Trending Topic
Dari Iseng Sampai Ikut-Ikutan, Ini Alasan Seseorang Melakukan Bullying di Media Sosial

4 Oct 2017


Foto: Pixabay
 

Media sosial memang membuat kita terhubung dengan siapa pun dengan mudah dan cepat. Namun, fitur chat atau komen yang disediakan media sosial juga mempermudah terjadinya bullying. Bisa dilakukan oleh siapa saja, juga bisa menimpa siapa saja. Sering sekali kita dengar, bagaimana seseorang kena bully ‘berjamaah’ gara-gara ‘terpeleset’ hal sepele. Bahkan, keputusan pribadi seseorang yang tidak ada kaitan dengan publik, atau menyakiti orang lain, bisa menjadi sasaran perundungan. 

“Sebetulnya, orang yang suka mem-bully di media sosial itu karena dia sedang tidak ada kerjaan,” ujar Meily Badriati, Koordinator Program Sarjana Reguler Komunikasi, FISIP UI. Meski terkesan berseloroh, Meily benar adanya, karena ketika seseorang sedang ada pekerjaan biasanya dia sudah tidak ada waktu lagi untuk membuka-buka media sosial, bukan?

Saat seseorang memiliki waktu luang untuk membuka media sosial, maka dia bisa mudah terbawa tren. Misalnya, ada satu orang yang sedang di-bully, bisa saja iseng-iseng dia ikut-ikutan, padahal belum tentu dia tahu persoalan mengapa orang tersebut di-bully.

Padahal, di hutan belantara dunia maya banyak sekali trolls, yaitu orang yang mengirim pesan (atau juga pesan itu sendiri) yang bertujuan untuk memancing tanggapan emosional atau kemarahan dari pengguna lainnya. Karena itu ada istilah yang sangat terkenal: don’t feed the trolls.
 
Identitas yang tidak jelas atau anonim di dunia maya menjadi alasan mengapa seseorang gampang menghujat orang lain. “Di media sosial seseorang bisa menggunakan identitas yang tidak jelas sehingga mudah mem-bully karena merasa tidak ada tanggung jawab,” ujar Listyo Yuwono, psikolog dari Universitas Surabaya.

Hal ini didukung sifat media sosial yang memungkinkan tidak ada rasa keterkaitan dengan orang yang di-bully. Makin jauh kualitas relasi seseorang, maka makin mudah melakukan bullying  karena tidak ada ikatan emosi atau ikatan kepentingan antara pelaku dengan korban. 

Sebagai media baru, media sosial yang sangat identik dengan perkembangan internet memang menyediakan berbagai kemudahan, terutama dalam berinteraksi dengan orang lain. Persoalannya, perkembangan teknologi belum tentu diikuti dengan pemahaman dan kebijaksanaan bagaimana cara memanfaatkan teknologi tersebut secara tepat guna. Karena dilakukan oleh banyak orang, bullying di media sosial ini seperti sudah menjadi hal biasa, dan seolah-olah sudah diterima oleh masyarakat.

“Padahal, masih meragukan juga apakah hal ini memang benar-benar diterima atau justru karena ketidakpedulian sehingga masyarakat tidak menjadikannya hal yang perlu dipikirkan. Orang baru akan berpikir atau bergerak ketika ia menjadi korban, atau korban adalah orang yang terdekatnya,” ujar Listyo. Meily menambahkan, harus diakui bahwa sebagian besar netizen kita masih merasa bahwa media sosial itu adalah ruang pribadi.

“Namanya saja media sosial, itu adalah ruang publik. Jadi, ketika kita ngomong A, pasti akan ada orang di luar sana yang akan mendengar dan mungkin me-retweet atau me-repost omongan atau status kita,” ujar Meily.

Baca juga:
Kenali: Anda Korban atau Pelaku Bullying
Kenali Bullying Sebelum Terlambat!
Setiap Orang Bisa Kena Cyberbullying, Ini Sebabnya!

 Sayangnya, rendahnya internet literacy ini tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan. Tentu kita yang rajin mengikuti keriuhan media sosial paham, betapa banyak orang pintar yang tergelincir oleh omongannya sendiri. Misalnya seorang tokoh yang dalam salah satu tweet-nya setelah pilkada DKI, dia mengibaratkan kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam pilkada DKI Jakarta itu adalah pil yang diberikan kepada anak autis. Kontan saja, netizen banyak yang mengecam tweet tersebut.

Contoh terbaru adalah apa yang menimpa ahli tata kota, Marco Kusumawijaya. Awal Juli lalu, Marco men-tweet tentang wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya. Maklum, saat itu sedang santer dibicarakan rencana pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Dalam tweet-nya itu  ia menulis kata ‘monyet’, yang kemudian menjadi pemicu kemarahan sebagian warga Kalimantan (maupun yang bukan dari Kalimantan) yang merasa tidak terima disamakan dengan monyet.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Apa pun maksud Marco, meski dia sudah meminta maaf, sebagian masyarakat sudah marah dan langsung melampiaskan kemarahan mereka ke akun Twitter Marco selama berhari-hari. Bahkan, Marco dilaporkan ke polisi oleh Forum Pengacara asal Kalimantan Timur dengan menggunakan Undang-Undang ITE (UU ITE) dengan sebab penyebaran ujaran kebencian.

Meski masih ada pasal-pasal karet yang dinilai bisa dipakai orang secara sembarangan untuk memenjarakan orang lain, menurut Meily, adanya UU ITE memang bisa menjadi rem bagi netizen untuk berlaku bijaksana dalam bermain media sosial. Hal ini yang harus disadari bersama oleh para pengguna internet.
 
“Dengan memakai UU ITE itu, katakanlah kita tidak menyukai sesuatu, kita bisa mengadu. UU itu menjaga hak seseorang,” ujar Meily. Karena itu, ia menyarankan, janganlah sembarangan bicara di internet atau media sosial karena bagaimanapun dunia media sosial itu kadang-kadang di luar realitas.

“Ketika kita akan share sesuatu misalnya, pertimbangkan dulu baik buruknya sebelum menekan tombol send,” tutur Meily, sambil mengatakan, perlu untuk berpikir dua tiga kali sebelum jari mengklik. Menurut Listyo, jari adalah hardware, sementara, software tetap otak kita. (f)
 


Topic

#bullying, #cyberbullying, #mentalmerdeka

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?