Trending Topic
Stop Menyebarkan Informasi Pangan Berbahaya yang Salah

8 Jun 2016


Foto: 123RF

Linimasa di media sosial seperti Facebook, Twitter, Path kerap ramai oleh berita tentang makanan-makanan yang meresahkan. Belum lagi di group chat, teman kerap menyebar tautan gambar atau berita tentang akibat jajanan tertentu. Sebagai konsumen wajar jika kita merasa ngeri, pasalnya isunya sangat dekat dengan keseharian kita. Tapi, bagaimana kebenaran berita itu? Bagaimana kita harus menyikapi?
 
Keriuhan Media Sosial
Olahan bakso atau mi dengan kandungan boraks, gorengan dengan plastik, bakso daging tikus, atau tahu berformalin mungkin bukan isu baru lagi buat Anda. Sudah jadi rahasia umum banyak produsen nakal yang mengakali olahan makanan demi meraup keuntungan lebih tinggi. Namun setiap kali satu praktik diungkap oleh media, muncul cara lain. Nampaknya  kreativitas oknum pun terus berkembang dan semakin menjadi-jadi. Ada saja muncul makanan-makanan baru dengan kandungan bahan yang tak semestinya dikonsumsi tubuh manusia.

Sementara, di era keterbukaan komunikasi sekarang ini, sumber informasi bisa didapatkan dari mana saja. Tak terbatas dari media konvensional seperti radio, televisi atau media cetak semata. Penetrasi internet dengan booming-nya media sosial di Indonesia jadi wadah baru untuk berbagi informasi. Entah sekadar memantulkan berita atau info yang didapat dari teman atau malah justru jadi citizen journalist yang ‘menggoreng’ isu itu sendiri. 

Dalam catatan APJII, hingga akhir 2014 pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 88,1 juta jiwa. Adapun penetrasi pengguna Facebook di Indonesia via mobile phone tertinggi di dunia, yakni mencapai 88% di tahun 2014. “Facebook jadi media favorit orang Indonesia untuk mencari informasi,” ungkap Abang Edwin, pengamat media sosial.

Memang sudah jadi karakter masyarakat Indonesia senang berbagi. Sayangnya, karena begitu mudahnya membagi suatu artikel, orang cenderung mengabaikan kebenarannya. “Begitu ada artikel, terutama yang memiliki muatan human interest tinggi hingga menyentuh hati, tanpa diperiksa lagi sumbernya dari mana atau validitasnya, langsung dibagikan melalui medsos,” kata Abang.

Apa pun itu, informasi kini begitu mudah didapat dan disebarkan. Misalnya saja, di awal tahun ini, warga Twitter ramai bercuit tentang imbauan untuk berhati-hati tidak jajan di kaki lima terutama mengonsumsi makanan yang menggunakan saus tomat/cabai seperti bakso, mi ayam, atau siomay. Kehebohan ini menyusul terkuaknya penggerebekan pabrik saus cabai merek tertentu di Bandung yang tidak menggunakan cabai sama sekali, melainkan tepung tapioka yang dicampur dengan berbagai bahan kimia termasuk pewarna tekstil.  

Tak lama kemudian muncul video di Youtube tentang bahaya makan mi instan dicampur nasi yang ditonton sebanyak 1,5 juta kali. Pengunggahnya mengatakan kandungan karbohidrat dalam satu porsi mi instan sebesar 400 kkal, jika ditambah dengan nasi maka jumlah kalorinya bisa berlipat ganda sehingga bisa melonjakkan gula darah dan mengundang penyakit diabetes. Benarkah? Tak ada pembahasan dari ahli nutrisi melainkan hanya opini pribadi si pengunggah. Sementara, video ini lalu menjadi viral, tersebar di banyak media sosial seperti Facebook dan Twitter.   

Belum lagi tentang aspartame (pemanis buatan) pada makanan ringan anak-anak yang jadi trending topic panas para ibu-ibu di grup messenger. Meski Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan surat edaran bahwa produk-produk yang dimaksud lolos inspeksi, namun kekhawatiran masyarakat rupanya masih belum tuntas. Hal ini dibuktikan dengan masih sibuknya obrolan tentang aspartame yang menghiasi beranda medsos paska klarifikasi BPOM.

