Trending Topic
Pengaruh Film Terhadap Budaya Pop Visual

2 Jun 2016


Foto: Fotosearch

Demam superhero yang mewabah akhir-akhir ini menghadirkan banyak karakter wanita idola baru. Sebutlah Black Widow dari The Avengers, Mystique dari X-Men, dan yang terakhir paling diantisipasi, Wonder Woman. Female superheroes yang tangguh ini di satu sisi tentu menjadi sosok favorit bagi anak-anak perempuan dan dambaan remaja laki-laki. Namun, meski ditampilkan berkekuatan penuh dan jago bertarung, ‘senjata’ andalan mereka sering kali adalah daya tarik seksual.

Tampilan wanita superhero yang ada saat ini secara tidak langsung membangun sebuah stereotip, bahwa untuk mencapai tujuan atau mendapatkan keinginannya, entah sebagai superhero atau manusia biasa, wanita harus selalu berpenampilan seksi. Makanya, untuk memutuskan lingkaran setan dari stereotip ini, perlu dibangun  perubahan image wanita yang lebih realistis.

“Caranya dengan lebih mengekspos sisi positif wanita dalam hal karakter, bukan hanya tubuhnya. Sebab, sekecil apa pun karakter tersebut, kalau jumlahnya makin banyak akan  makin memperkuat pandangan masyarakat tentang wanita yang berbeda dari sebelumnya,” ujar Iklilah Muzayyanah, Ketua Pusat Riset Gender Pascasarjana Universitas Indonesia.

Menurut pengamatan dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan pengamat budaya pop, Tommy F. Awuy, saat ini sudah cukup banyak film yang menonjolkan kekuatan tokoh wanita tangguh tanpa mengeksploitasi keindahan tubuh mereka. Terlebih lagi, mereka adalah wanita yang tidak jatuh dalam kategori superhero, tapi tetap jagoan yang tahan banting. Misalnya, tokoh Lucy dalam film berjudul sama, Sarah Connor dalam seri Terminator,  Katniss dalam seri The Hunger Games, atau  tokoh Rey yang menjadi sentral dalam film Star Wars The Force Awakens.

Mereka memang tidak ditampilkan dengan pakaian seksi, tapi pesan mandiri, kuat, dan berani tetap sampai kepada penonton. Inilah yang menurut Tommy harus ditanamkan. Sebab, bukan hanya pembuat film, masyarakat dan bintang film itu sendiri juga harus terlibat dalam perubahan ini. Tommy juga melihat pentingnya peran penonton. Tugas sutradara hanya sebatas membuat film, pada akhirnya masyarakatlah yang bisa menilai.

“Mereka harus mengubah pola berpikir menjadi lebih terbuka. Mereka harus memiliki perspektif baru, bahwa kuat tidak harus menonjolkan otot-otot, bajunya tidak harus selalu terbuka, tapi bisa juga kuat secara karakter,” ujar Tommy.

Industri hiburan memang memiliki peranan penting dalam membangun perspektif masyarakat. Sebab, secara tidak langsung merupakan bagian dari nilai suatu konstruksi, termasuk di dalamnya budaya pop yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk. Media, dalam hal ini film, sesungguhnya tidak sekadar menampilkan sesuatu, tapi juga membagikan sebuah nilai yang disosialisasikan ke masyarakat.

“Ketika budaya pop lebih mendorong pada subordinasi wanita atau menjadikan wanita sebagai korban, citra perempuan sebagai makhluk yang subordinat di masyarakat pun terbentuk. Karena itu, saya sangat berharap media memiliki keberpihakan pada isu gender,” ujar Iklilah.

Sekecil apa pun, usaha yang dilakukan industri hiburan dalam mengangkat isu gender harus diapresiasi. “Tentu tetap ada manfaatnya. Minimal itu akan menjadi bahan pembahasan kuliah atau bahan diskusi bersama. Jika perubahan dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya bisa menginspirasi masyarakat untuk perlahan mengonstruksi pola pikir mereka,” jelas Iklilah.

Sejalan dengan Iklilah, Tommy menyerukan bahwa film merupakan agen terkuat dalam memengaruhi budaya pop visual. “Saat ini dunia tengah diserbu budaya visual. Orang sekarang lebih senang menonton film dibanding membaca. Film harus bisa menjadi agen perubahan besar, termasuk soal kesetaraan gender,” ujar Tommy. (f)
  


Topic

#industrifilm

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?