Trending Topic
Pelecehan Seksual: Ketika Korban Juga Menjadi Terdakwa

31 Dec 2018


Foto: Pexels


Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja Dita Indah Sari mengakui bahwa pelecehan di tempat kerja menjadi pekerjaan rumah yang tidak selesai bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Bahkan kementrian tenaga kerja dan transmigrasi membuat direktorat khusus mengenai antidiskriminasi, salah satunya menangani persoalan pelecehan karyawan di tempat kerja.
 
“Pelecehan seksual itu dari fakta dan definisi sebetulnya tidak melulu soal seks. Namanya saja seksual, tetapi sesungguhnya soal power, soal kekuasaan,” ujar Dita.
 
Dalam masyarakat kita yang sangat patriakhis, wanita dalam banyak soal, terutama sosial dan kultural, posisinya memang di bawah pria. Akibatnya, kita melihat pelecehan seksual sebagai konsekuensi dari relasi kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga banyak wanita yang sangat mungkin menjadi korban.
 
Di dunia kerja kemungkinan itu bisa tambah lagi. Karena di dunia kerja juga mengenal relasi atasan dan bawahan.
 
“Sebetulnya kalau atasan melakukan pelecehan atau tindakan tidak senonoh, itu korbannya bisa bawahan wanita atau pria. Bila atasannya memang kacau, pada bawahan laki-laki bentuk agresinya bisa dimaki-maki, dibentak-bentak, didemotivasi di depan orang lain atau dalam bentuk fisik, Kepada bawahan wanita, bentuk agresinya bisa bernada seksual,” ujar Dita.
 
Sebetulnya, apakah tindakan atau perlakuan yang dikategorikan pelecehan?
 
Menurut Dewi Candraningrum dari Jurnal Perempuan, bila kita mengacu pada berbagai literatur, tindakan yang disebut pelecehan seksual itu terutama dilandasi oleh dua hal: motif dan konteks. “Motifnya apa? Sudah pasti melecehkan,” ujarnya.
 
Untuk memahaminya, Dewi mencontohkan ada ujaran-ujaran yang bisa netral karena saat diucapkan tidak dilandasi oleh motif melecehkan. Misalnya kata ‘janda’ atau ‘cantik. 

Kata janda misalnya, ketika diucapkan memang untuk merujuk pada status seseorang, tentu saja tidak bisa dihakimi sebagai ujaran yang melecehkan. Namun, bila kata ‘janda’ itu diucapkan dengan motif untuk kesenangan seksual, maka orang yang mengatakan itu bisa disebut melecehkan.

“Pelecehan seksual itu berasal dari satu konsep keinginan merendahkan seseorang lain berdasarkan kategori seksual,” imbuh Dewi. Mudahnya, bentuk-bentuk pelecehan yang bisa berupa ujaran yang melecehkan, sentuhan fisik atau non fisik, terutama dengan sasaran organ seksual. Termasuk siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, dan menunjukkan materi pornografi.
 
Untuk lebih memahami konteks ini, kita sebaiknya tahu ada 15 penggolongan kekerasan seksual, yaitu: Perkosaan, Intimidasi seksual, Pelecehan seksual, Eksploitasi seksual, Perdagangan wanita untuk tujuan seksual, Prostitusi paksa, Perbudakan seksual, Pemaksaan perkawinan ( termasuk pernikahan dini, pernikahan anak), Pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi, Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, Penyiksaan seksual, Hukuman bernuansa seksual, Praktik tradisi bernuasa perbudakan seksual dan kontrol seksual (misalnya soal baju).
 
Kalau melihat 15 bentuk kekerasan seksual ini, beberapa di antaranya bisa terjadi di tempat kerja. “Soal cara berpakaian misalnya, ada memang motif-motif untuk melecehkan. Misalnya seragam pramugari yang harus memakai rok berbelahan tinggi. Padahal kalau menilik tugasnya, pramugari harusnya berseragam yang praktis dan simple. Dari aturan ini sebetulnya kita bisa melihat bahwa wanita tidak dilihat dari karyanya, melainkan dari tubuhnya,” ujar Dewi.
 
Meski katakanlah, dengan seragam rok berbelahan tinggi, bukan berarti pemakainya bisa dilecehkan bukan? Apalagi ketika mereka sedang menjalankan tugas profesionalnya. Karena di lapangan, yang terjadi, justru wanita korban pelecehan itu yang dipersalahkan. “Salah dia juga sih..habis roknya pendek. Bajunya seksi.” Demikian komentar yang sering kita dengar ketika meruak kabar mengenai pelecehan.
 
Padahal, namanya korban, tidak salah apapun. “Kalau yang disalahkan bajunya, nenek paai jilbab saja ada yang diperkosa. Jadi saya tegaskan, tidak ada kaitan tindakan pelecehan itu dengan baju karena hal itu dipengaruhi oleh motif, modus dan aksi,” ujar Dewi.
 
Hal ini diakui oleh Lita Armenia (24) seorang pramugari salah satu maskapai nasional.  “Sebenarnya seragam pramugari maskapai penerbangan tempat saya bekerja bukanlah seragam yang terlalu terbuka, namun terkadang saya menemui beberapa penumpang pria yang memandangi saya dengan tatapan yang genit. Dia bisa melihat saya dari atas sampai bawah dengan seksama,” ujarnya.
 
Dalam banyak kasus pelecehan, seringkali yang terjadi orang justru menghakimi si korban. Selain menyalahkan cara si korban berpakaian misalnya, juga sering pula membuat si korban menjadi terdakwa. Misalnya lewat komentar, “Kamu godain bos kali? Atau kamu memberikan peluang kali?”
 
 “Orang jadi tidak fokus untuk mengatasi masalah itu tetapi justru mengatur diri korban agar tidak kena lagi perlakuan pelecehan itu dan membuat si korban juga menjadi terdakwa dalam waktu yang bersamaan,” kata Dita.
 
Inilah yang menurut Dita ada persepsi publik yang keliru sehingga membuat wanita menjadi sulit membawa kasus pelecehan terhadap dirinya menjadi isu yang harus diselesaikan.
 
Persoalannya, sikap menghakimi ini juga tidak monopoli kaum pria, karena ada juga sesama wanita yang memikili pemahaman serupa. Alih-alih mendukung si korban untuk melawan, justru ikut menterdakwakan korban.
 
“Ya, karena mereka mereproduksi ideologi yang sudah mengakar di masyarakat. Saya tidak setuju dengan tindakan itu, tetapi karena masyarakat kita masih seperti itu, maka saya bisa memahami kalau para wanita pun bisa bersikap seperti demikian. Karena itu, kita harus banyak melakukan edukasi untuk menghapus padangan itu di masyakarat,” ujarnya. (f)
 
Lalu, apa yang harus dilakukan wanita korban pelecehan di tempat kerja? Baca Pelecehan Di Tempat Kerja: Lawan Dengan Pahami Hak dan Kewajiban Karyawan

Baca Juga:

Dari Kasus Via Vallen, Jang Ja Yeon, dan Artis Dunia lainnya, Benarkah Pelecehan Seksual di Dunia Hiburan Dianggap Hal Biasa?
Melihat Kemajuan dan Kemunduran Nasib Wanita Di Dunia

*artikel ini pernah dipublikasikan di Majalah Femina


Topic

#pelecehan, #pelecehanseksual, #wanita, #karier

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?