Trending Topic
Kenali Bullying Sebelum Terlambat!

20 Aug 2016


 
Menurut psikolog Monty Setyadarma, bullying adalah tindakan mencemooh secara agresif yang bertujuan merendahkan martabat individu di hadapan sosial atau mempermalukan diri individu tersebut di hadapan orang lain. Mempermalukan berarti menunjukkan ketidakmampuan atau ketidakberdayaan seseorang, guna melemahkan kedudukannya di lingkungan sosial. Bullying biasanya dilakukan oleh orang-orang yang iri terhadap individu yang memiliki keunggulan tertentu. Tujuannya adalah agar individu itu tidak lagi unggul, tampak lemah, dan tidak berdaya.

Ketika anak Anda di sekolah biasa dipanggil dengan julukan atau ejekan tertentu, tanpa ia sadari ia telah kena bullying, walau dalam skala kecil. Mungkin ia merasa itu hanya gurauan, sudah terbiasa, atau bahkan malah merasa dianggap ada kedekatan secara emosional. Jika itu hanya gurauan, ia harus yakin tidak menimbulkan perasaan tidak nyaman dan tertekan pada dirinya.

Sebelum terlambat, cek apakah tanda-tanda ini tampak pada putra-putri, keponakan, atau adik Anda. Terjadi perubahan sikap, seperti selalu merasa cemas dan menarik diri, misalnya enggan dan cemas ke sekolah, resah, murung, hilang gairah dan nafsu makan, sulit berkonsentrasi, terkadang ekstra sensitif, mudah marah, mudah tersinggung, dan mudah menangis.
“Hal ini terjadi karena pada dasarnya tindakan bullying adalah mempermalukan seseorang di hadapan orang lain, yang merupakan salah satu bentuk perilaku sosial, dan korban perilaku sosial cenderung menarik diri dari aktivitas sosial,” Monty menjelaskan.

Akibat lain yang ditimbulkan pada korban bullying amat beragam, mulai dari stres ringan hingga depresi dan tindakan bunuh diri. Untuk itu, dibutuhkan bantuan konselor, pakar hukum, atau bahkan pihak berwajib, tergantung dari intensitas ancamannya.

Menurut polling majalah GADIS, 58% responden mengaku di sekolahnya masih banyak kasus bullying, baik itu verbal maupun fisik. Namun sebenarnya, tindakan bullying bisa terjadi di mana saja selain sekolah, seperti tempat kerja hingga organisasi. Tetapi, mereka yang di lingkungan kerja dan yang lainnya adalah orang dewasa, yang ketahanannya lebih tinggi daripada anak-anak dan remaja.

Di sekolah, remaja apalagi anak-anak kemampuannya menanggulangi tekanan bullying dari lingkungan, guru, atau teman-temannya masih sangat terbatas. Tidak heran jika kasus yang lebih sering muncul adalah yang terjadi di sekolah. Sayangnya, bullying di sekolah sulit dihindari, karena anak wajib ke sekolah dan membuka peluang di-bully secara berulang.

Bahkan, 45% murid laki-laki dan 22% murid perempuan mengatakan bahwa guru dan petugas sekolah menjadi orang yang melakukan kekerasan. Apalagi jika sekolahnya kurang tanggap terhadap hal ini. Menurut 12% responden GADIS, sekolah  diam saja/tidak mau tahu, 64% mengatakan sekolah mereka biasanya sekadar memberi peringatan, dan  25% mengatakan pihak sekolah  memberikan hukuman berat pada pelaku bullying.

Begitu juga dengan bullying di media sosial. Anak cenderung lebih mudah menjadi korban. Menurut survei UNICEF dan Kominfo terhadap 400 responden usia 10 - 19 tahun di dunia maya, di 12 provinsi, tahun 2014, 39% tidak tahu tentang keamanan berinternet, termasuk membiarkan orang lain membaca e-mail mereka. Bahkan, 24% pernah berkomunikasi dengan orang asing. Sebanyak 41% berbohong mengenai usianya, 58% tidak memahami masalah bullying, dan 24% di antara mereka bahkan mencantumkan alamat dan nomor telepon di media sosial. Ini yang memudahkan mereka jadi sasaran pelaku bullying.

Sebenarnya, ada etika berkomunikasi lewat media sosial. Tetapi, pelaku bullying memang tidak memiliki etika berperilaku,  oleh karena itu mereka melakukan bullying. Sebaiknya korban tidak menanggapinya, karena itu merupakan bentuk penguat (reinforcement) yang bisa mendorong pelaku untuk terus melakukan bullying.

“Intinya, di mana pun dan dalam bentuk apa pun, jika Anda sudah merasa tertekan dan terancam oleh perlakuan orang terhadap Anda, dan ancaman tersebut berdampak pada kerusakan fisik, tekanan psikologis, dan kehilangan properti, itu artinya Anda sudah kena bullying,” kata Monty.

Tidak perlu menunggu berulang kali, karena bullying bisa diukur dari intensitas, durasi, atau frekuensi. Satu ataupun seratus kali, tindakan bullying tetap bullying. Hanya, jika sekali dalam intensitas rendah maka dampaknya tidak terlalu dirasakan korban.

“Sebaliknya, walaupun hanya sekali, tetapi jika dilakukan dengan intensitas tinggi, misalnya menyuruh pasangan hidup untuk melakukan bunuh diri, misalnya dengan mengatakan, ‘Lebih baik kamu mati,’ maka dampak bullying akan sangat besar bagi korban,” tegas Monty.

Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya telah mem-bully orang lain. Penting mendapat masukan dari orang lain, paling tidak ia menyadari bahwa tindakannya itu tidak layak. Lalu berikan penjelasan ragam kemungkinan alasannya, apakah karena terpengaruh orang lain atau bentuk kompensasi kelemahan diri. “Ia memang harus belajar mengubah diri, memperbaiki perilakunya, atau menghadapi risiko tersisih dari lingkungan masyarakat, atau bahkan harus berhadapan dengan hukum,” jelas Monty.  

Karena itu, sejauh bullying tidak menimbulkan ancaman keselamatan, kita bisa mengabaikan, tidak memberikan respons, dan tidak membesarkan masalah sehingga menjadi makin kompleks. Namun, jika sudah mengancam identitas dan harga diri, segera sampaikan langsung kepada yang bersangkutan.“Jika pelaku di posisi lebih superior, masalahnya harus ditangani oleh pihak yang lebih berwenang. Dan jika mengancam keselamatan, perlu dilaporkan kepada pihak yang berwenang dan berwajib,” tegas Monty. (f)
 
 


Topic

#mentalmerdeka

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?