Trending Topic
Film Prenjak, Ketika Hidup Merindukan Pilihan

20 Jul 2016


Foto: Studio Batu, DES

‘Seekor burung' pembawa kabar terbang dari tanah Yogyakarta ke langit tertinggi Kota Cannes di Prancis. Namanya Prenjak (In the Year of Monkey). Film pendek karya Wregas Bhanuteja (23) itu berhasil meraih penghargaan Leica Cine Discovery Prize for Short Film di 55th Semaine de la Critique. Wregas menjadi sutradara Indonesia pertama dan termuda dalam pekan kritik yang merupakan salah satu bagian penting dari Cannes Film Festival 2016.

Di antara kabar-kabar baik tersebut, sang burung kecil ternyata juga mengantarkan kabar getir tentang pergulatan manusia. Harapan hadir dalam wujud sebatang korek api kayu. Kemiskinan, lagi-lagi, jadi biang keladi. Sedangkan alat kelamin, memiliki peran ganda: sumber masalah sekaligus solusi. Sambil menyeruput secangkir double espresso di kedai kopi, Wregas berbagi kepada femina tentang kenangan, rasa, dan akar budaya yang menjadi nyawanya dalam berkarya.
 
Alat Kelamin itu Perlu
Charles Tesson, Direktur Artistik Semaine de la Critique, sejak awal memuji Prenjak sebagai sebuah film dengan kedalaman puitis yang mengejutkan. Pemberitaan di media-media besar juga mengapresiasinya dengan cara serupa. Tanpa mengurangi rasa  syukur dan rasa hormat terhadap pihak-pihak yang menghargai karyanya, Wregas sebenarnya mempertanyakan makna puitis yang disebut-sebut itu. Sebab, ia sadar betul dirinya tidak sedang berpuisi saat memproduksi Prenjak.

Sebaliknya, Wregas justru sedang meluapkan kenangan dan rasa yang sudah mengendap dalam dirinya sejak lama. Ia tidak bisa melupakan perasaan iba terhadap temannya yang hamil di luar nikah saat masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama. "Gue selalu membayangkan apa perasaan dia? Saat teman-teman sebayanya menikmati masa muda, dia harus mengurus anak sendiri karena pasangannya juga meninggalkan dia," ungkap sutradara kelahiran Jakarta, 20 Oktober 1992, ini.

Kenangan itu terus mengendap hingga dua tahun lalu. Seorang teman memantik ingatannya tentang pergulatan hidup wanita dengan kisah ciblek penjual korek api. Ciblek atau singkatan dari cilik-cilik betah melek (anak kecil yang tahan melek sampai malam) adalah sebutan untuk penjaja seks berusia muda yang pada tahun 1980 hingga 1990-an masih bisa ditemukan di alun-alun Yogyakarta. "Gue cari ke alun-alun, tapi sudah enggak ada. Gue merasa agak kesal. Kok, bisa gue melewatkan sesuatu yang berada di kampung halaman sendiri?" ujar Wregas, yang hanya numpang lahir di Jakarta karena ia lantas tinggal di Yogyakarta.

Berangkat dari dua kenangan atas dua wanita berbeda itu, Wregas pun membangun satu kisah tentang kepedihan seorang wanita yang harus berjuang seorang diri dan kesepian. Selama 12 menit, film Prenjak mengajak penonton mengintip dunia seorang wanita bernama Diah (Rosa Winenggar) di Yogyakarta. Dalam ‘dunia' berdurasi singkat tersebut, hidup ibu satu anak itu sungguh jauh dari elok. Ia kehabisan uang untuk membayar tagihan listrik sebesar Rp100.000. Dalam keterbatasan, ia menemukan jalan keluar pada batang-batang korek api. Bukan untuk menerangi rumah, tetapi untuk dijual.

Diah kemudian berusaha menjual batang-batang korek api itu kepada rekan kerjanya di kedai pizza, Jarwo (Yohanes Budyambara). Dengan harga Rp10.000 per batang, Jarwo bisa mengintip alat kelamin wanita itu di kolong meja, selama korek api menyala. "Tapi ra entuk didemok (tapi tidak boleh dipegang)," ujar Diah.
Jarwo kemudian menawarkan uang sebanyak Rp60.000 untuk membantu menggenapi uang Diah. Tetapi, dengan satu syarat: Diah harus melihat alat kelamin Jarwo di kolong meja dengan korek api.

