Trending Topic
Mencari Perekat Keluarga Ketika Sesepuh Tak Ada Lagi

28 Jun 2016


Foto: Fotosearch

Bagi mayoritas warga masyarakat, tradisi silaturahmi ke sanak keluarga saat hari raya Lebaran adalah hal yang tidak bisa ditinggalkan. Meski, ada juga sebagian orang yang enggan, terlebih setelah para sesepuh di keluarganya telah tiada. Rasanya seperti tidak ada lagi perekat yang membuat  tiap anggota keluarga besar bisa tertarik untuk berkumpul. Hal ini, misalnya, diakui oleh Lucky Natalia (30). Ia mengaku malas datang ke acara silaturahmi keluarga karena paling tidak suka dengan basa-basi dan berkumpul ramai-ramai.

“Apalagi sejak Mama meninggal dunia, otomatis jadi  makin garing kalau datang ke acara silaturahmi keluarga besar karena tidak ada yang saya ikuti. Rasanya, kehadiran ayah saya sudah cukup mewakili kehadiran saya di acara tersebut,” katanya.
           
Sementara Nirbita (22) mengaku ketika masih kecil sangat senang diajak orang tua ikut berkunjung ke rumah sanak saudara. Tapi, kegiatan itu berhenti ketika usianya menginjak remaja. “Begitu masuk SMA rasanya sudah malas untuk ngintil orang tua pergi ke rumah saudara. Saya lebih senang berkumpul dengan teman. Untungnya orang tua mengerti, sehingga mereka tidak memaksa saya untuk ikut,” katanya.
           
Padahal, keluarga besar Nirbita cukup sering mengadakan acara silaturahmi. Tidak hanya saat Idul Fitri, keluarganya juga kerap membuat acara kumpul-kumpul, seperti arisan sebulan sekali, acara buka puasa bersama, atau sekadar makan bersama di salah satu rumah saudara.

“Saya jarang mengikuti acara-acara tersebut, kecuali acara itu memang diadakan di rumah saya. Kalau terpaksa ikut biasanya saya minta agar bisa cepat pulang,”  jelas mahasiswa di sebuah kampus negeri di Bandung ini. Alasannya, selain bosan karena tidak ada topik pembicaraan yang ia mengerti, juga karena hanya sedikit sepupu yang sebaya dengannya yang datang ke acara silaturahmi keluarga.

Apa yang dialami Nirbita juga tergambar dari hasil jajak pendapat femina terhadap 25 responden usia 20 – 25 tahun, awal Juni. Sekitar 84% responden menjawab alasannya bersilaturahmi karena mengikuti orang tua. Hanya 16% responden yang mengaku memiliki inisiatif sendiri untuk bersilaturahmi.

Harus diakui, seiring perubahan zaman dan perkembangan teknologi, tradisi silaturahmi juga mengalami pengayaan, perubahan, bahkan pergeseran bentuk. Menurut Manto, meskipun di desa atau kawasan rural, tradisi silaturahmi tradisional dengan keluarga dan kerabat masih cukup terpelihara --dengan kualitas yang berbeda dengan masa lampau--, di kota besar tradisi ini cukup lumer dan bergeser.

Ada perbedaan mencolok yang selama ini diamati oleh Manto. Misalnya, dulu silaturahmi itu sangat tulus, hangat, dan emosional diiringi dengan sungkem anak terhadap orang tua atau berpelukan hangat antarkeluarga yang tak jarang diiringi tangisan dan permintaan maaf yang sangat ikhlas. Kini, ia melihat, silaturahmi  di sebagian masyarakat (tentu tidak semuanya) menjadi hanya sekadar basa-basi yang serba kurang kualitasnya: kurang hangat, kurang dekat, dan kurang tulus.

Dirasakan oleh Nirbita, ketika neneknya masih ada, ia lebih sering bertemu dengan keluarga besarnya. “Nenek saya 10 bersaudara. Hubungan dengan saudara-saudara sekandungnya sangat akrab. Beliau senang bersilaturahmi atau menginap di rumah adik-adiknya. Biasanya, saya kebagian mengantar dan menjemput beliau sekalian bersilaturahmi dengan eyang-eyang lain dan om-tante. Sejak eyang saya tidak ada, otomatis saya  makin jarang bertemu keluarga besar,” katanya.

Lantas, mengapa nilai-nilai tradisi silaturahmi menjadi berkurang? Apakah hal ini berkaitan dengan tidak adanya lagi orang yang dituakan dalam keluarga? “Sebetulnya silaturahmi berkurang bukan semata-mata karena sudah tidak adanya orang tua maupun orang yang dituakan,” katanya.

Ada banyak faktor yang turut memberi kontribusi berkurangnya spirit toleransi ini. “Tetapi, faktor tidak adanya orang tua atau orang yang dituakan memang penting. Hal ini disebabkan karena stuktur masyarakat Indonesia berbasis pada relasi senioritas-yunioritas. Maka, ketika orang yang diseniorkan atau dituakan sudah tidak ada,  ada asumsi bahwa tanggung jawab silaturahmi pun tidak ada lagi,” ungkapnya.  

Yang jelas, menurut Manto, faktor modernisasi, industrialisasi, perkembangan teknologi, internet, ormas, parpol, agama, dan sebagainya, tidak bisa dipungkiri telah menggerus nilai-nilai silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan handai taulan. “Misalnya, perkembangan teknologi komunikasi telah membuat jarak yang jauh menjadi dekat sehingga anggota keluarga cukup bersilaturahmi lewat udara atau silaturahmi virtual lewat internet dan media sosial,” jelasnya.
           
Hal serupa diungkapkan psikolog  Listyo Yuwanto. Selain faktor teknologi yang  makin maju, yang dapat memfasilitasi relasi tanpa tatap muka, adanya kecenderungan orang untuk menghabiskan waktu untuk dirinya dan kepentingan lain yang tetap terkait dengan pekerjaan, serta berelasi dengan rekan-rekan kerja, telah mengikis nilai-nilai silaturahmi dengan keluarga. Kurangnya kedekatan dan kasih sayang juga disinyalir membuat minimnya panggilan diri seseorang untuk menjalin silaturahmi dengan anggota keluarga yang lain. “Kurangnya kedekatan bisa disebabkan antara lain karena sejak kecil hubungan memang sudah  tidak akrab, atau karena adanya konflik yang terjadi dan tidak terselesaikan,” ungkap Listyo.

Di sisi lain, adanya penilaian bahwa yang harus mendatangi keluarga adalah pihak yang lebih inferior misalnya lebih muda, lebih tidak mampu secara ekonomi, lebih rendah jabatannya, dan sejenisnya, dinilai Listyo juga menjadi penghambat silaturahmi. “Akibatnya, memulai silaturahmi menjadi hal yang sulit. Misalnya, takut harga dirinya lebih rendah, selain tentu  kurangnya kesadaran akan pentingnya silaturahmi. Padahal, silaturahmi tidak hanya dijalani sebagai ritual perayaan agama, tapi dapat dilakukan kapan saja tanpa harus ada momen tertentu,” katanya. (f)
 

Faunda Liswijayanti


Topic

#puasadanlebaran

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?