Trending Topic
Fenomena Vlogging, Awkarin, Anya Geraldine dan Perkara Menjadi Vlogger Bertanggung Jawab

7 Oct 2016



Foto: Dok. Femina

Setahun belakangan, kata vlog, vlogging, ataupun vlogger bisa dibilang menjadi kata yang paling populer di Indonesia, juga di dunia. Khusus di dalam negeri, tentu Anda masih ingat fenomena Awkarin yang memuncak di bulan Juni-Juli lalu. Lewat video-video kehidupan gaul, hedon dan percintaan penuh drama,  gadis 19 tahun bernama Karin Novilda ini mendadak menjadi bahan omongan publik. Terlepas dari omongan miring dan judging terhadap gaya hidup bebasnya, dia juga membuat banyak orang jadi tahu tentang vlogging.

Mari kita memulainya dari yang paling basic, apakah vlog itu? Vlog adalah singkatan dari video blog. Jadi, sebetulnya vlog ini adalah blog yang kontennya dalam bentuk video. Tentu karena sudah hadir terlebih dahulu, kita lebih mengenal blog, yaitu laman pribadi yang memungkinkan pemiliknya bercerita apa saja tanpa batas.

Dari cerita tentang curhat perasaan, anak, hobi, review produk, hingga cara berdandan, bisa dituliskan. Ini seperti generasi ‘80-an atau ‘90-an menulis di buku diary warna pink berparfum lembut, sedangkan di blog menulisnya di laman virtual.

Karena dunia digital ini bergerak sangat cepat, cerita-cerita lewat tulisan di blog itu kemudian terasa lebih update bila disampaikan melalui video. Didukung  kamera di smartphone atau kamera saku, termasuk aplikasi-aplikasi editing untuk membuat film pendek yang mudah diunduh, membuat konten video kini tidak harus menggunakan kamera mahal, dan editing-nya juga tidak harus di studio khusus.

Kemudahan membuat video dan bisa menampilkannya di area publik kemudian membuat orang ikut-ikutan. Apalagi di era sekarang ketika menjadi diri sendiri menjadi life goal, banyak orang yang tak lagi segan untuk mendokumentasikan aktivitas mereka sehari-hari, cerita tentang diri mereka, bahkan hal-hal yang sebenarnya privat, kemudian dipamerkan untuk konsumsi publik.

“Ternyata, apa yang mereka rekam itu menjadi hal yang menarik bagi orang lain karena terasa fresh,” tutur Bangwin. Ia lalu mengambil contoh Awkarin. “Sejujurnya, ketika saya menonton vlog Awkarin, menurut saya ini memang kelakuan anak-anak zaman sekarang. Kalau kita datang ke SMA-SMA atau kampus-kampus, gaya anak-anaknya banyak yang seperti ini. Awkarin menjadi terlihat minus karena semua kelakuannya itu terekspos ke publik,” papar Bangwin.

(Baca juga: Fenomena Karin 'Awkarin' Novilda dan 'Generasi Swag', Inilah 7 Alasan Kenapa Para Orang Tua Perlu Cemas)

Tidak bisa dipungkiri, ketenaran Awkarin, dan kemudian disusul oleh Anya Geraldine yang mendokumentasikan liburan yang intim dengan kekasihnya, seperti membukakan mata banyak orang, terutama orang tua yang memiliki anak remaja, apakah anak-anak mereka juga berkelakuan seperti itu?
Hal lain yang kemudian juga memunculkan kekhawatiran bagi para orang tua adalah ketika Awkarin di-endorse banyak brand, dan ia mengaku mendapatkan puluhan juta rupiah per minggu. Banyak yang khawatir,  konten vlog yang demikian itu menjadi benchmark bagi vlogger pemula untuk mencapai ketenaran, dan kemudian meraup uang.

Hal ini dirasakan oleh Kevin Hendrawan (24), presenter yang juga aktif membuat vlog. “Tanpa bermaksud menghakimi, tak dapat dipungkiri di luar sana memang ada beberapa vlogger yang menyajikan konten dengan tidak cukup bijak. Kata-kata kasar yang terucap atau umpatan, mewarnai video-video mereka. Dan sayangnya, melakukan hal-hal tersebut dianggap   keren oleh beberapa orang,” katanya.

Bangwin sangat memahami kekhawatiran banyak orang, terutama orang tua, dengan popularitas vlog kontroversial semacam ini. Namun, sesungguhnya hal itu tidak bisa dibilang sebagai ekses negatif teknologi. “Karena teknologi itu hanya tool,” ujar Bangwin.

Karena itu, step selanjutnya dari kekhawatiran adalah dengan memahami dan mengerti teknologi. Meski susah bagi orang tua (terutama dari generasi X) untuk catch up dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat,  hal itu bukan menjadi alasan untuk tidak mau tahu. ”Orang tua harus bisa menjadi teman anak dan bisa menjadi teman berdiskusi sehingga mau tidak mau orang tua harus menguasai teknologi,” saran Bangwin. Bisa dengan membaca, mencoba, juga sharing dengan orang tua lain atau pihak-pihak yang lebih tahu.