Dalam temaram cahaya korek api kayu, alat kelamin tokoh Diah dan Jarwo tampil secara gamblang dalam film ini. Wregas memberikan pengalaman mengintip alat kelamin kepada penonton. Tentu saja, adegan itu tidak dimaksudkan untuk menjadi ajang voyeurisme, kelainan jiwa yang secara tidak terkendali mendorong pelakunya untuk diam-diam mengintip orang lain sedang telanjang atau menanggalkan pakaian.

Wregas justru memosisikan aktivitas mengintip alat kelamin di film ini sebagai sesuatu yang dilakukan secara sadar oleh kedua tokohnya. Meski transaksi itu tidak lazim, Diah dan Jarwo mendiskusikan harga dan syarat-syarat yang jelas sebelum menyetujui transaksi. Hal ini membuat pergeseran makna, aktivitas tersebut hampir setara dengan transaksi jual beli barang yang wajar terjadi di supermarket atau warung.

Alat kelamin di film ini hadir tanpa polesan sebagai inti dari segala permasalahan yang Diah alami. Wanita itu mengandung dan melahirkan seorang putra berkat dua alat kelamin yang berfungsi. Namun, ia juga menemukan kesulitan hidup di kemudian hari akibat dua alat kelamin yang berpisah.
 
Wajah Jawa yang Berbeda
Kenangan itu juga yang membuat Wregas tidak bisa membayangkan wanita berpenampilan ayu dan lembut untuk memerankan tokoh Diah. Ia ingin menampilkan wajah wanita Jawa yang polos, tapi punya semangat juang yang keras, bukan wanita Jawa yang menggoda atau seksi saat menawarkan korek api kepada Jarwo.

Hal itu juga Wregas lakukan terhadap tokoh Jarwo. Pria itu tampil apa adanya seperti orang biasa, bukan seperti aktor yang pada umumnya tampil terawat. Tampilan itu sengaja Wregas kedepankan karena ia ingin menjauhkan tokoh Jarwo dari kesan porno atau ngeres.

"Film ini tentang realitas. Jangan sampai sensualitas dan seksualitas mengaburkan kenyataan itu," tutur pengagum sutradara Kim Ki Duk dan Naomi Kawaze itu.

Diah dan Jarwo sejatinya ditujukan Wregas untuk menjadi wujud manusia dari lingga dan yoni. Dalam mitologi Hindu, yang banyak terukir di candi-candi di Jawa Tengah, lingga digambarkan sebagai kelamin laki-laki dan biasanya dilengkapi dengan yoni sebagai kelamin wanita. Penyatuan lingga dan yoni melambangkan kesuburan. Bagi Wregas yang tinggal di Yogyakarta, kisah mengenai lingga dan yoni sudah akrab di telinganya sejak kecil.

Diah mewakili yoni yang harus tertatih-tatih karena ditinggalkan oleh lingganya. Menurut Wregas, kedua alat itu seharusnya bersatu. "Manusia itu kan diciptakan berpasangan. Kalau salah satunya pergi, yang satu lagi harus bekerja lebih keras, kehidupan jadi pincang," ujar Wregas.

Selain mitos lingga dan yoni, cerita dan penokohan yang unik itu rupanya juga senyawa dengan gaya hidup Wregas dan teman-temannya di Studio Batu, studio kreatif yang menaungi proses produksi Prenjak, di Yogyakarta. Sudah saling mengenal sejak SMP dan SMA, mereka terbiasa menertawakan kepedihan. Bagi mereka, kepedihan hanya sebuah proses untuk mendapatkan yang lebih baik. "Jadi buat apa ditangisi? Mlaku wae (jalani saja). Itu Jawa banget, hidup itu tertawa sajalah…," ujar Wregas.

Meski minus tampilan batik, gamelan, atau wayang yang menjadi ciri khas budayanya, unsur-unsur kehidupan di Jawa hadir di film ini secara alami. Percakapan Diah dan Jarwo yang terjalin dalam bahasa Jawa ngoko, lengkap dengan celetukan-celetukan mereka yang mengundang tawa penonton, justru menjelma jadi wajah Jawa yang cair, tapi tidak hanyut dalam modernisasi. Sederhana, tapi tidak seadanya. (f)
 


Topic

#Prenjak

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?