Trending Topic
Faktanya, Wanita Makin Rasional Dalam Memilih Calon Pemimpin

25 Jun 2018


Dok: Femina

Pilkada serentak 27 Juni 2018 di 171 daerah di Indonesia nanti, menjadi peristiwa penting yang tidak boleh dilewatkan para pemilik suara. Lantas, apa yang menjadi dasar pertimbangan seseorang dalam menentukan pilihannya? Menurut Ani Soetjipto, dosen FISIP Universitas Indonesia, yang sudah lama bergiat dalam partisipasi wanita dalam politik, soal preferensi (selera) pemilih dalam pemilu (termasuk pilkada) banyak yang memengaruhinya. “Alasannya macam-macam, banyak faktor,” katanya.
             
Ada yang dipengaruhi oleh program calon yang sesuai dengan keinginan mereka, ada juga yang alasannya emosional. Misalnya, memilih calon karena kesamaan agama, atau karena calon tersebut dari keluarga atau dinasti yang sudah lama berkecimpung di dunia politik. Ada lagi yang karena kebijakannya kelak dilihat akan menguntungkan kelas sosial tertentu. Soal preferensi ini, baik pemilih pria maupun wanita, menurut Ani, tidak ada perbedaan. Genderless.
 
“Artinya, pada akhirnya pemilih wanita di dalam konteks elektoral, tidak bisa kita tebak seperti apa yang ia inginkan. Pilihannya itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Ada yang rasional, ada yang tidak rasional, ada juga yang apatis.
 
Meski secara garis besar kondisinya seperti itu, Ani mengakui bahwa saat ini sudah ada pergeseran preferensi pemilih secara umum. “Pada masa Orde Baru misalnya, orang memilih hanya sekadar ikut pemilu, karena hasilnya sudah ditentukan, kita jadi pemilih pasif. Tapi, sejak reformasi, kemudian diadakan pemilihan langsung, semua orang semangat untuk memilih,” ujar Ani.
 
Pada masa-masa transisi dari sistem Orde Baru yang otoriter ke reformasi, siapa yang dipilih masyarakat kebanyakan adalah orang-orang yang mereka lihat berseliweran di media. Figur publik. Misalnya saja artis. Karena itu, pada suatu masa, partai politik ramai-ramai mengusung artis sebagai calon legislatif hingga kepala daerah (meski hingga kini praktik tersebut  masih tetap dilakukan di berbagai daerah).
 
“Setelah belasan tahun dan melihat apa yang sudah terjadi, masyarakat mulai berpikir, oh ternyata memilih figur-figur populer itu belum tentu menjadi jaminan dia bisa bekerja. Ada kesadaran bahwa tampilan luar tidak berkorelasi dengan kinerja. Jadi, orang sekarang beralih. Masyarakat memilih orang yang bisa kerja,” jelas Ani.
 
Mengambil contoh pada pilkada Jakarta 2017, Ratna Sri Widyastuti, peneliti Litbang Kompas, lembaga yang rutin melakukan survei-survei sosial politik melihat kaum wanita lebih menitikberatkan pada pengalaman memimpin, reputasi  dan perjalanan karier calon, latar belakang pendidikan, baru kemudian melihat agama yang dianut calon dan hal-hal lain yang bersifat primordial seperti penampilan fisik, jenis kelamin, dan latar belakang suku,” ujarnya.
 
Hal ini, menurut Ratna, menjadi gambaran bahwa pemilih wanita sudah cenderung rasional. Masyarakat seperti ini tidak lagi terpesona oleh tampilan fisik sang kandidat yang ganteng atau cantik, tapi yang dilihat apakah mereka bisa bekerja. “Dalam konteks pilkada Jakarta, hal ini bisa menjelaskan mengapa ‘label’ ganteng yang sempat disematkan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai salah satu ‘kelebihan’ di awal-awal masa kampanye dulu, lama-kelamaan  menghilang, karena ternyata bukan itu yang diinginkan pemilih,” ujar Ratna. (f)

Baca Juga: 
 
Ini Survei Tentang Pemimpin Pilihan Wanita
Pilkada Serentak Akan Tiba. Ini Pertimbangan Wanita dalam Memilih Calon Pemimpin

 


 


Topic

#pilkada, #pilkadaserentak, #pilkada2018, #pilkadaserentak2018, #suaraandaberharga

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?