ataupun anak perempuan,” jelas Arif.

Lalu, apa yang menyebabkan pelaku melakukannya? Menurut Arif, ada dua macam jenis pelaku. Pertama adalah pelaku yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak sebagai reaksi spontan terhadap rangsangan di luar dirinya. Rangsangan ini bisa bersifat kolektif, yaitu terinspirasi dari perbuatan orang lain, atau dipaksa melakukannya. “Ini biasa terjadi pada orang yang ingin bereksplorasi pengalaman seksual terhadap orang di sekitarnya atau peer group-nya,” kata Arif.

Menurut penelitian, kekerasan seksual yang dilakukan spontan juga banyak dipengaruhi oleh pornografi yang berasal dari teknologi informasi. Maklum, kini dengan kecanggihan teknologi informasi, anak-anak yang fungsi otaknya belum bisa memilah mana yang bahaya bisa dengan mudah menemukan konten pornografi lewat video, game online, hingga internet yang bisa diakses lewat smartphone.  

Tipe pelaku yang kedua adalah yang dikenal sebagai penderita pedofilia. Ia adalah pelaku berusia 18 tahun ke atas yang memiliki libido tak terkendali ketika melihat anak-anak. “Kehadiran anak dimanfaatkan sebagai objek perangsang atau sasaran langsung naluri seksualnya. Baik sekadar fantasi seksual sebagai objek pasif atau objek seksual secara langsung dengan kontak fisik,” ungkap Arif.

Dorongan seksual ini biasa muncul berulang dan bisa disebabkan oleh  faktor biologis, genetis, hingga pengalaman traumatis usia dini. Sebagai catatan, pedofilia ini berbeda dengan homoseksual. Karena, pria homoseksual belum tentu seorang pengidap pedofilia.  

Kejahatan seksual terhadap anak ini biasanya memang yang paling kuat disebabkan oleh faktor genetis. Hal ini terjadi ketika seseorang tidak bisa mengendalikan libidonya karena pengaruh hormon-hormon tertentu. Selain itu, yang tak kalah penting diwaspadai adalah justru faktor dapatan dari lingkungan. Mereka adalah  orang-orang yang pernah menjadi korban kemudian dia tidak mendapatkan pendampingan yang semestinya hingga akhirnya ia berpotensi menjadi pelaku.

Menurut Kristi, semua orang memiliki potensi melakukan kekerasan seksual, baik wanita maupun pria. Awalnya mungkin hanya eksperimen. Namun, karena manusia adalah makhluk seksual, tak heran jika akhirnya menjadi adiktif. Karena tak pernah puas, mereka akan mencari jalan untuk mengulanginya lagi  dan lagi.

Ada juga pelaku yang merasa bahwa seks adalah salah satu cara untuk menunjukkan kekuasaan. Di sini, unsur excitement-nya lebih kuat. Ia merasa bisa mengendalikan orang lain dan yang paling gampang untuk dikendalikan adalah anak-anak.

Bisa juga kejadian di kalangan anak muda, minuman keras berlebihan yang bisa menjadi pemicu timbulnya gairah seksual kemudian dilampiaskan kepada  anak-anak yang tidak bisa melawan. Akhirnya, terjadilah kekerasan seksual dan kriminalitas.

“Untuk kasus yang terjadi di Indonesia mungkin yang paling terasa adalah yang disebabkan oleh impitan ekonomi. Misalnya, ketika seorang istri harus menjadi tenaga kerja di luar negeri, dan di rumah kecil tanpa kamar, suami tinggal bersama anak perempuannya. Maka, bisa saja libido yang tertahan karena tak ada istri itu dilampiaskan kepada anaknya sendiri,” ucap Kristi, prihatin.


 


Topic

#KekerasanSeksual

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?