Trending Topic
Millennials Bukanlah Generasi Instan, Anda Setuju?

24 Jan 2017


Foto: Fotosearch

Menetapkan pilihan dan meraih kesuksesan di usia muda sering kali membuat generasi millennial ini dilabeli sebagai generasi instan oleh generasi sebelumnya. Merujuk pada hasil riset YouthLab Indonesia, pengamat gaya hidup dan founder OMG! Consulting, Yoris Sebastian, mengatakan, pelabelan itu sebenarnya tidak tepat.

“Generasi millennial lebih tepat disebut sebagai generasi cepat, bukan generasi instan, karena mereka tetap menjalani proses untuk mencapai kesuksesan,” ujar Yoris. Ia memberi contoh game Tahu Bulat produksi Own Games yang sukses diunduh sebanyak 3 juta kali dalam waktu 1 bulan.

“Kelihatannya instan, ‘kan? Padahal, tidak. Mereka bisa sukses di usia muda karena memulai proses jatuh bangun lebih cepat daripada generasi sebelumnya. Own Games sebelumnya sudah berpengalaman membuat 19 games,” jelas Yoris.

Hal senada disampaikan sosiolog Putu Chandra Dewi Kardha, S.Sos., M.Si. dari Universitas Indonesia. Menurutnya, karakteristik menginginkan dan melakukan sesuatu dengan serba cepat merupakan salah satu karakter terkuat dan tak terhindarkan dari generasi ini.

“Karakteristik serba instan bisa menjadi positif. Asalkan, generasi millennial tidak melupakan aspek proses dan kerja keras yang harus dilalui jika ingin mendapatkan pencapaian terbaik,” jelas Putu.

Proses dan kerja keras lebih dini juga dialami oleh Heni Sri Sundani (28), pendiri Gerakan Petani Cerdas dan Komunitas AgroEdu Jampang yang masuk dalam daftar 30 Under 30 Forbes Asia 2016 kategori Social Entrepreneurs. Kolaborasinya dengan para relawan, komunitas, dan lembaga yang dimulai 4 tahun lalu itu kini sudah membantu lebih dari 20.000 keluarga di 40 kabupaten. Di antaranya, program pembangunan instalasi alat penjernih air dan sumur bor di Bandung, Tasikmalaya, dan Ciamis untuk ketersediaan air bersih; dan program katering sehat gratis untuk lansia di Tegal Gundil, Bogor.

Heni, yang merupakan anak buruh tani, harus meninggalkan rumahnya di Ciamis, Jawa Barat, untuk menjadi tenaga kerja Indonesia di Hong Kong setelah lulus SMA. Selama 6 tahun bekerja sebagai baby sitter, Heni pun menggunakan uang tabungannya untuk membiayai kuliah.

“Saya harus punya pendidikan supaya bisa mengajak orang-orang untuk memutus rantai kemiskinan dari generasi ke generasi,” ujar wanita yang lulus dari jurusan Entrepreneurial Management dari Saint Mary University, Hong Kong, itu. Proses yang tidak mudah itu, menurut Heni, merupakan interpretasinya terhadap prinsip YOLO. “Hidup hanya satu kali. Saya tidak tahu kapan saya meninggal. Jadi, saya harus melakukannya selagi bisa, tidak perlu menunggu tua atau keuangan membaik,” tuturnya.

Chiki Fawzi (27) juga mengalami proses itu. Lahir dari pasangan selebritas Marissa Haque dan Ikang Fawzi tidak lantas membuat Chiki terlena dengan popularitas orang tuanya. Ia kuliah dan bekerja di Malaysia untuk memulai kariernya dari nol sebagai animator. Setelah 3 tahun menimba pengalaman di Les’ Copaque Production dan ikut mengembangkan animasi Upin & Ipin, Chiki kembali ke Indonesia.

Ia lalu mendirikan perusahaan animasi Monso House bersama rekannya. Perusahaan rintisan itu ternyata harus gulung tikar dalam waktu tiga tahun. Padahal, Chiki telah mengalokasikan sebagian besar dananya di situ.Kegagalan tidak membuatnya menyerah. Baginya, YOLO adalah ketika ia mengoptimalkan kesempatan hidup dan mengisinya dengan hal-hal bermanfaat bagi diri sendiri serta orang lain. 388.000

“Saya jadi sadar memang tidak bakat berbisnis. Saya pun maksimalkan skill dan passion dalam seni untuk mencari pendapatan,” ujar wanita yang kini makin laris bekerja sebagai seniman mural untuk berbagai proyek lepas di kafe, rumah, dan kantor ini. (f)

Baca Juga:


Topic

#millennialmanual

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?