Trending Topic
Menjaga Tradisi Silaturahmi

29 Jun 2016


Foto: 123RF

Sesuai cirinya, masyarakat Indonesia memiliki sifat kolektivisme dan kerelasian, yaitu kecenderungan melakukan sesuatu secara bersama, berkumpul dalam kelompok masyarakat, dan menekankan pada relasi antarindividu dalam masyarakat. Ini artinya, berelasi sosial merupakan kebutuhan penting bagi masyarakat Indonesia.

“Selain menjaga nilai tradisi, silaturahmi merupakan bentuk relasi sosial.  Berelasi sosial dapat memberikan manfaat yaitu menjaga kehidupan berkelompok, menciptakan rasa aman, dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat yang merupakan bentuk nilai dasar manusia, yaitu security dan conformity,” kata Listyo Yuwanto S.Psi.,M.Psi., psikolog dari Universitas Surabaya.

Profesor Sumanto Al Qurtuby, Ph.D, dosen Antropologi, menambahkan, menjalin hubungan keluarga atau kekerabatan atau silaturahmi adalah sesuatu yang bersifat natural (alami) sekaligus cultural (budaya atau konstruksi sosial sebuah masyarakat). Alami, karena  tiap insan mempunyai naluri untuk berkumpul dengan kerabat yang memiliki hubungan darah.

“Jangankah manusia yang dalam antropologi disebut sebagai human primates, non-human primates seperti apes, chimps, baboon, dan binatang sosial lain saja memiliki naluri atau kecenderungan alamiah untuk bersilaturahmi dengan kerabat,” katanya.

Terlahir di keluarga Batak membuat Hotmaulinawati Hutagalung (30) tidak asing lagi dengan acara berkunjung ke sanak keluarga. Kekerabatan masyarakat Batak memang dikenal kental, silaturahmi pun sudah menjadi adat. Meski tidak merayakan Lebaran, wanita yang akrab disapa Lina ini tidak pernah melewatkan tradisi silaturahmi ke keluarga mereka yang muslim dan tetap menjaganya hingga sekarang.  

“Saya selalu excited saat berkunjung ke rumah saudara di saat Lebaran. Rasanya seperti sedang Natalan, walaupun tidak terlalu ramai. Bagi saya, suasana ramai dan berisik saat mengobrol itu yang bikin rindu. Tahu sendiri kan, bagaimana kalau sesama Batak ngobrol?  Hahaha…. Meskipun terkadang saya hanya sebatas mendengarkan,  suara ribut itulah yang membuat saya merasa nyaman dan betah,” katanya.

Profesor Sumanto mengingatkan, perkembangan zaman secara otomatis akan turut memengaruhi perkembangan dan perubahan sosial masyarakat, termasuk memengaruhi kualitas dan pola berinteraksi dan bersilaturahmi. “Karena itu, yang perlu dilakukan adalah menanamkan kembali kepada masyarakat, khususnya generasi muda, tentang pentingnya merawat keutuhan anggota keluarga dan nilai-nilai kekeluargaan,” sarannya.

Keluarga besar Theoreza Herdiyanto (26), misalnya, memiliki cara sendiri untuk menjaga kedekatan keluarga besar, meski diakuinya frekuensi silaturahmi mereka memang berkurang setelah orang yang dituakan tidak ada lagi. Dulu ia masih sangat bergantung pada orang tua untuk bersilaturahmi dan mengikuti ke mana pun mereka pergi. Beranjak dewasa, silaturahmi sudah menjadi inisiatif sendiri, bukan lagi paksaan. Kini terkadang justru ia yang mengajak orang tuanya berkunjung ke rumah saudara dan mengatur jadwalnya. 

“Karena saat Lebaran tidak semua keluarga mudik, sebagai ganti agar keluarga bisa berkumpul dengan formasi lengkap, kami biasanya mengadakan acara piknik bersama. Lokasinya tidak harus di kampung halaman, bisa saja di Bali atau Bandung. Seru dan selalu dinanti,” katanya.
 
Sedangkan Nirbita (22) bercerita, seperti ada semacam perjanjian tidak tertulis dalam keluarga besarnya semenjak kakek-neneknya berpulang. Hingga kini  tiap Lebaran semua keluarga tetap mudik dan berkumpul di rumah eyang buyut. “Sungkeman, makan opor, dan keliling rumah saudara menjadi tradisi yang tak boleh ditinggalkan. Walaupun dari tahun ke tahun begitu-begitu saja, kami tidak pernah bosan. Suasana ramai yang tercipta saat Lebaran memang berbeda, lebih menyenangkan buat saya,” katanya.

Menurut Listyo, membuat semacam kesepakatan bahwa kegiatan menjalin silaturahmi merupakan tradisi keluarga adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. “Alternatifnya bisa juga dengan mengadakan kegiatan yang dapat dilakukan untuk kebersamaan, misalnya rekreasi bersama, arisan keluarga, merayakan ulang tahun,” saran Listyo.

Profesor Sumanto juga menambahkan, nilai-nilai keagamaan, khususnya tentang pentingnya silaturahmi, bisa juga ditularkan kepada masyarakat masa kini. Dalam Islam misalnya, disebutkan dengan jelas bahwa silaturahmi adalah salah satu jalan menuju surga. “Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa tidak akan masuk surga bagi siapa saja yang memutus tali silaturahmi,” jelasnya. Hal ini menunjukkan, betapa pentingnya masalah silaturahmi dalam Islam.

Memang perlu disadari bahwa ajaran-ajaran normatif saja tidak cukup. Saat ini perlu ada cara kreatif untuk tetap menjaga keutuhan keluarga. Listyo juga mengingatkan, hendaknya orang tua masa kini turut mengajarkan kepada anak-anak mereka mengenai pentingnya silaturahmi. Memberikan contoh melalui perilaku, seperti mengajak anak datang ke acara sanak saudara disertai penjelasan secara sederhana mengapa menghadiri acara tersebut penting.

Mengapa hal ini ditekankan oleh Listyo, karena tak dipungkiri, terkadang orang tua secara tidak sadar hanya menanamkan nilai-nilai silaturahmi  saat merayakan hari besar keagamaan. Padahal, yang terpenting adalah bagaimana para  orang tua bisa memfasilitasi interaksi anak dengan anggota keluarga lain sehingga akan terjadi kedekatan secara psikologis.

 “Idul Fitri adalah momen yang tepat untuk menjalin, memperkuat, dan memperbaiki relasi sosial dengan keluarga inti, keluarga besar, tetangga, dan yang lainnya,” pungkasnya. (f)
 

Faunda Liswijayanti


Topic

#puasadanlebaran

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?