Yang juga jadi perbincangan seru di medsos tahun lalu, beberapa di antaranya adalah pembuatan sari kelapa yang menggunakan urea, kerupuk putih, video biskuit crackers yang terbakar sehingga dianggap mengandung plastik, hingga video investigasi tentang beras plastik berdurasi 2 menit yang diunggah ke Youtube.

Terkait pengujian kerupuk atau biskuit crackers yang mengandung bahan plastik, Roy Sparringa, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sempat memberikan pernyataannya bahwa cara pengujian hal-hal tersebut tidak bisa sesederhana itu. Butuh pengujian di laboratorium untuk mengetahui kandungan dalam sebuah makanan.

Itulah sebabnya Roy mengingatkan untuk selalu menyebarkan berita yang memiliki dukungan riset atau komentar ahli. “Kalau tidak, bisa membuat berita jadi misleading!,” ujar Roy.

Meski begitu, dari berbagai artikel yang menyebar di jagat media sosial atau Youtube, menurut pengamatan Abang, artikel yang paling banyak mendapat respons dari netizen tanah air adalah artikel tentang kehalalan ketimbang keamanan makanan. “Masyarakat Indonesia religius dan akan cepat tersulut jika menyangkut tentang agama,” ujarnya.

Misalnya saja, kasus gosip tak halal sebuah gerai makanan Jepang cepat saji dan franchise roti. Dari pemberitaan dari mulut ke mulut ataupun di medsos, kedunya diragukan kehalalan produknya karena tidak memiliki sertifikasi halal. Berita ini tentu saja bikin heboh, mengingat keduanya disukai konsumen. Hingga akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan pernyataan bahwa kedua produk tersebut dinyatakan halal.

“Hendaknya masyarakat perlu bersikap skeptis juga terhadap sebuah artikel yang isinya menyudutkan suatu produk. Sebab, tak tertutup kemungkinan itu dibuat oleh kompetitor untuk kepentingan persaingan bisnis,” ujar Abang. 
 
Bisa Dituntut Hukum
Sikap skeptis tampaknya memang dibutuhkan untuk menanggapi info-info yang membanjiri media sosial. Jangan asal percaya apa saja yang muncul di linimasa, sebelum Anda benar-benar memeriksanya. Bayangkan, bagaimana jadinya kalau artikel yang Anda bagi ternyata berita lama yang sebenarnya sudah dikonfirmasi oleh ahlinya.

Buntutnya bukan hanya sekadar malu akibat berita tidak benar, tapi yang berbahaya adalah jika informasi tersebut merambat ke ranah yang lebih serius.  “Berita yang belum tentu kebenarannya ini bisa merugikan banyak pihak. Konsumen, sebagai orang awam mengalami gangguan emosional seperti dilanda kepanikan dan curiga berlebihan. Sedangkan produsen atau pedagang yang dituding ‘nakal’ akan menanggung kerugian material dan nama baik,” kata Abang.

Jika merasa dirugikan oleh pemberitaan yang tidak benar, seseorang bisa saja menggunakan Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) tentang pencemaran nama baik pasal 27 ayat 3, sebagai senjata untuk mengajukan tuntutan secara hukum. Mereka yang dengan sengaja menyebarkan informasi atau dokumen elektronik (gambar, suara, video) yang bermuatan menghina dan/atau mencemarkan nama baik, dapat dijerat pasal ini. Anda tidak mau ‘kan terjerat gara-gara menyebarkan info yang salah.

Bagaimana tahu sebuah artikel atau hoax? Menurut Abang, triknya adalah diamkan saja selama beberapa jam, kemudian cek di mesin pencari dengan memasukkan kata kunci terkait isu tersebut. “Biasanya, jika berita itu hoax, akan ada sanggahannya. Respons di internet itu sangat cepat,” jelasnya.

Penting pula untuk memeriksa tautan asal artikel tersebut. Menurut Abang, artikel yang berasal dari blog-blog pribadi patut dipertanyakan kebenarannya. “Kunci untuk menjadi netizen (warga dunia internet) yang cerdas adalah dengan tidak tergesa-gesa percaya dan menyebarkan suatu berita. Cek dan ricek lagi,” saran Abang. (f)


Topic

#panganberbahaya

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?