Di Indonesia, dunia vlogging sebetulnya masih mencari bentuk. Menurut Bangwin, kebanyakan vlogger yang aktif lebih untuk mencoba sesuatu yang baru, bersenang-senang, dan eksis, belum terpikir serius untuk mencari uang. Meski pada kenyataannya banyak juga vlogger yang berhasil meraup uang dari channel pribadinya di Youtube.

Baca juga:
Kenalan dengan 3 Beauty Vlogger Indonesia
Hey Vlogger, Ingin Bikin Video Keren? Ini 3 Kunci Utamanya

Lizzie Parra, Dari Beauty Blogger Menjadi Beautypreneur

Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk melihat lebih jernih bahwa brand yang justru meng-endorse vlog-vlog yang dianggap kontroversial itu memang tidak bermain di ranah etika. Insting bisnis mereka hanya melihat bahwa dengan memasang iklan di vlog tersebut, maka akan ada banyak mata yang  melihat produk mereka. Itu saja, soal konten jadi nomor dua.  “Karena itu, di sinilah pentingnya etika dan moral seseorang sebelum terjun ke dunia vlogging atau apa pun yang akan terjadi di dunia digital kelak,” tutur Bangwin. Karena sesungguhnya, brand juga tidak naïf-naif amat. Karena, ketika mereka pasang di vlog Awkarin misalnya, mereka tahu  bahwa banyak anak muda yang kelakuannya seperti itu. Awkarin bukan anomali. Mungkin ini fakta yang menyakitkan bagi sebagian besar orang tua, tetapi inilah yang terjadi.   

Ibaratnya, dunia digital --termasuk vlogging-- ini memang hutan belantara. “Perubahannya sangat cepat, sehingga belum sempat dibenahi dan dibuat aturan, sudah berganti dengan bentuk baru, dan begitu seterusnya,” ujar Bangwin. Alhasil, yang terekspos adalah sesuatu yang apa adanya.

Karena itu, di sinilah dibutuhkan tanggung jawab dari pribadi masing-masing. Harus ada kesadaran, meski dunia vlogging adalah jungle dan belum ada aturan, ketika seseorang menggunakan teknologi yang berpotensi membuatnya terkenal dan dilihat orang, maka apa pun yang ia lakukan berpotensi memengaruhi orang lain yang melihatnya.

Karena itu, ketika seseorang berkilah dengan mengatakan, “Kan saya menjadi diri sendiri,” atau kebebasan berekspresi, menurut Bangwin, di sini ada lack of education. Kalau kita berada di satu titik dan ada ribuan atau jutaan orang yang memperhatikan, artinya kita punya tanggung jawab. “Masa menunggu sampai ada korban, baru berbenah,” ujar Bangwin.

Problemnya, bisa jadi remaja yang bermain vlogging itu masih terlalu muda untuk mengerti tanggung jawab. Karena itu, dibutuhkan orang tua sebagai teman diskusi si anak, tentunya orang tua yang sadar dan berusaha mengerti akan pisau teknologi bermata dua ini.

 “Makanya moral harus ada terlebih dahulu ketika kita bermain dengan  alat-alat teknologi. Video misalnya, memang bisa membuat kita jadi terkenal, tapi at the same time bisa membuat kita enggak punya teman karena kita sudah di atas. Banyak kejadian, seseorang tiba-tiba menjadi selebritas, lalu stres karena sendirian tak ada teman,” kata Bangwin.

Lebih dari itu, juga dibutuhkan hukum yang fair sebagai aturan main yang jelas. “Saya pikir hukum itu perlu agar orang tidak sembarangan. Cuma, hukum yang dibuat jangan setengah matang dan membuka celah bagi orang untuk memenjarakan orang lain dengan alasan yang subjektif,” ujar Bangwin.       Indonesia memang sudah memiliki UU ITE yang bisa dipakai orang demi kepentingan pribadi, misalnya untuk menjerat orang lain yang ia tidak suka dengan pasal pencemaran nama baik.

Baca juga:
Kiat Terjun Jadi Vlogger dari Joshua Suherman, Rachel Goddard, Kevin Hendrawan dan Han Yoo Ra

Bangwin mengatakan, hukum yang ada saat ini memang belum menampung semua persoalan yang perlu diatur. Misalnya, untuk mengatur kinerja para buzzer yang jujur saja, selama ini belum ada aturannya sehingga bisa seenaknya. “Di luar negeri, pemain bola Wayne Rooney pernah tersandung hukum gara-gara nge-twit berbayar, tetapi tidak mencantumkan disclaimer bahwa tweet tersebut berbayar,” papar Bangwin. Jadi, dunia vlogging maupun media sosial,   harus ada hukumnya. (f)


Topic

#Vlogger, #awkarin, #anyageraldine

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?