Trending Topic
Generasi Langgas Indonesia, Bonus atau Bencana Demografi di Tahun 2020?

26 Oct 2016


Foto: Pixabay.com

Pembicaraan tentang generasi millennials atau generasi langgas yang lahir pada rentang tahun 1980-2000 memang sedang hangat-hangatnya. Generasi ini disebut sangat kreatif, suka belajar, suka tantangan, dan sangat menguasai teknologi. Tahun 2015, jumlah generasi langgas Indonesia adalah 84 juta penduduk. Dengan perbandingan usia produktif 16-64 tahun, maka separuh dari penduduk usia produktif adalah generasi langgas (16-36 tahun). Dengan segala kelebihannya, generasi langgas disebut-sebut sebagai generasi emas dan bonus demografi untuk Indonesia? Tapi, benarkah demikian?
 
Meski demikian, perbedaan budaya dengan generasi sebelumnya menyebabkan ada kesenjangan. Generasi langgas kerap dituding sebagai generasi instan dan kurang menghargai proses. Konsultan kreatif Yoris Sebastian lebih suka menyebut generasi langgas sebagai generasi yang sangat menghargai kecepatan dan efektivitas.
 
“Namun, kelebihan ini juga sekaligus kekurangan mereka. Generasi langgas yang bisa sukses adalah mereka yang bisa mengolah data dan menemukan konteks dari suatu peristiwa. Kalau tidak, mereka akan terjebak menjadi generasi copy-paste, hanya bisa meniru dan sedikit memodifikasi temuan orang lain,” tegas Yoris.
 
Kecenderungan itu bisa dilihat dari betapa tingginya animo generasi langgas yang ingin menjadi wirausaha namun tak diimbangi dengan usaha sungguh-sungguh. Tidak heran, banyak seminar wirausaha laris manis didatangi oleh anak muda, tapi hanya sedikit yang mengaplikasikan ilmunya. Survei Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di sejumlah perguruan tinggi menunjukkan minat lulusan S1 hanya 4% yang ingin menjadi wirausaha. Sisanya (84%) masih ingin menjadi karyawan dan birokrat (13%). Menurut Yoris, mereka baru sebatas ingin menjadi wirausaha (wantpreneur), belum benar-benar menjalankan niat menjadi wirausaha.
 
Generasi langgas di Indonesia juga menunjukkan perbedaan karakter cukup jauh dengan di luar negeri. Di antaranya karena generasi langgas tertua (kelahiran mulai 1980) masih mengalami era analog, sedangkan sebagian terlahir sebagai digital native (kelahiran 2000). Penetrasi mobile gadget dan internet di tanah air yang makin tinggi tidak membuat anak muda Indonesia semakin individualis, tapi justru makin komunal.

“Mereka tidak makin sikut-sikutan, tapi pertemuan di dunia maya justru menumbuhkan benih-benih komunitas baru, seperti komunitas hobi dan komunitas olah raga di tanah air. Ini sangat bertolak belakang dengan negara-negara lain, seperti di Jepang atau Korea Selatan. Di Jepang, orang bahkan rela membayar avatar untuk menjaga privasi dirinya di dunia maya,” ujar Muhammad Faisal, peneliti dari Youth Lab.
 
Dari kebiasaan kerja pun, generasi langgas memiliki kebiasaan berbeda dengan generasi sebelumnya. Dalam sebuah survei terhadap karyawan tentang jam kerja yang panjang, ternyata pekerja millennials merasa tidak masalah dengan hal itu. “Bagi mereka jam kerja yang panjang tak masalah, selama di kantor tersebut memberikan otoritas lebih dan hasil kerjanya berdampak pada orang banyak. Mereka mendapat kepuasan yang berbeda dari hal itu,” kisah Yoris.
 
Generasi langgas juga lebih suka dibimbing, bukan diperintah saat bekerja. “Pihak pemberi kerja harus menyadari hal ini. Sudah saatnya mengubah budaya kerja dan sistem mentoring di perusahaan untuk menaklukkan generasi langgas dan bisa mendorong mereka meraih hasil maksimal,” tambah Yoris yang juga memiliki tim yang rata-rata berasal dari generasi langgas di OMG Consulting.
 
Ini hanya beberapa temuan riset dalam penyusunan buku Generasi Langgas, Millenials Indonesia (Gagas Media, 2016) karya Yoris Sebastian, Dilla Amran dan Youth Lab yang diluncurkan di Jakarta,  Senin (25/10) lalu. Dikemas dalam bahasa ringan yang cocok untuk pembaca muda, buku itu memuat panduan untuk generasi langgas, dari cara mengenali karakter hingga kiat untuk memaksimalkan potensi dan mengatasi kelemahan diri. Riset dilakukan di lima kota besar di Indonesia untuk memvalidasi karakter generasi langgas, yaitu Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, dan Malang. Di lima kota itu, budaya anak mudanya sedang berkembang pesat.
 
“Jika generasi langgas tidak dikelola dengan baik dan tidak produktif, maka alih-alih menjadi bonus demografi, mereka bisa menjadi bencana demografi untuk Indonesia. Dalam tiga tahun ke depan, kita bisa melihat sejauh mana produktivitas generasi yang unik ini,” tegas Yoris. (f)
 


Topic

#millennials

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?